Partai Persatuan Pembagunan (PPP) didirikan tanggal 5 Januari 1973, sebagai hasil fusi empat partai Islam, yaitu Partai Nahdlatul Ulama, Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) dan Partai Islam Perti.
PPP didirikan oleh lima deklarator yang merupakan pimpinan empat Partai Islam peserta Pemilu 1971 dan seorang Ketua Kelompok Persatuan Pembangunan, semacam fraksi dari empat partai Islam di DPR. Para deklarator itu adalah:
KH. Idham Chalid, Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama;
H. Mohammad Syafaat Mintaredja, SH, Ketua Umum Partai Muslimin Indonesia (Parmusi);
Haji Anwar Tjokroaminoto, Ketua Umum PSII;
Haji Rusli Halil, Ketua Umum Partai Islam Perti; dan
Haji Mayskur, Ketua Kelompok Persatuan Pembangunan di Fraksi DPR.
PPP berasaskan Islam dan berlambangkan Ka'bah. Akan tetapi dalam perjalanannya, akibat tekanan politik kekuasaan Orde Baru, PPP pernah menanggalkan asas Islam dan menggunakan asas negara Pancasila sesuai dengan sistem politik dan peraturan perundangan yang berlaku sejak tahun 1984.
Pada Muktamar I tahun 1984 PPP secara resmi menggunakan asas Pancasila dan lambang partai berupa bintang dalam kotak segi lima. Setelah tumbangnya Orde Baru yang ditandai dengan lengsernya Presiden Soeharto tanggal 21 Mei 1998 dan digantikan oleh Wakil Presiden B.J.Habibie, PPP kembali menggunakan asas Islam dan lambang Ka'bah. Secara resmi hal itu dilakukan melalui Muktamar IV akhir tahun 1998.
Sesuai dengan Anggaran Dasar PPP yang dihasilkan Muktamar V tahun 2003, pada pasal 3 disebutkan bahwa tujuan Partai Persatuan Pembangunan adalah terwujudnya masyarakat yang adil, makmur, sejahtera lahir bathin dan demokratis dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila di bawah ridlo Allah Subhanahu Wata'ala.
Ketua Umum DPP PPP yang pertama adalah H. Mohammad Syafaat Mintaredja, SH yang menjadi Ketua Umum sejak tanggal 5 Januari 1973 sampai mengundurkan diri tahun 1978. Selain jabatan Ketua Umum pada awal berdirinya PPP juga mengenal presidium partai yang terdiri dari KH. Idham Chalid sebagai Presiden Partai, H. Mohammad Syafaat Mintaredja, SH, Drs. H.Th. M. Gobel, Haji Rusli Halil dan Haji Masykur, masing-masing sebagai Wakil Presiden.
Ketua Umum DPP PPP yang kedua adalah H. Jailani Naro, SH. Dia menjabat dua periode. Pertama tahun 1978 ketika H. Mohammad Syafaat Mintaredja mengundurkan diri sampai diselenggarakannya Muktamar I PPP tahun 1984. Dalam Muktamar I itu Naro terpilih lagi menjadi Ketua Umum DPP PPP.
Ketua Umum DPP PPP yang ketiga adalah H. Ismail Hasan Metareum, SH, yang menjabat sejak terpilih dalam Muktamar II PPP tahun 1989 dan kemudian terpilih kembali dalam Muktamar III tahun 1994.
Ketua Umum DPP PPP yang keempat adalah H. Hamzah Haz yang terpilih dalam Muktamar IV tahun 1998 dan kemudian terpilih kembali dalam Muktamar V tahun 2003. Hasil Muktamar V tahun 2003 juga menetapkan jabatan Wakil Ketua Umum Pimpinan Harian Pusat DPP PPP, yang dipercayakan kepada mantan Sekjen DPP PPP, H. Alimawarwan Hanan, SH.
Ketua Umum DPP PPP yang kelima adalah H. Suryadharma Ali yang terpilih dalam Muktamar VI tahun 2007 dengan Sekretaris Jenderal H. Irgan Chairul Mahfiz sedangkan Wakil Ketua Umum dipercayakan kepada Drs. HA. Chozin Chumaidy. Dan pada Muktamar PPP tahun 2012 di Bandung Suryadharma Ali kembali dipercaya memegang jabatan Ketua Umum DPP PPP, dengan Sekretaris Jenderal Muhammad Romahurmuziy.
PPP dalam Kancah Politik Nasional
PPP resmi menjadi peserta pemilu pada Pemilu 1977, di mana pada pengalaman pemilu pertama ini PPP meraih 18.745.565 suara atau 29,29 persen. Sedangkan dari sisi perolehan kursi, PPP mendapatkan 99 kursi atau 27,12 persen dari 360 kursi yang direbutkan. PPP meraih kursi di 22 provinsi atau 84,62 persen dari 26 provinsi. Provinsi yang tidak menghasilkan kursi bagi PPP adalah Sulawesi Tenggara, Bali, Nusa Tenggara Timur, dan Irian Jaya.
Pada Pemilu 1982 PPP meraih 20.871.800 suara atau 27,78 persen, dan perolehan kursi PPP mendapatkan 94 kursi atau 26,11 persen dari 364 kursi yang direbutkan. PPP meraih kursi di 22 provinsi atau 81,84 persen dari 27 provinsi. Provisi yang tidak menghasilkan kursi bagi PPP adalah Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Bali, Nusa Tenggara Timur, Irian Jaya dan Timor-timur.
Pada Pemilu 1977 dan Pemilu 1982, PPP mengunakan tanda gambar Ka’bah dan asas Islam.
Pada Pemilu 1987 PPP meraih 13.701.428 suara atau 15,97 persen. Sedangkan perolehan kursi PPP meraih 61 kursi atau 15,25 persen dari 400 kursi yang diperebutkan. PPP meraih kursi di 22 provinsi atau 81,84 persen dari 27 provinsi. Provinsi yang tidak menghasilkan kursi adalah Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Bali, Nusa Tenggara Timur, Irian Jaya, dan Timor-Timur. Penurunan perolehan suara dan kursi yang sangat signifikan ini terutama disebabkan karena pada pemilu ini asas dan lambang PPP berubah menjadi asas Pancasila dengan lambang bintang dalam kotak segi lima.
Tabel Perolehan Suara
Pada Pemilu 1992 PPP meraih 16.624.647 suara atau 17,07 persen dan 62 kursi atau 15,50 persen dari 400 yang diperebutkan. PPP meraih kursi di 18 provinsi atau 66,66 persen dari 27 provinsi. Provinsi yang tidak menghasikan kursi bagi PPP adalah Jambi, Bengkulu, Lampung, Sulawesi Utara, Bali, Nusa Tenggara Timur, Irian Jaya, dan Timor Timur.
Pemilu 1997 PPP meraih 25.340.018 suara dengan perolehan kursi 89, atau 20,94 persen dari 425 kursi yang diperebutkan. Kursi tersebut diperoleh dari 18 provinsi atau 66,66 persen dari 27 provinsi. Yang tidak menghasilkan kursi adalah Jambi, Bengkulu, Lampung, Sulawesi Utara, Bali, Nusa Tenggara Timur, Irian Jaya, dan Timor-Timur. Kenaikan signifikan perolehan suara dan kursi pada Pemilu 1997 ini terutama karena fenomena “Mega Bintang”, dimana para pengikut Megawati mengalihkan suaranya dari PDI ke PPP.
Tabel Perolehan Kursi
Selama lima kali pemilu yang diselengarakan pemerintah otoriter Orde Baru (1977, 1982, 1987, 1992 dan 1997), PPP selalu berada dalam keadaan tertidas, kader-kader PPP dengan segala alat kekuasaan Orde Baru dipaksa meninggalkan partai, kalau tidak akan dianiaya. Selama masa Orde Baru banyak kader-kader PPP terutama di daerah yang ditembak, dipukul, dan malah ada yang dibunuh. Saksi-saksi PPP diancam, suara yang diberikan rakyat ke PPP dimanipulasi untuk kemenangan Golkar, mesin politik Orde Baru.
Memasuki era reformasi pada Pemilu 1999 dengan sistem multi partai dan menggunakan sistem pemilu proporsional semi distrik, PPP meraih 11.329.905 suara atau 10,17 persen dengan perolehan kursi 58 kursi atau 12,55 persen dari 462 kursi yang diperebutkan. Pada Pemilu ini, PPP meraih kursi di 24 Provinsi atau 88,88 persen dari 27 provinsi. Provinsi yang tidak menghasilkan kursi bagi PPP adalah Bali, Irian Jaya, dan Timor-timur.
Pada Pemilu 2004 PPP meraih 9.248.764 suara atau 8,14 persen. Dari sisi perolehan kursi PPP tetap meraih 58 kursi atau 10,54 persen dari 550 kursi yang diperebutkan. Di daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota PPP memperoleh 180 kursi DPRD Provinsi, dan 1,353 DPRD Kabupaten/Kota. PPP meraih kursi pada 23 Provinsi atau 69,69 persen dari 33 provinsi. Provinsi yang tidak menghasilkan kursi bagi PPP adalah Babel, Kepri, DIY, Bali, NTT, Sulawesi Barat, Maluku, Maluku Utara, Irian Jaya Barat, dan Papua.
Dalam Pemilu 1999 dan 2004, PPP kembali menggunakan lambang dan tanda gambar Ka’bah dan berasas Islam. Hal inilah yang menjadi daya tahan PPP dalam memperebutkan pemilih Islam, karena posisinya masih dalam kelompok lima besar partai politik yang mendapatkan kursi di DPR RI, dan untuk partai Islam PPP masih menduduki peringkat pertama.
Namun demikian, penurunan perolehan suara terjadi dari pemilu ke pemilu. Tahun 1999 PPP memperoleh 58 kursi dengan suara 11.329.105 (10,7%); pada pemilu 2004 tetap memperoleh 58 kursi, namun dari segi jumlah suara turun drastis yaitu 9.248.764 (8,1%), dan pada Pemilu 2009 memperoleh 38 kursi (5,3%) atau hilang 20 kursi.
Begitu juga perolehan suara/kursi PPP di daerah-daerah mengalami kemerosotan, setidaknya ada 15 provinsi PPP tidak mendapatkan kursi untuk DPR RI pada Pemilu 2009, yaitu Bengkulu, Jambi, Kepri, Lampung, Babel, DIY, Bali, NTT, Sulteng, Sulut, Sultra, Papua, Papua Barat, bahkan DKI yang pada Pemilu 1977 PPP menang dan Pemilu 1982 “draw” dengan Golkar, pada Pemilu 2009 hanya mendapat 1 kursi. Sebagai ilustrasi, pada Pemilu 2009 Kabupaten dan Kota Cirebon tidak mendapatkan kursi baik di DPR-RI, DPRD Jawa Barat, maupun DPRD Kabupaten dan Kota Cirebon. Hal ini baru terjadi dalam sejarah PPP sejak menjadi peserta pemilu pada tahun 1977. Padahal Cirebon tidak hanya dikenal sebagai kota santri dan kota wali, bahkan Cirebon merupakan segitiga emas potensi PPP di Jawa Barat yang terdiri dari Cirebon, Tasikmalaya dan Banten.