Pemberantasan Buta Konstitusi

Persoalan lain yang juga menjadi keprihatinan Lukman adalah wabah korupsi dan lemahnya penegakan hukum, intoleransi dan konflik horizontal, serta absennya negara dalam menyikapi kasus-kasus tersebut. Selain itu, persoalan kemiskinan dan pengangguran, lemahnya visi ekonomi kesejahteraan, eksplorasi sumberdaya alam yang tidak ramah lingkungan, serta praktik demokrasi yang kehilangan hikmah/kebijaksanaan, semuanya itu dinilainya bertentangan dengan konstitusi yang semakin menjauhkan cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sebuah ironi, gerakan reformasi yang mengusung supremasi hukum, dimana UUD sebagai konstitusi yang merupakan hukum dasar yang menjadi sumber hukum tertinggi, masih belum difahami dengan baik secara menyeluruh. Hingga tahun ke-13 sejak reformasi digulirkan, kesadaran berkonstitusi masih saja memprihatikan. Upaya menghidupkan nilai dan norma konstitusi pada diri setiap anak bangsa yang dikemas dalam program sosialisasi 4 Pilar masih dihadapkan kenyataan yang kurang menggembirakan.

Lukman menyatakan bahwa hasil pengamatannya selama bertugas di berbagai daerah mengindikasikan ada kecenderungan Pancasila dilupakan dan butir-butirnya diabaikan. UUD diplesetkan kepanjangan akronimnya, substansinya diselewengkan dengan perilaku menyimpang. NKRI digugat, diperhadapkan kembali dengan federalisme atau separatisme, atau negara alternatif dari paham fundamentalisme sayap kanan atau kiri tertentu, karena dianggap tidak kunjung memberikan keadilan dan kesejahteraan. Bhinneka Tunggal Ika juga terancam dengan munculnya egoisme kelompok dan intoleransi pada sebagian kalangan di dalam masyarakat.

Amatan di lapangan yang tak kalah membuat hatinya gundah ialah fakta semakin senjangnya nilai ideal konstitusi dengan kenyataan empiris di masyarakat, di antaranya kesenjangan sosial ekonomi maupun antar daerah. Kesenjangan yang sering disebut-sebut sebagai dampak dari fenomena buta konstitusi inilah yang memberinya motivasi sekaligus inspirasi untuk tetap semangat pantang menyerah menggelorakan sosialisasi 4 Pilar kehidupan berbangsa dan bernegara.

Persoalannya, sosialisasi ternyata memerlukan keteladanan. Sosialisasi, betapapun gegap gempitanya, tak akan banyak berarti kalau para pejabatnya tidak bisa menjadi contoh yang baik di hadapan publik. Dengan keteladanan, masyarakat bisa diajak dengan ikhlas untuk mengenal nilai-nilai Pancasila, UUD, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika, yang kesemuanya itu ada dalam konstitusi kita. Melalui keteladanan masyarakat akan menghayatinya secara afektif dan sekaligus berhasrat kuat untuk mengamalkan nilainilainya secara nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Pemberantasan buta konstitusi di lingkungan pejabat, menurut Lukman, jelas menjadi jauh lebih penting diprioritaskan. Karena kalau sampai masyarakat kehilangan kepercayaan gara-gara perilaku tidak terpuji dari para elit bangsa, maka bukan tidak mungkin jerih payah MPR selama ini terkait sosialisasi akan gagal total.

Sayangnya, justru di situlah masalah berawal. Program sosialisasi kurang diminati unsur pejabat pusat dan daerah, baik pimpinan daerah atau unsur Muspida (Musyawarah Pimpinan Daerah) di tingkat provinsi, maupun kabupaten/kota. Selama bertugas mengunjungi berbagai daerah, Lukman mencatat, setiap kegiatan sosialisasi hanya sebagian kecil saja pejabat yang mengikutinya. Kebanyakan Muspida hanya mengirim utusan, itupun untuk ikut seremonial belaka. Menurut Lukman, seharusnya mereka ikut sosialisasi secara penuh karena pada dasarnya mereka berkewajiban untuk membuat dan melaksanakan kebijakan publik yang berkeadilan sebagaimana yang diamanatkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.