Rekam jejak Wakil Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Lukman Hakim Saifuddin (51 tahun) sebagai menteri agama (menag) dalam Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II terbilang sangat singkat. Dia baru dilantik 9 Juni 2014 untuk menggantikan Suryadharma Ali, yang menjadi tersangka kasus pengurusan ibadah haji.

Meski demikian, Lukman diprediksi sebagai calon terkuat menag dibandingkan dua nama lainnya, yang masuk di dalam bursa menteri usulan rakyat Kabinet Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK), yaitu cendekiawan Islam Azyumardi Azra dan Direktur Megawati Institute Siti Musdah Mulia.

Lukman bisa disebut sebagai politisi muda PPP yang berbeda dari lainnya. Sosoknya yang cerdas dan modern membawa citra baru dalam tubuh PPP, yang masih diidentikan sebagai partai kaum tua.

Sebagai menag pengganti, dia mengemban tugas cukup berat untuk membenahi penyelenggaraan ibadah haji yang tercemar dengan kasus korupsi. Belum lagi, mandeknya penyelesaian berbagai kasus kekerasan yang mengatasnamakan agama, seperti kasus Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin, Bogor, atau pembunuhan warga Syiah di Sampang, Madura.

Tidak heran, rakyat Indonesia saat ini menantikan menteri agama yang bersih, jauh dari fanatisme agama, serta menempatkan penegakkan konstitusi tanpa diskriminasi. Sosok Lukman diharapkan mampu menjadi menteri bagi semua umat beragama.

Lukman memang tidak mau membuang kesempatan singkat sebagai menteri. Hanya berselang satu bulan setelah dilantik oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), mantan wakil ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) itu langsung mengunjungi Indonesia Corruption Watch (ICW) untuk meminta masukan terkait penyelenggaraan haji. Kasus korupsi haji telah mempermalukan nama Kementerian Agama sebagai institusi yang mengurus persoalan moral.

Lukman meminta bocoran kepada ICW terkait siapa saja pemain dalam proyek haji serta celah mana saja yang berpotensi dikorupsi. Menurut Koordinator ICW Ade Irawan, Lukman adalah menteri pertama yang mendatangi kantor ICW. Sebab, pihak ICW selektif dalam menerima kunjungan lembaga atau individu. Ade menilai, Lukman penuh kemauan dan benar-benar mendorong perubahan.

Lukman kembali memberikan angin segar saat mengurus masalah kepulangan para pengungsi Syiah pasca-kasus kekerasan yang mengatasnamakan agama di Sampang, Madura. Sejak Agustus 2012, ada sekitar 200 warga Syiah asal Sampang yang terpaksa meninggalkan kampung halaman mereka dan mengungsi ke rumah susun di Sidoarjo, Jawa Timur. Dia tak ragu menemui sejumlah pihak untuk melakukan pendekatan agar warga Syiah Sampang bisa kembali ke kampung mereka dan hidup damai dengan masyarakat lain.

Tokoh muda Nahdlatul Ulama (NU) itu berpendapat persoalan yang menimpa warga Syiah tak hanya menyangkut soal agama, namun ada pula persoalan politik, sehingga dia melakukan pendekatan tak hanya pada pemerintah daerah, namun juga kalangan agamawan dan pihak-pihak yang melakukan pendampingan kepada warga Syiah.

Lukman mengatakan warga Syiah mempunyai hak sebagai warga negara yang sama di mata hukum. Jadi, setelah pulang, mereka boleh menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinan dan hidup damai dengan warga lain. “Prinsipnya, setiap warga negara punya hak yang sama untuk tinggal di kampungnya dan beribadah. Meskipun beda keyakinan, tapi semua dijamin konstitusi negara kita,” kata pria yang pernah menjadi penggiat lembaga swadaya masyarakat (LSM) sebagai manajer proyek di Helen Keller International.

Lukman juga secara gamblang menyinggung tentang Baha’i lewat akun Twitter miliknya. Dia mengaku sedang mengkaji, apakah Baha’i bisa diakui sebagai agama di Indonesia atau tidak. Persoalan Baha’i diangkat, karena Kementerian Dalam Negeri memerlukan dasar dalam pelayanan administrasi kependudukan.

Menurutnya, Indonesia memang hanya mengakui enam agama, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu. Tapi, kenyataannya, warga Indonesia memiliki keyakinan lain di luar keenam agama itu seperti Baha'i dan Taoisme. Penganut agama di luar enam itu dibiarkan keberadaannya sepanjang tidak melanggar UU Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.

“Pemerintah perlu melindungi umat beragama sesuai agama yang diyakininya. Pada saat itu, negara perlu legalitas untuk menyatakan ini agama atau bukan. Jangan-jangan, itu hanya paguyuban atau sekumpulan orang-orang saja. Masalah-masalah ini yang sedang dikaji untuk dicari jalan keluarnya agar tidak ada lagi ada diskriminasi,” ujar Lukman.

Anak Menteri
Lulusan Pondok Pesantren (Ponpes) Modern Gontor itu adalah anak dari menteri agama RI periode 1962-1967, KH Saifuddin Zuhri. Dia sudah menduduki kursi anggota dewan selama tiga periode sejak 1997 sampai 2009. Saat di parlemen, dia pernah duduk di Komisi VIII yang membidangi masalah agama.

Sang ayah, Saifuddin Zuhri masih berusia 43 tahun saat Presiden Soekarno mengangkatnya sebagai menag. Ketika itu, Saifuddin menjabat sekretaris jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) sekaligus pemimpin redaksi harian Duta Masyarakat dan anggota parlemen sementara Presiden Soekarno.

Peran sebagai menag ternyata turun juga kepada Lukman, yang merupakan anak bungsu dari 10 bersaudara. Dengan latar belakang pendidikan madrasah dan ponpes, Lukman muda aktif sebagai wakil sekretariat pimpinan pusat Lembaga Kemaslahatan Keluarga NU (LKKNU) pada 1985-1988. Dia juga lama berkecimpung dalam Lajnah Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) NU periode 1988-1999 dengan peran sebagai wakil sekretaris, kepala bidang administrasi umum, koordinator program kajian dan penelitian, koordinator program pendidikan dan pelatihan, hingga menjadi ketua badan pengurus.

Pembawaan Lukman yang supel dan bisa diterima semua kalangan diperoleh sejak menjadi aktivis. Selain aktif di Helen Keller International, dia juga pernah bergabung dalam The Irian Jaya Community Eye Care Project, mengikuti pendidikan Community Organizer in Health and Development in Asian Rural Settings di Asian Health Institute Nagoya, Jepang, dan di Curtin University Perth, Australia, serta menjadi anggota Komisi Pengawas Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) periode 2004-2007.

Lukman mulai terjun ke partai saat citra partai politik tidak menjanjikan. Namun, dia memegang nasihat para kiai, yakni asalkan memiliki niatan tulus dan ikhlas, maka akan membawa keberkahan dan kemaslahatan. Saat ditanyakan, apakah dirinya tertarik kembali menjabat sebagai menag dalam kabinet Jokowi-JK, Lukman mengatakan dirinya saat ini fokus kepada tugas dan fungsi yang dijalani saat ini. Dia tidak ingin pemerintahan ke depan menanggung beban kerja yang belum selesai. “Kalau memang dipercaya, itu namanya takdir,” ujarnya.

Lukman memang dikenal sebagai sosok yang tidak ambisius. Dia sempat digadang-gadang sebagai menteri dari PPP saat periode pemerintahan 2009-2014. Namun, dia justru memilih mengambil posisi sebagai wakil ketua MPR, yang bertugas mengurus empat pilar bangsa.

Namanya juga sempat disebut-sebut mendapatkan pinangan dari Ketua Umum DPP Partai Golkar Aburizal Bakrie untuk menjadi calon wakil presiden pada pemilihan presiden 9 Juli 2014. Namun, Lukman mengatakan, dirinya sangat mengapresiasi usulan tersebut, namun merasa belum pantas menjadi cawapres. Alasannya, jabatan itu memerlukan kapasitas dan kemampuan tertentu.


Lukman Hakim Saifuddin
Lahir: Jakarta, 25 November 1962

Pendidikan:
SDN di Jakarta
Madrasah Ibtidaiyah Manaratul Ulum, Jakarta
SMP Negeri XI, Jakarta
Pondok Pesantren Modern Gontor, Ponorogo, Jatim (1983)
Sarjana (S-1) dari Universitas Islam As-Syafi’iyah

Karier:
Kepala Program dan Diklat pada Lakpesdam NU, Jakarta (1989-1995)
Project Manager Helen Keller Internasional, Jakarta (1995-1997)
Anggota DPR (1997-2014)
Ketua Fraksi PPP DPR (2007-2009)
Anggota Tim Kuasa Hukum DPR (2004-2009)
Wakil Ketua Sosialisasi UUD MPR (2004-2009)
Wakil Ketua MPR (2009-2014)
Menteri Agama

Pengalaman Organisasi:
Sekretaris Umum YISC Al-Azhar (1985-1988)
Wakil Sekretaris PP-LKKN (1985-1988)
Anggota Pengurus Lembaga Pusat Pendidikan dan Pelatihan DPP PPP (1994-1999)
Wakil Ketua Bidang Pengembangan Program Yayasan Saifuddin Zuhri (1994-sekarang)
Badan Pengurus Lakpesdam NU (1996-1999)
Ketua Lembaga Pusat Pendidikan dan Pelatihan DPP PPP (1999-2003)
Sekretaris DPP PPP (2003-2007)
Sekretaris Forum Konstitusi (2004-sekarang)
Ketua Pengurus Harian DPP PPP (2007-2012)

 

Berita Satu.com | Jumat, 05 September 2014 | 07:00