Jakarta, (Antara Sumbar) - Partai Persatuan Pembangunan (PPP) mengingatkan bahwa Undang-Undang Dasar 1945 tidak mensyaratkan dukungan minimal bagi partai politik untuk mencalonkan seseorang menjadi calon presiden dan wakil presiden.
"Pasal 6A UUD 1945 sama sekali tak mensyaratkan adanya dukungan minimal berupa perolehan kursi atau suara. Maka UU Pilpres seharusnya mampu menangkap jiwa dari norma yang ada di konstitusi terkait pemilihan presiden," kata Wakil Ketua Umum DPP PPP Lukman Hakim Saifuddin di Jakarta, Kamis, mengenai wacana revisi UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
Pasal 9 UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden menyebutkan bahwa pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Lukman Hakim Saifuddin yang juga Wakil Ketua MPR RI mengingatkan bahwa Pasal 6A UUD 1945 menegaskan selama partai politik itu sah sebagai peserta pemilu maka berhak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa presiden dan wakil presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat sedangkan pada ayat (2) disebutkan bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.
Lukman Hakim menyatakan bahwa pemberlakuan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) itu inkonstitusional.
"Berapapun angka persentasenya tak sejalan dengan hakikat Pasal 6A UUD yang menegaskan bahwa selama parpol itu sah sebagai peserta pemilu maka ia berhak mengusulkan capres/cawapres," katanya.
Ia mengatakan UUD 1945 sama sekali tak mensyaratkan adanya dukungan minimal berupa perolehan kursi atau suara dan oleh karena itu maka UU Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden seharusnya mampu menangkap jiwa dari norma yang ada di UUD 1945.
Lukman Hakim Saifuddin menambahkan argumen yang menyatakan bahwa penurunan atau penghilangan ambang batas pencalonan presiden itu bisa mengusik posisi Presiden di DPR adalah cara pikir parlementer.
"Kalau itu masalahnya, kenapa tidak sekalian saja ambang batasnya 50 persen lebih, itu baru benar-benar aman. Tapi apakah kita mau kembali menerapkan calon tunggal, kembali ke masa kebulatan tekad era Orde Baru seperti dahulu," katanya mempertanyakan.
Ia menegaskan penetapan syarat minimal perolehan kursi/suara bagi parpol yang bisa mengusulkan calon presiden dan wakil presiden itu, tidak hanya memasung hak parpol tetapi juga hak sejumlah calon presiden lain, dan masyarakat umum yang menghendaki adanya alternatif atau opsi calon presiden yang beragam," katanya.
Sebelumnya, Badan Legislasi DPR RI dalam rapat pleno gi Gedung MPR/DPR/DPD Senayan, Jakarta, Selasa (9/7) lalu, memutuskan menunda pembahasan usulan revisi Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 hingga ke masa persidangan berikutnya.
"Masih ada perbedaan pandangan di antara fraksi-fraksi di DPR soal usulan revisi terhadap UU Pilpres," kata Ketua Badan Legislasi DPR RI Ignatius Mulyono.
Sebanyak lima fraksi, yakni Fraksi Partai Demokrat, Fraksi Partai Golkar, Fraksi PDI Perjuangan, Fraksi PAN, dan Fraksi PKB, menilai UU Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden tidak perlu direvisi, terutama pada pasal 9 tersebut, sedangkan tiga fraksi lainnya, Fraksi Partai Gerindra, Fraksi PPPP, dan Fraksi Hanura, mengusulkan agar UU itu direvisi dengan mengubah besaran ambang batas pencalonan presiden, kurang dari 20 persen sehingga bisa memberikan kesempatan lebih besar bagi partai politik untuk mengusung pasangan calon presiden. (*/sun)
ANTARA Sumbar
Nasional - Kamis, 11 Juli 2013 | jam 08:52 WIB