Habib Luthfi bin Yahya dalam sambutannya pada Haul Sunan Ampel ke-568 di Surabaya (13/5/2017) menyebut Lukman Hakim Saifuddin dengan istilah Menteri Agama bin Menteri Agama. Istilah bin diambil dari Bahasa Arab yang berarti anak laki-laki. Ulama kharismatik yang juga anggota Dewan Pertimbangan Presiden itu lantas menegaskan bahwa Lukman adalah al karim ibnul karim atau orang mulia dari keturunan yang mulia: ayahnya seorang ulama sekaligus negarawan asal Banyumas, ibunya putri pengusaha batik asal Purworejo yang gulung tikar akibat agresi militer Belanda.
Benarlah pepatah “buah jatuh tak jauh dari pohonnya”. Ungkapan itu tepat disematkan pada Lukman Hakim Saifuddin. Pada 1950-an hingga 1980-an, ayahnya, Prof. KH. Saifuddin Zuhri dikenal sebagai ulama pejuang dan tokoh nasional dalam sejarah perjalanan bangsa. Berbagai jabatan strategis pernah disandangnya, salah satunya sebagai Menteri Agama pada Kabinet Dwikora tahun 1962-1967.
Sebelas tahun setelah KH. Saifuddin Zuhri wafat pada 1986, si bungsu dari sepuluh putra-putri almarhum mulai menginjakkan kaki di pentas politik nasional mengikuti jejak sang ayah. Terhitung sejak tahun 1997 ia menjadi anggota DPR dari Partai Persatuan Pembangunan hingga tahun 2014 berturut-turut dalam empat kali pemilu. Ketika diangkat menjadi Menteri Agama pada Juni 2014, ia tengah menjabat Wakil Ketua MPR RI di periode terakhir keanggotaannya di DPR RI (2009-2014).
Lukman Hakim Saifuddin, mengalir dalam dirinya moderasi beragama. Perjalanan hidupnya konsisten bermuatan moderasi beragama. Mulai dari aktif dalam kegiatan Pramuka ketika nyantri di Gontor, Jawa Timur; aktivis pemberdayaan masyarakat; empat kali terpilih menjadi anggota legislatif dari partai berbasis agama; anggota Badan Pekerja MPR yang turut merumuskan arah baru Indonesia melalui amandemen UUD 1945 saat Reformasi, lalu menjadi Wakil Ketua MPR satu dekade kemudian; dua kali diberi amanah sebagai Menteri Agama RI; menjadi pelatih utama penguatan moderasi beragama bagi pejabat pemerintah; hingga bergiat di media sosial menyuarakan moderasi beragama. Sosoknya ibarat paket lengkap berisi moderasi beragama dari hulu ke hilir. Ia adalah teladan dalam perkataan dan perbuatan.
"Lukman menuruni naluri politik sang ayah," kata pengamat politik Bahtiar Effendy (w. 2019). Jika melihat kiprah Lukman sejak mulai bergiat di panggung politik, memang banyak kesamaannya dengan figur sang ayah. Tentu saja bukan berarti ia duplikat sang ayah. Hanya, bayang-bayang kebesaran ayahnya memang sempat membuat orang meragukan kemampuannya. Tetapi menyimak wawasan dan kiprahnya, seperti akan diuraikan dalam tulisan ini, keraguan itu akan segera sirna.
Selama lebih dari tiga puluh tahun karirnya sejak kembali dari Pesantren Gontor tahun 1983, ia tak merasa perlu untuk nebeng nama besar ayahandanya. Kendati terlahir dari keluarga “darah biru” kaum santri, sejak remaja Lukman selalu menolak dipanggil Gus. Ia pun tak mendongkrak popularitasnya sendiri dengan hal-hal kontroversial ataupun nyeleneh. Begitulah, ia terus berjalan tegak memberikan yang terbaik bagi bangsa dan negaranya. “Saya berpijak pada integritas, kredibilitas, dan kapasitas saya sendiri,” ucapnya suatu saat.