Nama Lukman Hakim Saifuddin tak dapat dilepaskan dari PPP, partai hijau berlambang Ka’bah. Di pentas politik nasional, namanya sering dikaitkan dengan peristiwa besar reformasi yang terjadi pada tahun 1998. Ia termasuk sederet elit yang tercatat sebagai pelaku sejarah amandemen konstitusi, Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Posisi ini jelas tidak datang dengan tiba-tiba, pasti ada proses dan cerita yang menjelaskan perjalanan mencapai sukses ini. Siapa sebenarnya Lukman Hakim Saifuddin?

Di usianya yang relatif muda kala itu, ia telah terlibat aktif dalam perubahan sejarah Republik. 

Satu dekade lalu, ketika Indonesia dilanda kemelut politik tahun 1997, ia ikut mendorong gerbong reformasi. Ia termasuk dalam deretan elit bangsa yang mendapatkan amanah untuk melakukan reformasi konstitusi. Pada periode 1999-2004 tercatat sebagai anggota Panitia Ad Hoc (PAH) I dan III Badan Pekerja (BP) MPR. Lembaga inilah yang mendapat mandat konstitusional menyiapkan rancangan Perubahan UUD 1945 sampai empat kali tahapan dalam empat tahun: Perubahan Pertama pada 1999, Perubahan Kedua 2000, Perubahan Ketiga 2001, dan Perubahan Keempat pada 2002.

Pengalaman sebagai pelaku sejarah Perubahan UUD 1945 inilah yang menjadikan Lukman Hakim Saifuddin atau kerap disebut dengan inisial LHS ini seperti kamus berjalan jika membincangkan konstitusi. Karena pengetahuan yang mendalam tentang konstitusi, Lukman dipercaya sebagai anggota Kuasa Hukum DPR RI (2004-2009) yang mewakili institusi DPR dalam setiap gelar perkara pengujian undangundang di Mahkamah Konstitusi. Dengan pertimbangan sama, Dia juga dipercaya menjadi Sekretaris Forum Konstitusi, lembaga independen beranggotakan pakar konstitusi dan mantan anggota PAH BP MPR, sejak didirikan tahun 2004 hingga sekarang. Puncaknya pada 2009 lalu, melalui sebuah pemilihan secara aklamasi dalam Sidang Paripurna MPR-RI 3 Oktober 2009, ia mendapat amanat untuk menjadi Wakil Ketua MPR-RI Periode 2009-2014.

Alumnus Pondok Pesantren Darussalam Gontor, Ponorogo, Jawa Timur ini juga memiliki garis darah yang kuat di Nahdlatul Ulama (NU). Ayahnya, Profesor Kyai Haji Saifuddin Zuhri adalah tokoh NU terkemuka pada zamannya. Ayah kandung Lukman adalah pendiri PPP, seorang ulama-intelek, juga pernah menjabat Menteri Agama (1962-1967) di era Presiden Soekarno.

Selain sebagai politisi, Lukman juga banyak berkiprah di NU. Dia pernah menjadi Kepala Program Kajian Lakpesdam NU (1989-1992), lalu menjadi Ketua Badan Pengurus Lakpesdam NU (1992-1995). Sebelumnya, ayah tiga anak ini menjadi Wakil Sekretaris PP-LKKNU pada tahun 1985-1988.

Sosok Lukman yang memiliki karakter kuat ini menampilkan citra baru PPP yang kala itu diidentikkan sebagai partai kaum tua. Keberadaan nya di PPP mulai awal dekade 1990-an menjadi simbol munculnya generasi baru di partai Islam. Dan belakangan ini hampir 80 persen dari kepengurusan PPP tingkat pusat didominasi kaum muda. “Kaum muda di PPP telah mengubah citra PPP dari partai ‘kalangan tua’ menjadi partai yang juga diminati kalangan muda,” katanya.

Karakter muda, terbuka, dan modern bagi Lukman tak cukup dilihat dari sisi usia saja. Ia termasuk politikus parlemen yang punya minat pada jejaring sosial di dunia maya. Pemilik akun @lukmansaifuddin ini mengaku lebih menikmati Twitter sebagai media sosial daripada Facebook. “Di Twitter kita banyak mendapatkan informasi, sekaligus membangun interaksi yang dialogis dengan berbagai lapisan masyarakat dengan beragam latar belakang,” aku pria berkacamata dengan postur tinggi/berat 175cm/75kg. “Twitter adalah sekolahanku dan semua orang yang mengisi linimasa (timeline) adalah guru-guruku”, imbuhnya.


 

Karakter dan Integritas

Tak berlebihan jika Lukman dengan kompetensi dan komitmen yang dimiliki saat ini merupakan sosok kosmopolit di tubuh partai Ka’bah. Memiliki pengetahuan yang luas khususnya di bidang politik dan hukum tata negara, punya integritas, modern dan mudah beradaptasi dengan berbagai lingkungan dan perkembangan.

Nama Lukman Hakim Saifuddin juga sempat disebut-sebut sebagai tokoh PPP yang layak menduduki jabatan menteri dalam kabinet 2009-2014. Namun ia lebih memilih berkiprah sebagai Wakil Ketua MPR. Ia disebut-sebut sebagai kalangan muda NU yang mewakili zamannya, cerdas, moderen, memiliki pemikiran yang terbuka, tapi juga berintegritas.

Setidaknya ada empat poin menonjol dari karakter Lukman. Pertama, dari setiap pernyataan di berbagai forum dan media, bisa disimpulkan bahwa ia dianggap sebagai sosok yang mampu berpikir secara sistematis, metodologis, dan komprehensif, sehingga solusi yang ditawarkannya terkait dengan berbagai persoalan kebangsaan dan kenegaraan kerap tepat sasaran.

Kedua, Lukman mempunyai kepribadian yang tenang, berbicara tak meledak-ledak, pernyataannya terukur, solutif, dan santun. Bagi sebagian kalangan media massa yang senang dengan berita dan narasumber yang sensasional, dia merupakan figur yang kurang diminati karena dinilai kelewat halus dan normatif.

Ketiga, prakarsa Lukman saat ia menjadi Ketua Fraksi PPP DPR-RI (2007) agar seluruh pejabat publik dari PPP di lembaga legislatif dan eksekutif menandatangani Pakta Integritas dan menyatakan Ikrar Antikorupsi secara serentak bersama-sama yang disaksikan KPK, menandakan bahwa dia merupakan sosok yang bersih dan menjunjung tinggi kejujuran.

Keempat, secara biologis dan ideologis Lukman adalah anak NU. Namun ia mempunyai visi kemoderenan sehingga mudah diterima oleh berbagai kalangan. Bagi warga NU, Lukman adalah harapan sekaligus inspirasi untuk kemajuan bangsa Indonesia.

Meski telah menjadi salah satu pimpinan MPR, namun tak menjadikannya terkungkung dalam ritual seremonial yang sunyi dari hiruk pikuk politik. Justru di lembaga yang semula superkuat itu ia merasa mendapat tantangan baru yang tak kalah menarik. MPR hasil modernisasi konstitusi bukan semata berfungsi seremonial, tetapi juga mengemban amanah penting, yaitu membumikan konstitusi hasil reformasi yang bercirikan prinsip demokrasi, saling mengimbangi dan saling kontrol antar lembaga negara, dan peduli Hak Asasi Manusia (HAM) dalam tatanan kehidupan bangsa. Tak jarang, mantan penggiat Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang kini menjabat Wakil Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Persatuan Pembangunan (DPP PPP) periode 2011-2015 ini terdengar cukup nyaring menyuarakan suara-suara kritis terkait berbagai persoalan bangsa yang muncul dalam masyarakat.

Seperti saat rencana pembangunan gedung baru DPR beberapa waktu lalu, Lukman tercatat satu-satunya pimpinan MPR yang menolak keras rencana pembangunan itu. Ia memiliki prinsip, “Apa yang benar menurut suara hati dan nalar, itulah yang saya ikuti untuk diperjuangkan,” katanya suatu ketika kepada media massa.

Pragmatisme dan gaya hidup hedonis para politisi, sebagaimana ramai diberitakan, adalah contoh lain yang tak luput dari sasaran kritiknya. Lukman tegas menyesalkan sikap para politisi yang memuja kekayaan itu sebagai tidak punya kepekaan sosial terhadap kondisi lingkungan. Gaya hidup hedonis itu juga ia nilai sebagai sikap yang tidak sensitif terhadap kondisi sosial mayoritas masyarakat kita yang sedang hadapi kesulitan hidup.

“Bagaimana bisa mereka katakan bahwa gaya hidup pejabat publik itu adalah persoalan pribadi yang tak usah dipersoalkan? Bukankah publik berhak mengawasi setiap tindak-tanduk pejabat publik?”, begitu komentarnya menyanggah sejumlah pejabat publik yang keberatan diusik gaya hidupnya. Bahkan Lukman dengan lugas menyatakan terpukul dengan kritikan terkait gaya hidup hedonis di kalangan elit kita. “Saya merasa tertampar dengan kritikan itu, saya wajib mawasdiri, saya belum mampu hidup sederhana sebagaimana yang diharapkan”, ujarnya.


 

Demokrasi Untuk Jaga NKRI

Karena demokrasi bukan semata sistem tetapi juga kultur, Lukman juga prihatin dengan perkembangan budaya demokrasi di Indonesia yang masih jauh dari harapan. Sebagian masyarakat Indonesia masih memiliki kepribadian ganda. Di satu sisi menghendaki demokrasi terwujud. Namun, di sisi lain tidak siap menghadapi perbedaan pendapat dan menerima kekalahan.

Contohnya banyak orang yang kalah dalam kongres, munas, atau muktamar partai lalu nyempal, membikin partai baru dan mengganggu partai lama. “Semestinya mereka bertahan dan memberi kesempatan kepada yang menang untuk memimpin partai. Yang terjadi malah muncul sikap tidak siap menerima kekalahan,” kata Lukman.

Dalam kasus keistimewaan Yogyakarta, misalnya, Lukman amat berharap Pemerintah tidak memaksakan kehendak kepada masyarakat Yogya. Pemerintah harus memperhatikan demokrasi lokal yang berkembang bahwa masyarakat Yogyakarta menginginkan gubernur dipilih melalui penetapan. Karena itu menurutnya, masyarakat Provinsi DIY tidak perlu melakukan referendum karena keinginan masyarakat terkait penentuan gubernur sudah jelas.

“Tak diperlukan referendum untuk mengetahui kehendak masyarakat Yogyakarta tentang penentuan gubernur, karena wis cetho welowelo, sudah terang benderang bahwa mayoritas mereka ingin Sultan ditetapkan sebagai Gubernur,” ujar Lukman dalam suatu kesempatan. Lukman khawatir, referendum bisa menjadi preseden yang dapat dibelokkan kemana-mana, bisa mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sekali saja satu daerah diperkenankan untuk melakukan referendum, maka bisa jadi daerah-daerah lain menuntut hal yang sama.


 

Pemberantasan Buta Konstitusi

Persoalan lain yang juga menjadi keprihatinan Lukman adalah wabah korupsi dan lemahnya penegakan hukum, intoleransi dan konflik horizontal, serta absennya negara dalam menyikapi kasus-kasus tersebut. Selain itu, persoalan kemiskinan dan pengangguran, lemahnya visi ekonomi kesejahteraan, eksplorasi sumberdaya alam yang tidak ramah lingkungan, serta praktik demokrasi yang kehilangan hikmah/kebijaksanaan, semuanya itu dinilainya bertentangan dengan konstitusi yang semakin menjauhkan cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sebuah ironi, gerakan reformasi yang mengusung supremasi hukum, dimana UUD sebagai konstitusi yang merupakan hukum dasar yang menjadi sumber hukum tertinggi, masih belum difahami dengan baik secara menyeluruh. Hingga tahun ke-13 sejak reformasi digulirkan, kesadaran berkonstitusi masih saja memprihatikan. Upaya menghidupkan nilai dan norma konstitusi pada diri setiap anak bangsa yang dikemas dalam program sosialisasi 4 Pilar masih dihadapkan kenyataan yang kurang menggembirakan.

Lukman menyatakan bahwa hasil pengamatannya selama bertugas di berbagai daerah mengindikasikan ada kecenderungan Pancasila dilupakan dan butir-butirnya diabaikan. UUD diplesetkan kepanjangan akronimnya, substansinya diselewengkan dengan perilaku menyimpang. NKRI digugat, diperhadapkan kembali dengan federalisme atau separatisme, atau negara alternatif dari paham fundamentalisme sayap kanan atau kiri tertentu, karena dianggap tidak kunjung memberikan keadilan dan kesejahteraan. Bhinneka Tunggal Ika juga terancam dengan munculnya egoisme kelompok dan intoleransi pada sebagian kalangan di dalam masyarakat.

Amatan di lapangan yang tak kalah membuat hatinya gundah ialah fakta semakin senjangnya nilai ideal konstitusi dengan kenyataan empiris di masyarakat, di antaranya kesenjangan sosial ekonomi maupun antar daerah. Kesenjangan yang sering disebut-sebut sebagai dampak dari fenomena buta konstitusi inilah yang memberinya motivasi sekaligus inspirasi untuk tetap semangat pantang menyerah menggelorakan sosialisasi 4 Pilar kehidupan berbangsa dan bernegara.

Persoalannya, sosialisasi ternyata memerlukan keteladanan. Sosialisasi, betapapun gegap gempitanya, tak akan banyak berarti kalau para pejabatnya tidak bisa menjadi contoh yang baik di hadapan publik. Dengan keteladanan, masyarakat bisa diajak dengan ikhlas untuk mengenal nilai-nilai Pancasila, UUD, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika, yang kesemuanya itu ada dalam konstitusi kita. Melalui keteladanan masyarakat akan menghayatinya secara afektif dan sekaligus berhasrat kuat untuk mengamalkan nilainilainya secara nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Pemberantasan buta konstitusi di lingkungan pejabat, menurut Lukman, jelas menjadi jauh lebih penting diprioritaskan. Karena kalau sampai masyarakat kehilangan kepercayaan gara-gara perilaku tidak terpuji dari para elit bangsa, maka bukan tidak mungkin jerih payah MPR selama ini terkait sosialisasi akan gagal total.

Sayangnya, justru di situlah masalah berawal. Program sosialisasi kurang diminati unsur pejabat pusat dan daerah, baik pimpinan daerah atau unsur Muspida (Musyawarah Pimpinan Daerah) di tingkat provinsi, maupun kabupaten/kota. Selama bertugas mengunjungi berbagai daerah, Lukman mencatat, setiap kegiatan sosialisasi hanya sebagian kecil saja pejabat yang mengikutinya. Kebanyakan Muspida hanya mengirim utusan, itupun untuk ikut seremonial belaka. Menurut Lukman, seharusnya mereka ikut sosialisasi secara penuh karena pada dasarnya mereka berkewajiban untuk membuat dan melaksanakan kebijakan publik yang berkeadilan sebagaimana yang diamanatkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.


 

Urgensi Lembaga Khusus
Menyadari betapa pentingnya upaya internalisasi nilai-nilai 4 Pilar Bangsa pada diri setiap warganegara di tengah era globalisasi, dan dikaitkan dengan kenyataan beratnya medan sosialisasi di lapangan akibat luasnya wilayah geografis dan besarnya ragam segmentasi di masyarakat, Lukman melihat pentingnya ada lembaga khusus dengan kewenangan besar yang khusus bertugas melakukan kajian dan melaksanakan sosialisasi 4 Pilar secara lebih sistematis, terstruktur, dan massif ke segenap lapisan masyarakat. “Lembaga Khusus itu harus memiliki kewenangan besar, punya struktur kelembagaan hingga ke daerah, dan didukung anggaran yang memadai”, ujar Lukman.

Gagasan Lukman yang diamini segenap Pimpinan MPR ini kemudian mendapat tanggapan positif dari Presiden saat dijumpai Pimpinan MPR di Istana, juga dari para pimpinan lembaga negara dalam pertemuan konsultasi antar mereka. Kini MPR tengah melakukan serangkain kegiatan seminar dan focus group discussion yang melibatkan berbagai lembaga negara, akademisi, dan tokoh masyarakat, guna menyerap aspirasi sekaligus mengkaji urgensi dan kelayakan lembaga khusus tersebut. Ide pembentukan lembaga khusus yang mendapat tanggapan positif dari masyarakat luas ini harus terus dimatangkan untuk penyempurnaan dan pencarian bentuk terbaiknya. “Kita dihadapkan dengan pilihanpilihan yang tidak sederhana. Apakah akan membentuk lembaga/atau baru, ditengah-tengah kritikan banyak pihak yang keras menentang gemarnya kita membentuk lembaga-lembaga baru, atau memanfaatkan lembaga/badan yang sudah ada, dengan menambah tugas dan kewenang-wenangannya”, demikian ujar Lukman menjelaskan problem institusionalisasi nilai-nilai 4 Pilar Bangsa.


 

Berkaca dari Sahabat Nabi
Suatu ketika seorang sahabat dan anaknya menemui Nabi Muhammad SAW. Dia curhat karena anaknya tak mau diatur. Dia meminta petunjuk dan nasihat dari Nabi agar anaknya patuh dan berbakti kepada orangtua. Nabi bertanya kepada orangtua itu mengenai hakhak anak yang sudah dipenuhinya.

Sahabat kaget dan balik bertanya kepada Nabi, sebenarnya apa yang dimaksud dengan hak-hak anak tersebut. Nabi menjelaskan setidaknya ada tiga hak anak. Pertama, anak harus mendapat pendidikan dan perlakuan yang baik dari orangtuanya. Kedua, orangtua harus menciptakan lingkungan yang baik bagi anaknya. Ketiga, memberi anak dengan nama yang baik.

Ketika nabi menanyakan kepada anak sahabat tersebut, ternyata tak satu pun dari ketiga hak anak tersebut yang dipenuhi orang tuanya. Anak kecil itu, misalnya diberi nama Ju’al, yang dalam bahasa Arab berarti anak keledai.

Kisah sahabat inilah yang menjadi pegangan Lukman dalam upayanya menghasilkan keluarga yang berkualitas. Menikah dengan Trisna Willy, guru bimbingan dan konseling di SMAI Al Azhar Sisingamangaraja, dan dikarunia tiga anak: Naufal Zilal Kamal dan Zahira Humaira, keduanya kuliah di Universitas Indonesia, serta si bungsu Sabilla Salsabilla masih di SMP.

Di tengah kesibukannya, Lukman menyisihkan waktu untuk keluarga. Hari Minggu sedapat mungkin dimanfaatkan untuk urusan keluarga karena itu hak keluarga. “Itulah saat yang tepat berdiskusi dengan anak-anak, menyerap berbagai perkembangan dan keluhan mereka”, katanya. Lukman menambahkan, “Tempat favorit kami berkumpul adalah rumah makan”. Ia mengaku tak terlalu fanatik mengenai tempat. “Kami biasa mendiskusikan dimana tempat yang akan dituju, bahkan termasuk soal pilihan menu makan, hahaha...”, tutur mantan Ketua Fraksi PPP di DPR ini.

Barangkali itulah salah satu cara Lukman menanamkan demokrasi. Ia sangat yakin, demokrasi yang berakar kuat adalah demokrasi yang diajarkan sejak dari keluarga. Karena itu, sudah seharusnya demokrasi ditanamkan sejak dini mulai dari rumah atau keluarga sebagai unit terkecil di masyarakat.