Habib Luthfi bin Yahya dalam sambutannya pada Haul Sunan Ampel ke-568 di Surabaya (13/5/2017) menyebut Lukman Hakim Saifuddin dengan istilah Menteri Agama bin Menteri Agama. Istilah bin diambil dari Bahasa Arab yang berarti anak laki-laki. Ulama kharismatik yang juga anggota Dewan Pertimbangan Presiden itu lantas menegaskan bahwa Lukman adalah al karim ibnul karim atau orang mulia dari keturunan yang mulia: ayahnya seorang ulama sekaligus negarawan asal Banyumas, ibunya putri pengusaha batik asal Purworejo yang gulung tikar akibat agresi militer Belanda.
Benarlah pepatah “buah jatuh tak jauh dari pohonnya”. Ungkapan itu tepat disematkan pada Lukman Hakim Saifuddin. Pada 1950-an hingga 1980-an, ayahnya, Prof. KH. Saifuddin Zuhri dikenal sebagai ulama pejuang dan tokoh nasional dalam sejarah perjalanan bangsa. Berbagai jabatan strategis pernah disandangnya, salah satunya sebagai Menteri Agama pada Kabinet Dwikora tahun 1962-1967.
Sebelas tahun setelah KH. Saifuddin Zuhri wafat pada 1986, si bungsu dari sepuluh putra-putri almarhum mulai menginjakkan kaki di pentas politik nasional mengikuti jejak sang ayah. Terhitung sejak tahun 1997 ia menjadi anggota DPR dari Partai Persatuan Pembangunan hingga tahun 2014 berturut-turut dalam empat kali pemilu. Ketika diangkat menjadi Menteri Agama pada Juni 2014, ia tengah menjabat Wakil Ketua MPR RI di periode terakhir keanggotaannya di DPR RI (2009-2014).
Lukman Hakim Saifuddin, mengalir dalam dirinya moderasi beragama. Perjalanan hidupnya konsisten bermuatan moderasi beragama. Mulai dari aktif dalam kegiatan Pramuka ketika nyantri di Gontor, Jawa Timur; aktivis pemberdayaan masyarakat; empat kali terpilih menjadi anggota legislatif dari partai berbasis agama; anggota Badan Pekerja MPR yang turut merumuskan arah baru Indonesia melalui amandemen UUD 1945 saat Reformasi, lalu menjadi Wakil Ketua MPR satu dekade kemudian; dua kali diberi amanah sebagai Menteri Agama RI; menjadi pelatih utama penguatan moderasi beragama bagi pejabat pemerintah; hingga bergiat di media sosial menyuarakan moderasi beragama. Sosoknya ibarat paket lengkap berisi moderasi beragama dari hulu ke hilir. Ia adalah teladan dalam perkataan dan perbuatan.
"Lukman menuruni naluri politik sang ayah," kata pengamat politik Bahtiar Effendy (w. 2019). Jika melihat kiprah Lukman sejak mulai bergiat di panggung politik, memang banyak kesamaannya dengan figur sang ayah. Tentu saja bukan berarti ia duplikat sang ayah. Hanya, bayang-bayang kebesaran ayahnya memang sempat membuat orang meragukan kemampuannya. Tetapi menyimak wawasan dan kiprahnya, seperti akan diuraikan dalam tulisan ini, keraguan itu akan segera sirna.
Selama lebih dari tiga puluh tahun karirnya sejak kembali dari Pesantren Gontor tahun 1983, ia tak merasa perlu untuk nebeng nama besar ayahandanya. Kendati terlahir dari keluarga “darah biru” kaum santri, sejak remaja Lukman selalu menolak dipanggil Gus. Ia pun tak mendongkrak popularitasnya sendiri dengan hal-hal kontroversial ataupun nyeleneh. Begitulah, ia terus berjalan tegak memberikan yang terbaik bagi bangsa dan negaranya. “Saya berpijak pada integritas, kredibilitas, dan kapasitas saya sendiri,” ucapnya suatu saat.
Bagaimana rekam jejak Lukman Hakim Saifuddin?
Sekolah Sambil Nyantri
Putra pasangan KH. Saifuddin Zuhri dan Hj. Siti Solichah binti H. Dahlan ini dilahirkan di Jakarta, 25 November 1962. Riwayat pendidikannya dimulai dari bersekolah rangkap. Pagi hari belajar umum di SDN Blok D2 Mayestik, Gandaria, Jakarta Selatan. Siang hingga sore hari belajar agama di Madrasah Ibtidaiyah Manaratul Ulum, Cipete, Jakarta Selatan.
Di madrasah ada pelajaran tashrif —bagian dari pelajaran bahasa Arab tentang morfologi yang membahas asal usul dan pola kata— yang harus dihafal. Ketika itu madrasahnya berdekatan dengan kuburan, kenang Lukman. Di situlah ia menghafal pelajaran dengan duduk di bawah pohon dan bersandar di batu nisan. Sebuah pengalaman yang mengesankan. Mungkin karena suasananya tenang tanpa gangguan, hanya berteman semilir angin perlahan, belajar di situ membuatnya lebih cepat menguasai pelajaran.
Lukman melanjutkan sekolah di SMPN XI di bilangan Mayestik, Jakarta Selatan. Semasa SMP, ia merangkap belajar di Pondok Pesantren Darurrahman yang berlokasi di Jl. Senopati, Kebayoran Baru. Inilah pesantren yang pertama kali didiaminya. Pendidikan di pesantren yang diasuh KH. Syukron Makmun, mubaligh kenamaan di Jakarta, ini sempat diikutinya sekitar satu tahun. Setiap pulang sekolah ia langsung menuju pondok untuk mempelajari kitab-kitab bersama para santri yang lain. Seperti layaknya para santri, ia pun menginap di dalam pondok. Pagi harinya ia berangkat ke sekolah. Begitulah, dalam sepekan hari-harinya dari Senin sampai Jumat dihabiskan di sekolah umum dan pondok. Sabtu pagi barulah ia pulang agar dapat mengisi waktu-waktu akhir pekan bersama keluarga di rumah.
Lewat Darurrahman ia kemudian mengenal Pesantren Gontor, tempatnya kelak ia menimba ilmu setelah lulus dari bangku SMP. Pendiri dan pengasuh Darurrahman, KH. Syukron Makmun adalah keluaran Gontor. Pesantrennya pun dalam banyak hal menerapkan metode yang kurang lebih sama dengan yang diberlakukan di Gontor. Selain itu lewat tulisan-tulisan tentang Gontor yang dibacanya, Lukman tahu bahwa Gontor memiliki kekhasan tersendiri yang berbeda dengan pesantren-pesantren tradisional atau sering diistilahkan sebagai pesantren salaf. Ia makin tertarik dan mantap untuk melanjutkan ke sana.
Pilihan ini ternyata mengagetkan ayahnya. Apalagi di antara sembilan orang kakaknya, tak seorang pun yang lulusan pesantren. Sebagai seorang yang dibesarkan oleh pesantren, tak mungkin ayahnya menolak rencana putranya tersebut.
Lukman hidup di lingkungan keluarga yang demokratis. Sejak kecil terbiasa mengekpresikan pikiran dan perasaan secara bebas, termasuk kepada orang tuanya. Meski sang ibu mencemaskan pilihannya untuk tinggal jauh dari orang tua, Lukman tetap berkukuh. Ia mantap untuk belajar di Gontor meskipun kala itu tak ada saudara atau temannya yang ingin melanjutkan pendidikannya di tempat yang sama.
Ayahnya konsisten dengan pendiriannya dalam mendidik dan membesarkan putra- putrinya dengan memberikan kebebasan kepada mereka ketika memilih sekolah. Tahun 1979, Lukman pun bertolak ke Gontor, Ponorogo, Jawa Timur ditemani sang ayah. Dalam kesempatan mengantar keberangkatan Lukman ini, sang ayah bertemu dengan sahabatnya, Kyai Imam Zarkasyi, pengasuh dan pemimpin pondok pesantren.
Ada kisah unik yang terjadi di balik pertemuan dua kyai yang mempunyai latar belakang berbeda ini. Dari kisah itu tergambar betapa teladan para ulama masa itu penuh dengan nuansa hidup kebersahajaan, saling hormat, terbuka dan menjaga prinsip saling bersaudara. Inilah pertemuan dua sahabat lama yang satu adalah mantan Menteri Agama, dan satu lainnya adalah pendidik ternama yang bermukim di desa. Kisah tersebut bermula seperti ini. Siang itu sehabis menunaikan shalat dhuhur, Kyai Zarkasyi bermaksud keluar masjid untuk pulang ke rumah. Ketika melewati serambi masjid, Kyai Zarkasyi seperti melihat sosok orang yang dikenalnya, setidaknya familiar dengan posturnya. Orang itu sedang tiduran sambil menutupkan songkok di wajahnya. Kyai Zarkasyi segera mendekat dan “… masya Allah, Kyai Saifuddin Zuhri, monggo, apa kabar?” begitu tegurnya. Segeralah pecah percakapan yang sangat akrab antara dua kyai. Dari pertemuan tak terduga itu kyai Zarkasyi mempersilahkan kyai Saifuddin dan Lukman mampir ke rumah. Dan jamuan makan ala kadarnya disuguhkan. Selesai perjamuan makan, siang itu juga kyai Saifuddin meninggalkan Gontor menuju Jakarta.
Berpisah dari ayahnya di gerbang pondok itu mengawali fase baru kehidupan Lukman sebagai santri, yang secara metaforis bisa digambarkan: Santri NU di Pondok Modern. Menariknya, empat tahun menjalani pendidikan di pesantren, Lukman tak pernah sekalipun dijenguk oleh orang tuanya. Hanya surat-menyurat dan sesekali telepon yang menghubungkan komunikasi dirinya dengan keluarga saat itu. Tapi ia tak patah semangat.
Selama nyantri, Lukman juga aktif di gerakan kepanduan. Berseragam coklat khas Pramuka, Lukman pernah dipercaya mengawal Menteri Agama saat itu, Alamsyah Ratu Prawiranegara, yang berkunjung ke Gontor. Ia mengakui Pramuka telah ikut andil dalam membentuk kepribadiannya.
Gontor memberikan warna tersendiri bagi Lukman. Ia banyak memperoleh pengetahuan agama dari pesantren yang didirikan dengan mengacu pada empat institusi pendidikan di luar negeri. Gontor mengacu pada Pondok Syanggit di Mauritania yang harum namanya berkat kedermawanan dan keikhlasan pengasuhnya—mereka mendidik siang-malam dan menanggung seluruh kebutuhan santri. Dalam mengkombinasikan ilmu umum dan ilmu agama, Gontor mengikuti Universitas Muslim Aligarh di India, sebuah lembaga pendidikan modern yang mempelopori revival of Islam. Gontor juga belajar dari Perguruan Santiniketan yang didirikan filosof Hindu Rabindranath Tagore di tengah hutan nan sederhana tapi mampu mengajar dunia. Dan, Gontor punya hubungan spesial dengan Universitas Al Azhar di Mesir yang masyhur.
Tiga ilmu kehidupan didapatkan Lukman di Gontor sehingga mempengaruhi karakter dirinya. Pertama, kedisiplinan yang ditumbuhkan para pendiri Gontor sebagai cermin karakter umat muslim dan bangsa Indonesia. Kedua, nilai keragaman dan toleransi yang terbentuk dari pembauran santri dari berbagai asal daerah dan latar belakang dengan membawa keanekaragaman budaya dan kekhasan masing-masing. Dan, ketiga, kepedulian terhadap sesama yang terasah dari kesetiakawanan santri. “Itu yang membuat jiwa nasionalisme kita kuat dan pandai menempatkan diri sebagai pemimpin ataupun saat dipimpin,” kata Lukman saat acara Syukuran 90 Tahun Pondok Modern Darussalam Gontor (20/8/2016).
Mahasiswa cum Aktivis
Sepulang dari mondok pada tahun 1983, keinginan Lukman kuliah di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta kandas karena masa pendaftaran telah tutup. Tak mau kehilangan waktu percuma, Lukman memutuskan tahun itu tetap kuliah. Terbersit cita-cita jadi guru agama, akhirnya ia memilih Jurusan Dakwah Fakultas Usuluddin Universitas Islam As- syafi`iyah, di Jatiwaringin, Pondok Gede, Jakarta Timur.
Di awal masa kuliah, Lukman aktif di Youth Islamic Study Club (YISC) Masjid Agung Al-Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Selain menambah ilmu agama, ia ingin melatih kemampuan berorganisasi. Di sini pula awal perjumpaannya dengan Trisna Willy yang kelak lima setengah tahun kemudian menjadi istri dan ibu dari ketiga anaknya: Naufal Zilal Kamal, Zahira Humaira, dan Sabila Salsabila.
Sejak 1984 Lukman mengikuti kegiatan penelitian sosial bersama Perhimpunan Pesantren dan Pengembangan Masyarakat (P3M), sebuah lembaga swadaya masyarakat atau LSM yang fokus melakukan pemberdayaan pesantren dan masyarakat. Pada tahun ini, ia turut terlibat secara tak langsung dalam proses penerimaan Nahdlatul Ulama terhadap Pancasila. Tepatnya ketika membantu menjadi "tukang ketik" kakaknya, Fahmi D Saifuddin, dalam penugasan Tim Tujuh yang merumuskan “Pemulihan Khittah” sebagai bahan keputusan Muktamar NU ke-27 di Situbondo, Jawa Timur. Antara tahun 1984-1987, Lukman aktif dalam kegiatan-kegiatan Lembaga Kemaslahatan Keluarga Nahdlatul Ulama (LKKNU) yang concern terhadap masalah kependudukan dan keluarga berencana. Di lembaga ini ia diberi kepercayaan sebagai wakil sekretaris. Kemudian pada tahun 1988 aktif di Lajnah Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) NU hingga 1994. Dalam kurun waktu itu ia mendalami bidang pendidikan dan pelatihan bagi orang dewasa (andragogi). Ia mengikuti kursus intensif tentang pengembangan masyarakat di Asian Health Institute, Nagoya, Jepang (1990). Setahun kemudian ia mengikuti pendidikan 3 bulan tentang pendampingan masyarakat di Curtin University, Perth, Australia.
Selanjutnya Lukman menjadi Manajer Proyek di Helen Keller International pada kurun 1995-1997, sebuah lembaga nirlaba internasional yang fokus pada pengembangan kesehatan masyarakat. Praktis selama kurun 1984-1997 kegiatan-kegiatan seperti penelitian sosial, pelatihan, dan pendampingan masyarakat itulah yang banyak memperkaya pengetahuan dan pengalamannya di bidang sosial kemasyarakatan. Semua propinsi di Nusantara telah ia singgahi. Ia mengaku sesungguhnya masyarakat Indonesia itulah yang mendidiknya dengan kekhasan keragamannya yang mendatangkan kearifan.
Di sela-sela kesibukan menjalani kegiatan pemberdayaan masyarakat, pada tahun 1990 Lukman dapat menyelesaikan kuliahnya dengan mengantongi gelar formal Drs. Ada yang menarik dari sikapnya terhadap tanda kelulusan itu. Tidak seperti kebanyakan sarjana yang ingin segera bekerja dengan bermodalkan ijazah, Lukman justru tidak tertarik menggunakannya untuk meniti karir lalu hidup dalam zona nyaman. Ia justru melanjutkan kiprahnya di LSM dan menggarap kegiatan penelitian dan pelatihan. Salah satu isu yang diangkat untuk tema penelitian dan pelatihannya adalah bagaimana membangkitkan kesadaran hak-hak pendidikan, kesehatan, ekonomi, politik, dan sosial budaya bagi warga negara.
Berkat aktif di LSM, ia banyak mendalami kegiatan pelatihan sehingga menjadi seorang trainer andal. Gayanya dalam memberikan pelatihan disukai oleh para peserta: bahasa yang digunakan sederhana sehingga mudah dipahami dan sering menyisipkan humor- humor sufi yang kritis.
Politikus Idealis
Kiprah Lukman dalam kancah kepelatihan rupanya menarik perhatian para petinggi PPP. Ia diminta masuk PPP dan membuat disain program pengkaderan di partai berlambang Ka’bah itu. “Saya waktu itu berpikir keras, apakah ada manfaatnya masuk parpol. Toh orang-orang sudah hopeless, kehilangan harapan pada parpol,” katanya. Pernyataan yang memang bernada pesimis namun wajar karena saat itu hanya ada dua parpol, PPP dan PDI, dan keduanya tidak berkutik menghadapi raksasa Golkar yang menjadi partai penguasa dengan tiga jalur ABG-nya: ABRI, Birokrasi, dan Golkar. Teman-temannya di LSM juga mempertanyakan hal serupa. Lukman akhirnya masuk arena politik setelah berkonsultasi kepada KH. Cholil Bisri dan KH. Mustofa Bisri.
Pada awal 1994 ketika pertama kali memasuki dunia politik dengan menjadi anggota Lembaga Pusat Pendidikan dan Pelatihan DPP PPP, Lukman langsung diberi tugas menggarap sistem pengkaderan partai. Mungkin karena kinerjanya di sektor strategis ini dinilai sukses, ia kemudian diajukan sebagai calon anggota DPR pada Pemilu 1997 dan berhasil menjejakkan kaki di Senayan.
Namun angin reformasi berembus kencang, situasi politik di Indonesia pun berubah total. Kabinet Pembangunan VII di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto dan Wakil Presiden Baharuddin Jusuf Habibie pun harus bubar dalam waktu singkat (16 Maret 1998-21 Mei 1998). DPR hasil Pemilu 1997 itu hanya bertahan dua tahun.
Rakyat yang kecewa terhadap hasil Pemilu 1997 melampiaskan amarah dan menuntut Presiden Soeharto turun dari kursi kepresidenan serta mendesak diadakannya reformasi total di segala bidang. Demonstrasi besar-besaran yang berujung kerusuhan hebat melanda seantero negeri, aksi kekerasan dan pelanggaran HAM terjadi di mana-mana. Di Jakarta langit tampak menghitam karena aksi pembakaran yang diikuti aksi penjarahan. Gedung DPR diduduki oleh massa gabungan mahasiswa dan berbagai elemen masyarakat.
Melihat situasi makin tak menentu, digelarlah Sidang Istimewa Majelis Permusyaratan Rakyat, 10-13 November 1998. Menanggapi tuntutan massa yang terus-menerus di luar gedung MPR dan berbagai tempat di Tanah Air, Sidang Istimewa MPR melakukan perombakan besar-besaran terhadap aturan ketatanegaraan dan perundang-undangan.
Sidang Istimewa MPR menghasilkan 12 Ketetapan MPR. Semua ketetapan atau kebijakan yang dinilai menyuburkan otoritarianisme dan melanggengkan kekuasaan Orde Baru dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Tap MPR yang berupa pencabutan antara lain, Tap MPR No. IX Tahun 1998 mencabut Tap MPR No. II Tahun 1998 tentang GBHN; Tap MPR No. XVIII Tahun 1998 mencabut Tap MPR No. II Tahun 1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Eka Prasetya Pancakarsa), atau P-4; Tap MPR No. XII Tahun 1998 mencabut Tap MPR No. IV Tahun 1993 tentang Pemberian Tugas dan Wewenang Khusus kepada Presiden/Mandataris MPR dalam Rangka Menyukseskan Pembangunan Nasional sebagai Pengamalan Pancasila; dan Tap MPR No. XVIII Tahun 1998 menyatakan bahwa Pancasila tidak lagi dijadikan sebagai Asas Tunggal. Seluruh organisasi politik tidak lagi wajib menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas organisasi.
Terdapat setidaknya empat Tap MPR yang memperlihatkan upaya mengakomodasi tuntutan reformasi total sistem hukum dan ketatanegaraan, sebagai berikut: Tap MPR No. XI Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN; Tap MPR No. VIII Tahun 1998 tentang Pencabutan Tap MPR No. IV/MPR/1983 tentang Referendum yang memungkinkan UUD 1945 dapat diamandemen; Tap MPR No. XIII Tahun 1998 tentang Pembatasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden Maksimal Dua Periode, dan Tap MPR No. XVII Tahun 1998 tentang Hak Asasi Manusia.
Meskipun tak genap lima tahun sebagai anggota DPR/MPR RI pada awal karirnya ini, Lukman mengaku cukup puas dengan kiprahnya di parlemen, khususnya saat berada di MPR sebagai lembaga tertinggi negara saat itu. Salah satu juru bicara F-PPP dalam Sidang Istimewa MPR ini merasa dalam waktu singkat dapat ikut terlibat langsung melahirkan sejumlah produk hukum yang sesuai tuntutan rakyat secara tepat waktu dan tepat sasaran.
Kendati mengaku idealismenya kadang terbentur oleh sistem di DPR/MPR maupun di partainya, Lukman tetap optimis dengan kinerja partai politik dan parlemen saat itu bahwa Indonesia baru yang lebih demokratis akan segera terwujud. Ia bersyukur bisa berada di DPR/MPR pada saat yang tepat. Niatnya untuk memberikan lebih banyak manfaat bagi bangsa dan negara kembali terwujud ketika pada Pemilu 1999, yakni Pemilu yang dipercepat, ia kembali terpilih menjadi anggota DPR/MPR periode 1999- 2004. Periode yang menentukan nasib bangsa Indonesia dalam melewati masa transisi menuju konsolidasi demokrasi dengan lancar dan tertib.
Mengawali masa kerjanya, MPR membentuk Badan Pekerja (BP) yang bertugas menyiapkan bahan-bahan permusyawaratan untuk dibahas dan diambil putusan pada sidang-sidang MPR. Jumlah anggota BP MPR sebanyak 90 orang yang susunan komposisinya mencerminkan perimbangan jumlah anggota fraksi di MPR. Umumnya fraksi-fraksi di MPR menunjuk anggotanya yang terbaik dan senior untuk duduk di alat kelengkapan MPR yang amat prestisius itu.
BP MPR membentuk panitia ad hoc yang merupakan alat kelengkapan BP MPR, yaitu Panitia Ad Hoc I, Panitia Ad Hoc II, dan Panitia Ad Hoc III dengan tugas yang berbeda. Sebagai anggota BP MPR, Lukman duduk di Panitia Ad Hoc I dan Ad Hoc III yang bertugas menyiapkan dan merumuskan naskah rancangan Perubahan UUD 1945.
Berbeda dengan tradisi yang berlaku bahwa sidang MPR diadakan sekurang-kurangnya sekali dalam lima tahun, MPR era Reformasi harus menggelar tujuh kali sidang permusyawaratan: Sidang Umum 1999, Sidang Istimewa 2001, Sidang Tahunan empat kali (2000, 2001, 2002, 2003), dan satu kali Sidang Akhir Masa Jabatan (2004).
Sidang Tahunan (ST) MPR selain menerima laporan Presiden, DPA, DPR, BPK, dan MA atas pelaksanaan putusan-putusan MPR sesuai dengan bidang tugas dan wewenangnya, juga membahas serangkaian Perubahan UUD 1945 yang dilakukan dalam empat tahap. Perubahan Pertama UUD 1945 dibahas dan disahkan dalam Sidang Umum MPR 1999, selanjutnya Perubahan Kedua dibahas dan disahkan pada ST MPR 2000, Perubahan Ketiga pada ST MPR 2001, dan Perubahan Keempat pada ST MPR 2002.
Perubahan Pertama UUD 1945 dilakukan bersamaan dengan pembahasan agenda Sidang Umum MPR 1999 yang sangat padat dengan waktu persiapan yang terbatas. Tak heran jika panitia ad hoc harus bekerja secara terus menerus selama delapan hari dari pagi hingga dini hari. Perubahan Pertama dalam SU MPR 1999 menjadi putusan MPR yang membuka sejarah baru karena akan mengakhiri pendapat yang berkembang selama puluhan tahun bahwa UUD 1945 tidak boleh diubah.
Dalam rentang masa Perubahan UUD 1945 selama 4 tahun (1999-2002) dibuka lebar pintu partisipasi publik. Panitia ad hoc yang bertugas merumuskan rancangan Perubahan UUD 1945 berperan sangat penting dalam penyerapan aspirasi masyarakat. Mereka harus mendengarkan aspirasi berbagai kalangan masyarakat dan lembaga pemerintah mengenai cita-cita, pendapat, dan gagasan, serta materi perubahan konstitusi yang dikehendaki. Mereka juga harus mencermati secara serius berbagai pendapat dan pandangan mengenai konstitusi dan perubahan konstitusi yang dikemukakan melalui forum-forum publik dan media massa. Baik pendapat dan pandangan itu disampaikan para pakar, mahasiswa, pimpinan ormas, aktivis LSM, peneliti atau lainnya, maupun oleh warga masyarakat biasa.
Kegiatan penyerapan aspirasi dilakukan dalam bentuk rapat dengar pendapat umum (RDPU), kunjungan kerja ke daerah, dan seminar atau dialog. Studi banding ke beberapa negara lain juga dilaksanakan guna mempelajari konstitusi dari berbagai aspek, baik latar belakang pemikiran, sejarah penyusunan, proses dan materi perubahan, serta pelaksanaan konstitusi. Selain itu juga dilakukan studi kepustakaan dengan mempelajari naskah konstitusi negara-negara lain.
Bertugas di panitia ad hoc menuntut kerja keras, tanggung jawab dan kepekaan terhadap aspirasi rakyat. Di pundak mereka amanah reformasi diserahkan sepenuhnya oleh rakyat. Rakyat menginginkan konstitusi modern, demokratis, dan peduli hak asasi manusia. Apalagi pada saat yang sama, Lukman yang duduk di PAH I Badan Pekerja MPR, juga menjadi Wakil Sekretaris Fraksi PPP MPR dan juru bicara fraksi dalam sidang-sidang MPR.
Di luar parlemen, masyarakat melakukan pengawasan ketat untuk mengawal jalannya reformasi. Penyampaian aspirasi seringkali melibatkan demonstrasi besar-besaran di jalan-jalan ibu kota dan daerah. Lukman kerap menerima delegasi yang menyampaikan aspirasinya itu. Tanpa sungkan dan takut, dalam satu kesempatan menerima perwakilan demonstran, Lukman mendapat hadiah korek kuping besar dari gabungan LSM sebagai simbol yang mengisyaratkan agar wakil rakyat lebih peka mendengar aspirasi.
Dalam arus gejolak reformasi, kiprah politik Lukman benar-benar diuji. Saat itu santer usulan agar NU mengambil kesempatan di era demokrasi untuk tampil ke depan dan tidak lagi terpinggirkan dalam perpolitikan nasional sebagaimana dialami selama satu dekade terakhir masa Orde Baru. Ketua PBNU Gus Dur kemudian membentuk Tim Lima, terdiri dari lima kyai terkemuka, yang bertanggung jawab mendiskusikan usulan tersebut. Lukman menjadi salah satu generasi muda NU yang ditunjuk membantu kerja Tim Lima, disebut Tim Asistensi atau Tim Sembilan dalam persiapan pendirian partai yang kemudian dinamakan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Meskipun turut membidani kelahiran PKB, nama Lukman tidak muncul dalam struktur pengurus PKB ketika partai ini dideklarasikan pada Agustus 1998. Saat ditawari KH. Cholil Bisri (ayahanda Ketua PBNU Yahya Cholil Staquf dan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas) untuk masuk PKB, Lukman lebih memilih untuk tetap di PPP. Bagi Lukman, bersikap istiqamah untuk secara teguh berjalan pada rel pilihan politik selama ini justru diperlukan ketika menghadapi godaan tawaran yang mungkin terlihat menjanjikan bagi karir politiknya. Meskipun pilihannya itu berisiko tersingkir dari politik akibat hiruk pikuk reformasi, Lukman bergeming dengan alasan ingin menjaga PPP yang telah berevolusi panjang memperjuangkan aspirasi umat Islam. Idealisme ini justru menjadikannya bertahan di pentas politik nasional dan mendapatkan posisi terhormat.
Bintang Mahaputera Adipradana
MPR Periode 1999-2004 telah membuat sejarah baru dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia. Berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan atas kerja keras panitia ad hoc yang menyiapkan naskah rancangan perubahan konstitusi, MPR berhasil mengesahkan perubahan konstitusi dalam satu naskah dengan nama resmi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dengan mencermati isi UUD 1945 yang telah diubah, dapat dikatakan bahwa Perubahan UUD 1945 yang dilakukan bangsa Indonesia melalui MPR merupakan lompatan besar demokrasi Indonesia. Beberapa perubahan yang dipandang menjadi bagian lompatan besar demokrasi tersebut antara lain dapat dikemukakan berikut:
Pertama, pengalihan paham “Supremasi MPR” ke “Supremasi Konstitusi”. Seperti dimaklumi, sebelum Perubahan UUD 1945, Indonesia menganut paham Supremasi MPR dikarenakan konstitusi menggariskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR. Perubahan UUD 1945 mengubahnya menjadi paham Supremasi Konstitusi, yakni konstitusilah yang menempati kedudukan tertinggi di negara Indonesia dan konstitusilah yang mengatur berbagai aspek ketatanegaraan dan penyelenggaraan negara, termasuk pelaksanaan kedaulatan rakyat. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD.
Kedua, pengukuhan prinsip checks and balances (saling mengawasi dan mengimbangi) antar cabang kekuasaan negara. Pasca Perubahan UUD 1945 tidak ada lagi sebuah lembaga negara yang menempati kedudukan lebih tinggi dibanding lembaga negara lainnya dengan kekuasaan sangat besar (super body), sehingga tidak bisa dikontrol oleh lembaga, pihak, atau siapa pun juga. Tidak dikenal lagi istilah Lembaga Tertinggi Negara yang melekat pada MPR dan istilah Lembaga Tinggi Negara yang disandang Presiden, DPR, BPK, dan MA. Kini berbagai lembaga tersebut disebut sebagai lembaga negara dengan kedudukan sejajar dan sederajat sehingga dapat menjalankan fungsi saling kontrol dan saling mengimbangi (checks and balances).
Ketiga, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung. Pemilihan presiden dan wakil presiden yang selama ini dilakukan oleh MPR berganti menjadi sistem pemilihan langsung dipilih oleh rakyat.
Keempat, pembatasan masa jabatan presiden. Melalui Perubahan UUD 1945 kekuasaan presiden dibatasi lebih jelas dan lebih tegas lagi, yakni masa jabatan presiden maksimal hanya untuk dua periode.
Kelima, pengaturan HAM tercantum dalam satu bab tersendiri yaitu Bab XA dengan 10 pasal serta 24 ayat, yaitu Pasal 28A sampai Pasal 28J. Rumusan mengenai HAM ini sangat lengkap mencakup seluruh aspek HAM yang diakui secara universal. Keberlakuan seluruh HAM yang tercantum dalam Bab XA UUD 1945 dapat dibatasi dengan ketentuan dalam Pasal 28J sebagai pasal penutup dari seluruh ketentuan yang mengatur tentang HAM. Pasal 28J ayat 2 menyebutkan bahwa pelaksanaan hak dan kebebasan seseorang dapat dibatasi UU, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, serta untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Keenam, pembentukan lembaga perwakilan baru barbasis wilayah, yakni Dewan Perwakilan Daerah atau DPD, dan lembaga baru yang melaksanakan kekuasaan kehakiman, yaitu Mahkamah Konstitusi (MK) dan Komisi Yudisial (KY).
Dalam banyak kesempatan Lukman berharap UUD 1945 senantiasa dijadikan konstitusi yang hidup di tengah masyarakat, dalam arti dijadikan rujukan dalam pembuatan undang- undang, panduan etik dan moral bagi para penyelenggara negara, serta menjadi norma sosial yang ditaati oleh masyarakat.
Selama di Komisi III DPR RI yang membidangi hukum, Lukman terlibat dalam berbagai keanggotaan Pansus RUU dan berhasil melahirkan sebanyak 23 undang-undang. Terbanyak, undang-undang baru yang harus terbit atas perintah langsung dari UUD 1945 dan Ketetapan MPR. Sekadar menyebut contoh, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, UU No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, UU No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Selanjutnya, UU No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, UU No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Agung, UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, dan UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan.
Ketika menjabat Wakil Ketua MPR-RI (2009-2014) dan memimpin Tim Sosialisasi Putusan MPR RI, Lukman dinilai berhasil menjalankan tugas memimpin pelaksanaan Sosialisasi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Putusan MPR ke berbagai kalangan masyarakat, perguruan tinggi, instansi pemerintah, TNI dan Polri, baik di tingkat pusat maupun daerah.
Materi sosialisasi yang dikemas dengan sebutan “Empat Pilar Kehidupan Berbangsa”, yang terdiri atas Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika, cukup populer di kalangan masyarakat kala itu. Bahkan diadopsi dalam Pasal 34 ayat (3b) huruf a UU No. 2 tahun 2011 tentang Perubahan atas UU No. 2 tahun 2008 tentang Partai Politik.
Kata “empat pilar” untuk menunjuk Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika, sempat memicu polemik. Peneliti senior dari CSIS Harry Tjan Silalahi menulis di harian Kompas (12/4/2013) dengan judul “Sesat Pikir, Samakan Pancasila sebagai Pilar”, intinya keberatan dengan konsep Pancasila sebagai pilar yang disejajarkan dengan UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Menanggapi Harry Tjan, Lukman menulis di harian yang sama (25/4/2013) dengan judul “Pancasila sebagai Pilar Bangsa”, yang menjelaskan bahwa makna pilar tidak hanya tunggal yakni tiang penyangga, pilar bisa berarti dasar. Dijelaskan juga maksud penggunaan istilah “empat pilar”, semata untuk mengefektifkan komunikasi. Penyebutan empat pilar, tulis Lukman, jelas lebih singkat dan lebih mudah diingat dibandingkan penyebutan lengkap Pancasila, UUD 1945, NKRI, Bhinneka Tunggal Ika.
Ketika MK melalui Putusan Nomor 100/PUU-XI/2014 menghapus frasa “Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara” yang terdapat dalam undang-undang parpol tersebut, Lukman mengaku terkejut dan kecewa, namun ia tetap menghargai putusan MK. Frasa empat pilar memang dinyatakan tidak punya kekuatan hukum yang mengikat lagi, namun menurut Lukman isinya tetap tidak ada masalah. MPR akan terus berjuang membumikan Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika dengan mengubah istilah empat pilar dengan istilah lain yang lebih komunikatif. Saat itu sempat muncul istilah “Empat Pusaka”.
Merasa masih ada yang kurang dalam konstruksi konstitusi terkait doktrin negara hukum dan paham konstitusionalisme yang dianut Indonesia, Lukman pernah menggagas penerapan ide “constitutional complaint”. Gagasan ini dimaksudkan sebagai mekanisme penyelesaian pelanggaran hak-hak konstitusional uang dialami warga negara, sehingga masyarakat yang dilanggar HAM-nya memiliki saluran yang sah untuk memperjuangkan hak-haknya tersebut.
Atas jasa-jasanya yang luar biasa dalam menjaga keutuhan, kelangsungan, dan kejayaan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Lukman memperoleh anugerah penghargaan Bintang Mahaputera Adipradana dari Negara. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyerahkan langsung tanda kehormatan itu di Istana Negara, Rabu 13 Agustus 2014, saat ia baru dua bulan diangkat menjadi Menteri Agama RI.
Wakil Rakyat yang Kritis
Sebagai wakil rakyat, Lukman senantiasa berupaya untuk memenuhi kewajiban moral dan konstitusionalnya. Hal itu dapat dilihat dari sikap dan kiprahnya sebagai anggota DPR. Ia tidak hanya bekerja keras melaksanakan tugas sesuai bidangnya, tetapi juga bersikap kritis dan tak segan untuk mengambil sikap berbeda dengan mayoritas anggota DPR jika meyakini bahwa kebijakan yang diambil telah melanggar amanat rakyat.
Pada Oktober 2005, muncul kebijakan memberikan kenaikan tunjangan anggota DPR sebesar Rp 10 juta per bulan. Padahal saat itu rakyat Indonesia masih belum sepenuhnya mampu bangkit akibat krisis nasional, masih banyak pengangguran, para petani didera oleh tingginya harga pupuk, serta banyak gedung sekolah yang rusak.
Kebijakan itu sebenarnya menguntungkan dirinya sebagai anggota dewan. Tapi Lukman justru menolak keras. Menurut dia, setiap anggota dewan dan pejabat negara dalam kondisi krisis harus menunjukkan keprihatinan dan segera mengevaluasi kebijakan yang menyengsarakan rakyat. Saat sidang paripurna, Lukman mengajukan interupsi meminta pimpinan sidang membatalkan kebijakan tersebut dan berharap DPR menunjukkan empati di tengah krisis yang dialami masyarakat. Namun Ketua DPR saat itu menyatakan bahwa tunjangan tersebut sudah diputuskan, dan anggota diimbau untuk memanfaatkannya untuk kepentingan rakyat. (www.detik.com, 24 Oktober 2005).
Sikap yang sama ditunjukkan pada saat ada rencana pemberian mobil Toyota Camry 2.400 cc kepada sembilan Ketua Muda MA dan Toyota Altis kepada tujuh pejabat eselon I di lingkungan MA. Lukman menilai hal tersebut menampakkan tidak adanya prioritas pimpinan MA dalam penggunaan anggaran. Lukman melihat kondisi pengadilan, fasilitas, dan kesejahteraan hakim di daerah sangat memprihatinkan. Tumpukan perkara di pengadilan negeri dan pengadilan tinggi juga seharusnya mendapatkan prioritas perhatian. Sekalipun para hakim MA berhak mendapatkan kendaraan dinas sesuai jabatan yang disandang, hal tersebut, lanjut dia, tidak secara langsung menunjang kelancaran tugas. Mobil hanya akan dinikmati petinggi MA, sementara orang-orang yang levelnya di bawah pejabat yang kesejahteraannya perlu ditingkatkan justru tidak diprioritaskan. (Suara Merdeka, 15 Januari 2006).
Pada saat Pemerintah akan menaikkan gaji PNS dalam Pidato Kenegaraan Presiden, 16 Agustus 2006, banyak kalangan menentangnya. Namun Lukman secara tegas mendukung kebijakan tersebut. Ia menilai bahwa kebijakan tersebut telah ditunggu-tunggu oleh PNS, terutama golongan bawah. Lukman mengakui kebijakan tersebut dapat memicu kenaikan harga barang dan jasa. Namun kenaikan harga banyak variabelnya terutama tingkat inflasi dan tidak terkait langsung dengan kenaikan gaji PNS. Artinya walaupun gaji PNS tidak naik, harga barang dan jasa tetap akan naik karena inflasi. Bahkan Lukman berpendapat kalau ingin menyejahterakan PNS, selain menaikkan gaji, juga harus menaikkan tunjangan. (Wawasan, 14 Agustus 2006).
Pada Agustus 2006 ada rencana kunjungan kerja Badan Legislasi (Baleg) DPR ke Brasil dan Argentina. Sebagai anggota Baleg Lukman tentu saja termasuk anggota yang akan melakukan kunjungan tersebut. Namun rencana tersebut mendapatkan sorotan publik dan dianggap sebagai kegiatan “melancong”, sehingga Lukman pun membatalkan keikutsertaannya. Keputusan pembatalan keberangkatannya disampaikan pada rapat Baleg. Ia menyatakan dirinya tetap harus mengedepankan nurani dan akal sehat untuk menunjukkan bahwa tidak semua anggota DPR bebal atau tidak peka dengan kondisi rakyat dan negara. (Republika, 7 Agustus 2006).
Berbagai contoh dari sikap tegas dan kritis selama di DPR membuat sosok Lukman menjadi salah satu anggota DPR yang masih dipercaya rakyat di tengah berbagai sorotan negatif yang diarahkan kepada anggota DPR.
Pada Mei 2005 ada keinginan dari Wakil Presiden dan Ketua DPR terkait penggantian komisioner KPU. Kebijakan itu akan dilakukan dengan membuat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau Perppu. Lukman menolak ide tersebut karena akan membahayakan independensi KPU. Sesuai UU No. 12 Tahun 2003, Presiden dan DPR hanya dapat memberhentikan anggota KPU jika yang bersangkutan telah divonis dengan pasal yang ancaman hukumannya minimal lima tahun penjara. Penerbitan Perppu tidak mendapatkan cukup alasan kedaruratan. (Kompas 25 Mei 2005).
Pada Agustus 2005, wacana reshuffle kabinet mengemuka. F-PDIP dan F-PKS menuntut mundur menteri-menteri bidang ekonomi. Lukman tidak sependapat dengan tuntutan tersebut karena tidak sesuai dengan ketentuan yang digariskan dalam UUD 1945 bahwa sistem pemerintahan yang dianut adalah presidensiil, bukan parlementer, sehingga tuntutan mundur dari parlemen kepada menteri tidak berlaku.
Partai politik juga tidak mempunyai kewenangan untuk mendukung usulan reshuffle. Dalam sistem presidensiil, Presidenlah yang menentukan. Menurut Lukman, yang harus dilakukan bukan reshuffle, tetapi perbaikan kinerja tim ekonomi. Walaupun menterinya diganti, jika tidak ada upaya perbaikan, tetap akan sama. Hal inilah nantinya yang akan dipertanggungjawabkan Presiden dan para pendukungnya pada pemilihan umum yang akan datang. (www.detik.com, 29 Agustus 2005).
Peduli Keluhuran Martabat Hakim
Keberadaan Komisi Yudisial (KY) dengan anggota-anggotanya yang umumnya sosok yang punya semangat perubahan, menimbulkan gesekan dengan institusi Mahkamah Agung. Pasalnya Mahkamah Agung berkeberatan dengan tugas lembaga baru tersebut yang diberi kewenangan melakukan pengawasan terhadap hakim agung dan hakim-hakim di lingkungan institusi peradilan.
Sebagai anggota Komisi III DPR yang membidangi hukum dan duduk di Badan Legislasi DPR, pemikiran dan pandangan Lukman tersebar di berbagai media massa. Apalagi mengingat Lukman adalah mantan anggota panitia ad hoc yang membidangi perubahan konstitusi, yakni PAH I dan PAH III Badan Pekerja MPR yang bertugas merumuskan Perubahan UUD 1945, sehingga mengetahui persis arah penataan kekuasaan kehakiman yang dikehendaki oleh UUD 1945.
Dalam buku Bunga Rampai Referensi Peran Komisi Yudisial RI, Lukman menulis satu bagian dengan judul “Komisi Yudisial dan Fungsi Checks and Balances dalam Kekuasaan Kehakiman”. Dijelaskan, Komisi Yudisial lahir dalam Perubahan Ketiga UUD 1945 yang dirumuskan dalam Pasal 24B ayat (1) sampai (4) UUD 1945. Dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 disebutkan bahwa KY bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Ketentuan tentang KY lebih lanjut diatur dalam UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial sebagai amanat UUD 1945 Pasal 24B ayat (4).
Menurut Lukman, keberadaan KY dilatarbelakangi oleh kehendak kuat agar kekuasaan kehakiman yang dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK) benar-benar merupakan kekuasaan yang merdeka dalam menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Merdeka dalam hal ini, tambah Lukman, berarti juga merdeka dari kecenderungan penyalahgunaan untuk kepentingan pribadi, kelompok dan golongan. Kekuasaan kehakiman harus diabdikan semata-mata demi tegaknya hukum dan keadilan.
Realitas menunjukkan bahwa salah satu cabang kekuasaan yang belum banyak beranjak dari keterpurukan akibat penyalahgunaan kekuasaan adalah kekuasaan kehakiman, khususnya institusi peradilan yang dikenal dengan istilah “mafia peradilan”. Sungguh ironis jika hakim yang menyalahgunakan kekuasaannya selalu berlindung di balik jargon kekuasaan yang merdeka. Maka keberadaan KY dengan fungsinya menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim dimaksudkan untuk memberantas praktik-praktik mafia peradilan.
Sesuai tugas yang diberikan, Komisi Yudisial melakukan monitoring terhadap hakim, baik berdasarkan laporan masyarakat maupun dengan eksaminasi putusan yang dianggap kontroversial, melakukan pemanggilan terhadap beberapa hakim dan hakim agung. Bahkan KY telah memberikan rekomendasi pemberian sanksi terhadap beberapa hakim kepada MA. Namun rekomendasi KY tidak ditindaklanjuti, sehingga KY mengusulkan agar hakim agung pada MA diseleksi ulang.
KY mengusulkan agar dibuat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang perubahan Undang-undang KY karena merasa kewenangan yang dimiliki tidak mencukupi untuk dapat melaksanakan tugas dan kewajiban yang diamanatkan UUD 1945 dalam hal melakukan pengawasan terhadap hakim.
Lukman saat itu berpendapat bahwa sebaiknya yang dilakukan adalah perubahan terhadap UU KY karena jika bentuknya Perppu, resistensi DPR sangat besar sehingga kemungkinan ditolak. Hal itu karena konsep awal pembuatan UU KY dibahas di DPR, sehingga perubahannya juga harus melibatkan DPR.
Perppu, jelas Lukman, adalah peraturan setingkat undang-undang yang dibuat oleh Presiden dalam keadaan genting dan memaksa. Perppu bisa menganulir atau membatalkan undang-undang terdahulu yang dibuat DPR. Semakin banyak Perppu lahir, kewenangan parlemen semakin berkurang. Kondisi demikian, menurut Lukman, dapat menimbulkan otoritarianisme Presiden.
Tak terima dengan langkah KY, 13 hakim agung mengajukan permohonan constitutional review atau pengujian Undang-undang KY terhadap UUD 1945 kepada MK terutama terkait pasal-pasal yang mengatur pengawasan hakim. Mengenai hal ini, Lukman berpendapat bahwa perselisihan antara MA dan KY seharusnya dihadapi secara arif dan bijaksana. Kalau MA dan KY bersengketa secara terbuka, dikhawatirkan dapat menimbulkan efek negatif dan mengganggu proses pembaruan hukum di Indonesia.
Pertentangan antara MA dan KY yang berujung pada perkara di MK bersumber pada dua pertanyaan. Pertama, apakah hakim agung menjadi obyek pengawasan KY? Kedua, apakah dalam upaya menjaga dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta perilaku hakim, KY dapat menggunakan putusan hakim sebagai pintu masuk untuk memeriksa seorang hakim.
Dalam padangan Lukman, KY dapat menjadikan putusan hakim sebagai pintu masuk untuk mengetahui apakah seorang hakim memutus berdasarkan hukum dan keadilan, atau sebaliknya terdapat indikasi kepentingan tertentu yang bertentangan dengan keadilan dan kebenaran. Meskipun KY tidak dapat menganulir putusan hakim sekalipun putusan itu jelas-jelas bertentangan dengan hukum dan keadilan, namun, jelas Lukman, putusan hakim adalah bagian tak terpisahkan dari kehormatan dan keluhuran martabat hakim.
Agar putusan hakim senantiasa mendukung kehormatan dan keluhuran martabatnya, Lukman memandang perlunya disusun sebuah code of conduct hakim. Menurutnya, code of conduct itu akan menjadi pedoman dan acuan cara mengambil putusan dan proses peradilan yang dapat menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilakunya.
Rabu, 23 Agustus 2006, Mahkamah Konstitusi membacakan putusan yang mengejutkan. Putusan tersebut menyebutkan bahwa pengaturan pengawasan hakim dalam UU KY menimbulkan ketidakpastian dan mengganggu kemerdekaan hakim sehingga dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Putusan MK juga menyebut bahwa hakim konstitusi dinyatakan bukan jabatan hakim yang dapat disamakan dengan hakim biasa, karena itu hakim konstitusi tidak masuk dalam wilayah pengawasan KY.
Putusan tersebut mendapat reaksi keras dari berbagai pihak, terutama unsur DPR sebagai pembentuk undang-undang. Lukman mengeluarkan siaran pers yang menilai bahwa putusan MK itu telah mematikan prinsip checks and balances yang menjadi roh bangunan kelembagaan negara. Lukman menilai MK yang mestinya menjadi penjaga dan pengawal konstitusi justru terjebak dan berpotensi menyuburkan kembali praktik mafia peradilan. Oleh karena itu, Lukman meminta DPR supaya segera bersidang untuk menyikapi putusan yang menjadikan MK dan MA sebagai lembaga yang tidak tersentuh pengawasan dari luar.
Menyikapi putusan MK, Komisi III DPR melakukan pertemuan dengan MK pada tanggal 5 September 2006. Usai pertemuan, Lukman menyatakan bahwa terjadi perbedaan pandangan yang tajam antara MK dan sebagian anggota Komisi III. MK berpendapat bahwa KY tidak berada dalam posisi checks and balances terhadap pelaku kekuasaan kehakiman. Pendapat tersebut, menurut Lukman, jelas bertentangan dengan maksud Perubahan UUD 1945. Demikian pula dengan pendapat MK yang menyatakan bahwa hakim konstitusi tidak dapat disamakan dengan hakim lain karena hakim konstitusi bukanlah profesi. Sebaliknya, Lukman berpendapat bahwa maksud pembentuk UU KY adalah bahwa MK selaku pelaku kekuasaan kehakiman tetap harus diawasi oleh KY.
Putusan MK tentang UU KY telah dijatuhkan dan memiliki kekuatan hukum. Putusan MK sesuai dengan ketentuan UUD 1945 bersifat final dan mengikat. Semua pihak, walaupun gundah dengan putusan itu tetap harus menerimanya. Mungkin putusan MK merupakan salah satu kebenaran dalam usaha konsolidasi lembaga negara dalam kekuasaan kehakiman. Namun putusan tersebut telah menunda dan menjauhkan upaya pemulihan kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku hakim, serta kewibawaan peradilan di Indonesia. Belakangan pendapat Lukman yang ditolak MK bahwa hakim konstitusi tetap harus diawasi KY terbukti kebenarannya dengan tertangkapnya sejumlah hakim konstitusi karena melakukan tindak pidana korupsi.
Mengakhiri Perdebatan “Indonesia Asli”
Pada 1 Agustus 2006, Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan disahkan. Perasaan puas terpancar di wajah wakil rakyat. Selaku anggota Pansus RUU Kewarganegaraan, Lukman tak kalah bersyukur. Rancangan Undang-Undang yang disiapkan sejak lama dapat disahkan dan mendapat apresiasi luar biasa dari masyarakat. Ia yakin betul bahwa regulasi ini akan menjadi titik tolak lahirnya perubahan revolusioner dalam sistem hukum kewarganegaraan Indonesia. Dikatakan revolusioner karena menghapus semua aturan terkait kewarganegaraan yang diskriminatif sehingga dapat memperlakukan warga keturunan sama seperti warga negara Indonesia.
Penduduk Indonesia bukan hanya terdiri atas orang Indonesia asli, tapi juga terdapat penduduk keturunan asing seperti Tionghoa, Arab, India, dan lain-lain. Warga keturunan, terutama etnis Tionghoa, banyak mengalami praktek diskriminasi dalam pemenuhan hak kewarganegaraan. Perlakuan tidak adil mereka terima sejak pengurusan KTP, KK hingga hak mendapatkan pekerjaan, juga dalam kedudukan hukum dan pemerintahan. Mereka dianggap orang asing yang harus melakukan pewarganegaraan untuk mendapatkan status Warga Negara Indonesia. Dengan berlakunya UU Kewarganegaraan diharapkan tidak akan terjadi lagi diskriminasi atau perlakuan tidak adil terhadap warga negara keturunan.
UU Kewarganegaraan, kata Lukman, akan mengakhiri pro-kontra mengenai status orang Indonesia asli atau bukan orang Indonesia asli. Hal ini penting mengingat perdebatan mengenai persoalan ini sudah berlangsung lama bahkan sejak Indonesia baru merdeka dan tak kunjung selesai.
Perhatian Lukman terhadap masalah kewarganegaraan sudah ditampakkan pada proses amandemen UUD 1945. Ketika perdebatan mengenai “Indonesia asli” berlangsung sengit, ia terlibat intens guna mencari titik temu dari berbagai silang pendapat yang mengemuka. Hasil dari perdebatan itu dapat dilihat dalam ketentuan UUD 1945 mengenai kekuasaan pemerintahan negara.
Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 sebelum amandemen dinyatakan, “Presiden ialah orang Indonesia asli". Lalu setelah amendemen diubah menjadi “Calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri...”.
Dalam Pasal 26 UUD 1945 yang juga dimuat dalam Pasal 2 UU Kewarganegaraan, disebutkan bahwa yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara. Pasal ini secara sepintas memang dapat membuka peluang bagi munculnya pemahaman bahwa warga keturunan Tionghoa dan semacamnya tidak termasuk dalam kategori Indonesia asli. Konsekuensinya, mereka harus rela menjadi warga kelas dua, dimana hak-haknya dibedakan dari warga keturunan Jawa, Batak, Banjar, Papua, dan lain-lain yang merupakan warga negara Indonesia asli.
Namun dengan disahkannya UU Kewarganegaraan, polemik tentang siapa orang Indonesia asli atau bukan orang Indonesia asli dapat diakhiri. Penjelasan Pasal 2 UU Kewarganegaraan berbunyi, “Yang dimaksud dengan bangsa Indonesia asli adalah orang Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain atas kehendaknya sendiri”. Rumusan penjelasan tersebut secara otomatis memasukkan warga keturunan Tionghoa dan lain-lainnya yang lahir di Indonesia walaupun belum memiliki KTP atau KK sebagai orang Indonesia asli.
Sekadar menyebut contoh kebijakan diskriminatif sebelum lahirnya UU Kewarganegaraan adalah keharusan bagi warga keturunan Tionghoa untuk mempunyai Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI). Kalau proses untuk memperoleh SBKRI ini berlangsung transparan, maka tidak akan timbul banyak keluhan. Fakta di lapangan justru sebaliknya, untuk mendapatkan SBKRI seseorang harus rela meluangkan waktu panjang dengan biaya besar. Tahun 1999 ada Keputusan Presiden No. 56/1996 yang menghapus SBKRI. Namun praktik diskriminatif di lapangan semacam itu tetap saja terjadi. Walikota Semarang pada 18 Agustus 2005 mengeluarkan SK yang mewajibkan warga keturunan Tionghoa yang akan mengurus Kartu Keluarga (KK), Kartu Tanda Penduduk (KTP), dan Akta Kelahiran agar melampirkan SBKRI.
Karena itu, Lukman meminta setelah UU Kewarganegaraan diundangkan, harus ada kesungguhan dari Pemerintah untuk segera membuat peraturan pendukung sebagai turunannya yang diperlukan, dan bekerja keras mengimplementasikannya di lapangan, sehingga rakyat Indonesia dapat merasakan kehadiran negara dengan adanya undang- undang ini. Kerja keras pemerintah, demikian Lukman, dapat menjadi air yang mengobati rasa dahaga berbagai kalangan yang telah cukup lama mendambakan perlakuan adil, non- diskriminatif, dan perlindungan hak-hak kewarganegaraan.
Menteri Semua Agama
Pada 9 Juni 2014, Lukman diangkat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjadi Menteri Agama Republik Indonesia pada Kabinet Indonesia Bersatu II. Ia menggantikan Menteri Agama sebelumnya, Suryadharma Ali (1999-2014).
Ada hal menarik saat Lukman diangkat menjadi Menteri Agama dengan sisa masa tugas kabinet tinggal empat bulan saja. Waktu itu menteri yang menjadi calon anggota legislatif terpilih dalam pemilu legislatif tahun 2014 diberi pilihan apakah tetap memegangi jabatan menteri atau mundur karena harus dilantik sebagai anggota DPR/MPR di tengah masa jabatan kabinet. Pilihan itu diberikan karena seorang menteri tak boleh merangkap sebagai anggota legislatif. Sejumlah menteri memilih mengundurkan diri demi pelantikan sebagai anggota DPR pada 1 Oktober 2014. Lukman yang juga caleg terpilih dari Dapil VI Jawa Tengah lebih memilih tetap melanjutkan tugas sebagai menteri agama dan legawa melepas kursi anggota DPR. Saat itu muncul banyak pertanyaan, mengapa Lukman rela melepaskan jabatan 5 tahun ke depan sebagai anggota parlemen demi menyelesaikan kewajibannya sebagai menteri yang tinggal hitungan hari saja itu. Ia mengatakan: "Saya wajib menyelesaikan amanah yang diberikan Pak SBY sampai tuntas, sampai berakhir masa jabatan beliau," tegasnya.
Ia masuk Kementerian Agama ketika instansi itu dalam kondisi terpuruk akibat sejumlah kasus besar yang mendera. Para pegawai mengalami keruntuhan psikologis sampai malu mengaku bekerja di Kementerian Agama. Karena itu, mengawali pengabdiannya, Lukman menggagas Lima Nilai Budaya Kerja Kementerian Agama sebagai kristalisasi dari nilai-nilai utama yang dikehendakinya menjadi roh yang menjiwai semua ASN di Kementerian Agama. Lima Nilai Budaya Kerja terdiri dari: Integritas, Profesionalitas, Inovasi, Tanggung Jawab, dan Keteladanan. Nilai-nilai budaya kerja tersebut digali melalui proses bottom up, mendengar dan menyerap dari semua pihak terkait yakni para pramubakti, pramusaji, petugas keamanan, pegawai honorer, guru dan dosen, penyuluh agama, penghulu, peneliti, pegawai, hingga para pejabat Kementerian Agama di wilayah dan pusat.
Ini bukan sekadar gerakan revolusi mental untuk mengembalikan citra institusi. Sebab, citra tak bisa dibangun dengan jargon dan publikasi belaka. Ahli Public Relation paling hebat sekalipun bakal kesulitan memoles citra institusi yang telah rusak akibat kasus korupsi, terlebih di tengah letupan-letupan usulan pembubaran Kementerian Agama. Bagi Lukman, citra institusi ini hanya dapat diperbaiki oleh dirinya sendiri. Pembenahan di dalam organisasi adalah prioritas yang otomatis akan memunculkan citra baik di publik. Ibarat bangkai, bau busuknya akan tetap tercium meskipun ditutup rapat-rapat dengan kemasan yang memikat. Sebaliknya, intan berlian akan tetap berkilau walaupun berada dalam lumpur.
Untuk itu, Lukman melakukan berbagai terobosan untuk menggenjot kinerja Kementerian Agama (Kemenag). Salah satunya menerbitkan Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 24 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak atas Biaya Nikah dan Rujuk di Luar Kantor Urusan Agama. Kebijakan ini intinya semua pihak yang melaksanakan pernikahan, talak dan rujuk pada jam kerja di Kantor Urusan Agama (KUA) yang tersebar di seluruh kecamatan di Indonesia tidak dikenakan biaya. Namun bagi mereka yang melaksanakan nikah atau rujuk di luar KUA Kecamatan dikenakan biaya transportasi dan jasa profesi sebesar Rp 600 ribu yang dicatat sebagai penerimaan dari Kantor Urusan Agama Kecamatan tersebut. Terhadap warga negara yang dipandang tidak mampu secara ekonomi dan/atau korban bencana yang melaksanakan nikah atau rujuk di luar KUA Kecamatan, dapat dikenakan tarif Rp 0 (nol) rupiah.
Ia ingin menghadirkan paradigma baru untuk melayani secara lebih baik dan mendekatkan layanan negara terhadap rakyat. KUA sebagai ujung tombak terbawah yang bersentuhan langsung dengan masyarakat, rentan pungutan liar dan gratifikasi. KUA selalu mendapat perhatian dari penegak hukum terkait besarnya arus dana untuk mendapatkan layanan dan ketidakjelasan tata kelola keuangan beserta sistem pelaporannya. Mengiringi pengaturan baru, dilakukan pembenahan profesionalisme penghulu, disiplin pegawai dan perbaikan layanan KUA, pemenuhan sarana dan prasarana terkait serta infrastruktur lain yang mendukung.
Kebijakan ini menunjukkan dampak signifikan. Kualitas pelayanan dan transparansi lembaga meningkat. Pembenahan KUA secara masif membuat Kementerian Keuangan menganugerahi Kemenag sebagai Pengelola SBSN (Surat Berharga Syariah Negara) Terbaik. Kemenag juga berhasil memberikan pemasukan bagi negara dalam jumlah besar melalui PNBP (Pendapatan Negara Bukan Pajak) dari KUA, mencapai Rp 1,7 triliun.
Salah satu budaya kerja secara profesional yang ditanamkan Lukman kepada seluruh ASN yang dipimpinnya adalah turun langsung ke masyarakat guna memperoleh data riil mengenai masalah atau isu keagamaan. Ia juga terbiasa mengkritisi sesuatu secara detail. Menurutnya, berangkat dari data yang akurat disertai argumen yang kuat akan diperoleh kebijakan yang tepat. Soal ini sering bikin kewalahan para pejabatnya. ”Saya ini profesor yang sering menguji doktor. Tapi kadang gugup ketika berhadapan dengan Pak Menteri Lukman karena seringkali rapat itu seperti ujian disertasi. Banyak pertanyaan tak terduga yang sulit dijawab dan beliau selalu tepat ketika mengoreksi angka-angka,” ujar Abdul Djamil yang pernah menjabat Dirjen Haji dan Umrah.
Abdul Djamil adalah mantan pejabat yang merasakan langsung dua kali masa kepemimpinan Lukman sebagai menteri agama. Pertama, saat Lukman menjabat di pengujung pemerintahan SBY-Boediono. Kedua, ketika Lukman masuk kabinet dalam pemerintahan baru yang dipimpin Joko Widodo-Jusuf Kalla. Di masa jabatan pertama, ia turut berjibaku bersama Lukman untuk menyiapkan penyelenggaraan haji dalam waktu yang sangat mepet di tengah merosotnya wibawa kementerian dan terjadinya demoralisasi pegawai. Pada masa jabatan kedua, ia turut menikmati hasil kerja seiring suksesnya penyelenggaraan haji. Badan Pusat Statistik (BPS) sejak 2014 merilis survei kepuasan jemaah haji Indonesia. Hasilnya, selama kepemimpinan Lukman tingkat kepuasan jemaah selalu meningkat, dari angka 81,52 atau masuk kategori memuaskan pada 2014 menjadi 85,91 atau sangat memuaskan. Sejumlah negara sahabat menyebut Indonesia telah menerapkan manajemen haji terbaik di dunia. Sukses di bidang haji dibarengi pengesahan UU Pengelolaan Keuangan Haji yang kemudian ditindaklanjuti dengan pendirian Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), sebuah badan khusus yang mengurus keuangan haji agar dapat dikelola lebih akuntabel dan profesional dengan prinsip syariah, manfaat, dan hati-hati.
Selama 133 hari memimpin Kementerian Agama dalam kabinet SBY-Boediono, Lukman menorehkan kinerja gemilang. Kementerian Agama mencatat prestasinya semasa itu dalam sebuah buku setebal 208 halaman berjudul ”Menteri Semua Agama”. Dalam penjelasan di buku itu, Lukman dijuluki demikian karena berbekal kedalaman interaksinya dengan konstitusi telah menjadikan Kementerian Agama bukan sekadar kementerian satu agama melainkan kementerian bagi semua agama yang mengayomi dan melayani seluruh agama termasuk kelompok minoritas dan kepercayaan lokal. Buku itu sejatinya dicetak kalangan internal Kementerian Agama sebagai kenangan manis atas kepemimpinan Lukman yang singkat namun efektif. Tak dinyana, Lukman kembali ditunjuk untuk memimpin mereka.
Terpilihnya kembali Lukman sebagai menteri agama merupakan anomali. Ia adalah satu- satunya menteri dari parpol yang kembali dipilih jadi menteri dalam pemerintahan yang berbeda pandangan politik. PPP, parpol yang menaunginya, berada di posisi berseberangan saat Pilpres 2014 dengan mendukung pasangan Prabowo-Hatta, bukan Jokowi-JK. Berangkat dari posisi seperti itu, Lukman justru bersemangat kerja untuk menjalankan amanah sekaligus menunjukkan kepada publik bahwa Presiden Jokowi menempatkan kepentingan negara jauh di atas kepentingan golongan. Ia juga membawa harapan baru bagi Kementerian Agama.
Kerja-kerja nyata lantas ia lakukan sehingga mengangkat Kementerian Agama ke level lebih tinggi. Indeks Reformasi Birokrasi Kemenag terus naik dari tahun ke tahun. Dari posisi 54,83 atau masuk kategori "CC" pada Tahun 2014, naik menjadi 62,28 atau "B" pada 2015. Pada 2016 angkanya meningkat menjadi 69,14 atau "B", lalu naik lagi menjadi 73,27 pada 2017. Indeks reformasi birokrasi Tahun 2018 meningkat kembali menjadi 74,02 atau masuk kategori “BB” dengan predikat Baik, dan pada Tahun 2019 menyentuh angka 75,04. Di tangan Lukman, indikator peningkatan kinerja aparatur Kementerian Agama juga terlihat pada akuntabilitas kinerja Aparatur Sipil Negara (ASN) di kementerian ini. Grafiknya dalam Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) menunjukkan tren kenaikan dari posisi 60,53 atau masih dalam kategori "CC" pada 2014 menjadi 70,52 atau kategori BB pada 2019. Selama dipimpin Lukman, Kementerian Agama juga mencatatkan rekor empat tahun berturut-turut memperoleh opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari BPK.
Kenaikan peringkat dan terukirnya prestasi ini terasa signifikan bagi Kemenag yang memiliki satuan kerja berjumlah 4.590 unit dan ASN sebanyak 225.730 orang belum termasuk pegawai honorer. Angka itu setara dengan empat kementerian/lembaga digabung jadi satu, sehingga ada yang berseloroh bahwa beban Kemenag adalah terbesar sedunia dan seakhirat.
“Melakukan perubahan di Kemenag itu tidak cukup dengan menggeser kemudi sebagaimana pada speedboat. Kemenag itu ibarat kapal tanker yang besar dengan muatan yang berisiko tinggi sehingga diperlukan banyak effort untuk mengendalikannya,” kata Lukman menggambarkan beratnya memimpin Kemenag. Menariknya, itu ia lakukan tanpa membawa tim bergerbong-gerbong. Di awal masa jabatannya, ia benar-benar sendirian. Barulah di masa jabatan kedua, ia dibantu tim kecil yang amat ramping: tiga staf khusus dan dua staf ahli.
Hasil kerja Lukman yang berdampak besar adalah pendirian Badan Pengelola Jaminan Produk Halal (BPJPH). Dirintis sejak 2016, kehadiran badan ini pada 2017 tidak hanya menyelamatkan Presiden dari ancaman pemakzulan karena kelalaian melaksanakan UU Jaminan Produk Halal yang diundangkan sejak 2014. Lebih dari itu, badan ini mengubah lanskap perekonomian Indonesia. Industri halal menjadi sektor baru yang diperhitungkan dalam perekonomian dunia. Lukman berhasil mendirikan badan ini di tengah kontroversi tentang pengaturan produk halal, bahkan di internal pemerintah sendiri sempat mendapat tentangan. Dalam peresmian BPJPH, Lukman menghadirkan Ketua MUI KH. Ma’ruf Amin di tengah anggapan bahwa MUI menolak keras perubahan pola pengurusan sertifikasi halal.
Di sektor pendidikan, Lukman berhasil mengakselerasi mutu pendidikan agama dan keagamaan di tingkat dasar hingga menengah serta melakukan transformasi kelembagaan di tingkat perguruan tinggi. Madrasah Aliyah Negeri Insan Cendekia (MAN IC) yang semula hanya dua, di Serpong dan Gorontalo, bertumbuh 20 sekolah sejenis di berbagai daerah. Ia juga menambah jumlah Universitas Islam Negeri (UIN). Semula hanya ada tujuh kampus sepanjang 13 tahun kepemimpinan tiga menteri sebelumnya (2001-2014). Lukman lalu meresmikan sembilan UIN baru dalam rentang waktu tiga tahun (2014- 2017). Ia juga melakukan peningkatan status sejumlah STAIN menjadi IAIN, sebelum pada akhirnya melakukan moratorium kebijakan penangguhan sementara untuk menjaga mutu dan menciptakan ekosistem yang sehat.
Pada 2017, Kementerian Agama memprakarsai dibentuknya Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII). Dibangun di atas basis universalisme Islam dan reputasi Islam Indonesia, UIII lahir dari cita-cita untuk meningkatkan pengakuan masyarakat akademik internasional terhadap peran umat Islam di Indonesia. Sebagai laboratorium sosial dengan jumlah umat Islam Indonesia yang berkisar 200 juta orang, ada keinginan kuat untuk menjadikan Indonesia menjadi salah satu pusat dan kiblat peradaban Islam dunia yang dirancang melalui jalur formal pada jenjang pendidikan tinggi negeri bermutu internasional.
Ada beberapa hal penting menyangkut pendirian UIII. Pertama, UIII diletakkan di dalam konteks dan karakteristik Islam di Indonesia yang dimaksudkan secara sengaja dan sistematis sebagai model peradaban Islam bagi dunia melalui pendidikan tinggi. Kedua, pendirian UIII dirancang sebagai pusat produksi peradaban Islam bermutu dan bereputasi tinggi melalui pendidikan level internasional. Ketiga, UIII merupakan bagian dari upaya melakukan integrasi ilmu pengetahuan. Integrasi keilmuan itu terutama cara pandang UIII berkaitan dengan epistemologi keilmuan yang dikembangkan terus menerus melalui penelitian untuk pengembangan ilmu yang kemudian dipublikasikan secara luas, juga melalui proses belajar mengajar dan pengabdian kepada masyarakat. Bagaimana model kajian yang berkaitan dengan Islam sebagai agama dan bahan dasar ilmu pengetahuan. Model pengembangan kelembagaan ilmu pengetahuan dan peradaban yang dirancang melalui fakultas-fakultas yang ada di dalamnya.
Sedangkan keempat, UIII dirancang dengan sengaja dan sistematis menjadi pusat kajian dan riset level internasional demi dan untuk pengembangan ilmu pengetahuan yang integratif. Mempertimbangkan isu dan kebijakan dibalik lahirnya UIII, tidak terhindarkan bahwa lembaga ini merupakan kelanjutan dan bukan lembaga dengan jenis yang sangat berbeda dengan mandat didirikannya UIN (Kusmana, 2005). Dibandingkan dengan UIN, UIII merupakan versi yang lebih elit dari segi mutu dan lebih berbobot dari segi substansi isi dan konten riset dan pendidikannya (Jabali dan Jamhari, 2002).
Di luar perguruan tinggi Islam, Lukman mendorong penegerian Sekolah Tinggi Keagaman Kristen di tiga daerah (Palangkaraya, Kupang, dan Toraja) sehingga perguruan tinggi sejenis berjumlah tujuh kampus. Usaha tidak berhenti di situ, Lukman juga membuka pintu bagi transformasi kelembagaan bagi tiga pendidikan tinggi keagamaan Kristen negeri di Tarutung, Ambon, dan Manado.
Untuk meningkatkan kapasitas akademisi, Lukman meluncurkan program 5.000 doktor. Program monumental dalam hal pengembangan SDM ini diresmikan oleh Presiden RI Joko Widodo di Istana Negara pada 19 Desember 2015. Semula hanya untuk kalangan perguruan tinggi Islam, dua tahun kemudian melebar ke lingkungan perguruan tinggi lain di luar Islam.
Tidak kalah penting, sesuai mandat UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, pada 2019 lahir Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 2019 tentang Pendidikan Tinggi Keagamaan. PP ini telah disusun dengan pembahasan yang panjang dan alot dengan para pihak. Ketentuan Pasal 30 ayat (3) dengan lahirnya PP ini, Kementerian Agama dapat mengelola Pendidikan Tinggi Keagamaannya secara lebih mandiri, demikian juga para Direktorat Jenderal di lingkungan Kementerian Agama yang mengelola bidang pendidikan tinggi keagamaan seperti Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Khonghucu. Seiring dengan terbitnya PP tersebut, Lukman menerbitkan KMA Nomor 474 Tahun 2019 tentang Pemberian Mandat kepada Direktur Jenderal yang Menyelenggarakan Pendidikan untuk dan Atas Nama Menteri Agama Menandatangani Izin Penyelenggaraan Program Studi pada Perguruan Tinggi Keagamaan.
Pengesahan UU Pesantren terjadi menjelang akhir masa jabatan Lukman. Diusahakan secara intensif sejak 2015, UU Pesantren diketok di Rapat Paripurna DPR pada 24 September 2019. Terhadap lahirnya UU tentang Pesantren ini, Lukman menyebut tiga hal penting yang harus dicatat. Pertama, rekognisi. Negara mengakui eksistensi pesantren sebagai lembaga pendidikan, lembaga dakwah, dan lembaga pemberdayaan masyarakat. Juga rekognisi terhadap alumni pesantren, baik pada jalur formal maupun non-formal.
Disahkannya UU Pesantren lebih mempertegas posisi Pemerintah dalam mewujudkan kemaslahatan sebagaimana kaidah tasharruf al-imam ‘ala al-ra’iyyah manuthun bi al- maslahah (kebijakan Pemerintah terhadap masyarakat harus didasarkan pada prinsip kemaslahatan). Pemerintah harus adil kepada semua lapisan masyarakat, termasuk kepada kalangan pesantren. Kedua, afirmasi. Terdapat sejumlah pasal yang merupakan kebijakan dari negara dalam rangka mempermudah pesantren di dalam menjalankan tiga fungsinya, yakni, sebagai lembaga pendidikan, lembaga dakwah, dan lembaga pemberdayaan masyarakat. Ketiga, fasilitasi. Dengan UU Pesantren sebagai payung hukum, keberadaan pesantren tentu akan semakin terfasilitasi dengan baik dalam pengembangan dirinya, guna memberikan manfaat yang lebih luas bagi masyarakat.
Pengusung Moderasi Beragama
Moderasi beragama adalah “mantra” yang diucapkan Lukman ketika berpidato pada Rakernas Kementerian Agama 2019. Itu ia sampaikan agar kata tersebut meresap ke sanubari para peserta Rapat Kerja Nasional –terdiri dari para pejabat eselon 1 dan 2 pusat, daerah dan perguruan tinggi—untuk ditularkan kepada anak buah di unit masing- masing dan ditebarkan kepada umat beragama. Tentu itu bukan pertama kalinya Lukman menyebut kata “moderasi beragama”. Sebelumnya, kata itu sudah berkali-kali ia sebut dalam berbagai kesempatan sejak 2016. Penyampaian dalam rapat besar di tahun terakhir masa jabatannya dimaksudkan agar moderasi beragama menjadi ruh bagi ASN dan para pemangku kepentingannya dalam melayani umat beragama dan mengelola kehidupan beragama. Ia ingin moderasi beragama diejawantahkan dan terus dibahanakan sepanjang hayat Kementerian Agama demi keutuhan NKRI.
Tentang apa, mengapa, dan bagaimana praktek moderasi beragama di masyarakat Indonesia telah dijelaskan dengan baik (Tim Penyusun Kementerian Agama, 2019; Suharto, 2019). Pada level pemikiran, ini merupakan ide otentik Lukman. Konsep ini berbeda dengan diksi Islam Nusantara yang cenderung dipersepsikan oleh para penentangnya sebagai ciri dan karakter Islam Jawa (Syahid, 2019). Juga bukan konsep moderasi Islam (Kamali, 2015; Muchlis, 2017).
Dalam menggagas moderasi beragama, Lukman tidak sepi dari salah paham dan fitnah. Ia dituduh mengajak umat pada nihilisme terhadap klaim kebenaran oleh internal pemeluk agama. Padahal sama sekali bukan itu maksudnya. Ia mengetengahkan pandangan bahwa moderasi beragama sama sekali bukanlah memoderasi agama itu sendiri, tetapi pada cara beragama yang menghindarkan diri dari pemahaman dan praktek beragama yang berlebihan. Bukan mengutak-utik ajaran agama, tetapi memoderasi pada ranah socio- politico-religious.
Pada banyak kesempatan Lukman kerap menekankan bahwa bukan ajaran agama yang menjadi landasan dan pijakan untuk tindakan ekstrem yang melampaui batas. Misalnya, beragama dengan menggunakan jargon agama untuk membenarkan kekerasan verbal seperti menebar fitnah, caci maki, ujaran kebencian, menyebarkan berita palsu (fake news), hoax, dan lain-lain. Tindakan seperti itu disebabkan oleh pemahaman keagamaan yang berlebihan, yang muncul dari cara beragama yang tidak moderat. Baginya, keterbatasan ilmu pengetahuan dan wawasan terkait inti pokok ajaran esensial agama adalah faktor utama penyebab lahirnya paham dan amalan keagamaan yang ekstrem.
Tentu kondisi lingkungan strategis dan ekosistem tertentu pada seseorang juga ikut memberi andil atas munculnya ekstremitas, seperti praktek ketidakadilan di berbagai sektor kehidupan.
Gerakan moderasi beragama yang digencarkan Lukman berbanding lurus dengan berbagai kebijakan yang dilakukannya. Bersamaan dengan makin populernya moderasi beragama, seiring dengan menjelang berakhirnya periode jabatannya, ia seakan menjadi dirinya sendiri. Ia tampil tanpa beban lepas dari berbagai determinan partai politik, beban psikologis, dan sejarah. Warna Kementerian Agama menjadi tidak lagi monolitik.
Lukman kemudian seakan memimpin dengan otentik dan orisinil. Memimpin di era disrupsi, ia jadikan moderasi beragama sebagai tawaran konseptual yang relevan dan kokoh. Ia berusaha menyapa generasi millenial dan generasi Z yang jumlahnya puluhan juta. Melengkapi beragam pertemuan langsung yang diinisiasi oleh Kementerian Agama atau melalui mitra strategisnya, Lukman aktif menyapa netizen. Melalui akun Twitter dan Instagram, Lukman berusaha tampil bukan sebagai pejabat tinggi negara, tetapi sebagai orang tua atau kakak yang berusaha sabar mengayomi, tidak terpancing menanggapi warganet yang cerewet dan berisik dengan sindiran pedas dan caci-maki. Ia berhasil tetap tampil santun, egaliter, dan menentramkan.
Terhadap banyak kalangan, Lukman memang kerap mengajak untuk menebarkan kedamaian dengan rasa cinta. "Karena beragama itu mengajak bertindak kebajikan, ia hanya bisa dilakukan dengan landasan cinta," kata Lukman. Menurutnya, jika ajakan tanpa cinta, apalagi berdasar kebencian, maka murka, paksaan, dan tindak kekerasan yang akan muncul.
Di berbagai media sosial, Lukman dituduh pro-LGBT hanya karena ia berupaya melindungi dan mengayomi penyandang LGBT agar jangan sampai dilanggar hak-hak dasar kemanusiaannya. Difitnah, disalahpahami ataupun dipahami salah secara sengaja di jagat maya adalah hal biasa bagi Lukman. Kebijakan sebagus apa pun tak akan pernah sepi dari tanggapan negatif, terutama dari mereka yang pada dasarnya pembenci.
Terhadap berbagai komentar negatif di media sosial, Lukman tidak sekalipun merespons dengan jawaban yang galak, keras, dan pedas. Apalagi ia tahu sebagian besar komentar itu berasal dari akun-akun palsu alias robot. “Dalam bermedia sosial, kita tidak perlu baper (bawa perasaan). Santai saja,” katanya enteng.
Tidak berbeda dengan kesehariannya di dunia nyata, Lukman santun dalam berkomunikasi di media sosial. Ia selalu menanggapi segala tuduhan padanya dengan sikap santun dan normatif, dengan ungkapan terukur mengajak dan menghimbau agar tidak menuduh sembarangan (Bradshaw, 2019). Terhadap kritik pedas dan caci maki yang mengarah padanya, tidak sekalipun juga Lukman melaporkan hal itu pada aparat kepolisian. Ia juga tidak terpancing emosi ketika diserang membabi buta dengan kritikan keras oleh seorang politisi bahwa “Kementerian Agama di bawah Lukman adalah yang paling amburadul dan jelek”. Pengkritik itu akhirnya bungkam setelah Biro Humas memberi bantahan telak dengan memaparkan data-data faktual lewat laman resmi Kementerian Agama.
Faktanya, Kementerian Agama memang menorehkan sejumlah prestasi. Perubahan- perubahan yang terjadi di instansi itu dilihat oleh Kakiay, peneliti dari Universitas Gunadarma, sebagai tekat negara secara maksimal untuk menyediakan dan mengupayakan pelayanan keagamaan yang berkualitas bagi warga negaranya. Lukman sendiri pun tercatat sebagai salah satu menteri berkinerja terbaik dalam berbagai survei.
Kampanye moderasi beragama di Indonesia melalui Kementerian Agama dipuji dan diapresiasi oleh Paus Fransiskus sebagai bagian untuk membangun peradaban bersama. Hal itu diungkapkan Paus Fransiskus pada Lukman saat keduanya bertemu dalam gelaran audiensi umum di lapangan Santo Petrus Vatikan, Italia pada Rabu, 2 Oktober 2019, jelang penobatan Mgr. Ignatius Suharyo sebagai kardinal.
Apresiasi muncul boleh jadi karena Lukman mengusung moderasi beragama untuk kerukunan umat dengan cara merajut kelekatan relasi interpersonal. Lukman menjalin hubungan hangat dengan para pimpinan majelis-majelis agama dan dengan tokoh-tokoh pimpinan organisasi keagamaan dan lembaga keagamaan aras nasional. Selain rajin memenuhi undangan kegiatan keagamaan yang diadakan majelis dan tokoh agama itu, Lukman kerap mengundang mereka ke rumah dinas menteri untuk membahas kehidupan keagamaan di Tanah Air. Beberapa kali terjadi saling kunjung antarmereka, menandakan keakraban hubungan antarpribadi itu. Lukman juga berhasil mengumpulkan agamawan- budayawan-akademisi dalam dua kali pertemuan penting yang membahas kondisi sosial masyarakat terkini: Permufakatan Yogyakarta dan Risalah Jakarta.
Pada 14 Desember 2018 di Jayapura, Lukman dinobatkan sebagai Tokoh Moderasi Nasional oleh Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) Papua. Ia dinilai sukses merangkul seluruh umat beragama di Indonesia. Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Papua, Amsal Yowe, mengatakan Menteri Agama Lukman telah melakukan hal-hal positif dan nyata bagi umat beragama sehingga pantas dinobatkan sebagai Tokoh Moderasi keagamaan seluruh Indonesia yang dimulai dari Tanah Papua. Pada 21 Desember 2019, saat Lukman tak lagi menjabat menteri, UIN Syarif Hidayatullah memberinya penghargaan sebagai Pencetus Moderasi Beragama di Indonesia.
Reputasi Terjaga karena Integritas
Di berbagai media massa terekam jelas apa yang dilakukan Lukman di hari pertama menjadi menteri. Hanya berselang sehari setelah dilantik, ia langsung mendatangi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ia kemudian bersilaturahim ke pimpinan Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, dan tokoh-tokoh masyarakat lainnya. Kunjungan ke kelompok- kelompok strategis itu memberikan sinyak kuat bahwa ia akan memimpin Kemenag dengan bersih, transparan, akuntabel, dan non-diskriminatif.
Integritas adalah brand yang melekat pada dirinya. Saat diangkat jadi menteri, ia sengaja mengumpulkan keluarga besarnya, memperingatkan keluarga dan sanak saudaranya agar tidak mengganggunya dengan hal-hal yang rawan konflik kepentingan. Ia menjaga betul agar kepentingan pribadi tidak bercampur dengan urusan negara. Ia berusaha untuk tidak sedikit pun menerima sesuatu yang bukan haknya. Bukan sekali dua kali Lukman mengembalikan honor yang menurutnya melebihi jumlah sesuai aturan. Akibatnya, para staf administrasi punya kebiasaan memeriksa ulang ketika akan memberikan honor padanya karena kuatir akan dikembalikan meski hanya lebih seribu dua ribu rupiah.
Lukman termasuk orang yang mendapat kesempatan langka untuk bertemu Raja Salman bin Abdul Aziz. Lukman ditunjuk sebagai Minister in Attendace yang mendampingi penguasa Kerajaan Arab Saudi itu semobil dalam lawatan di Indonesia. Raja Salman memberinya sejumlah hadiah mewah bernilai milyaran rupiah sebagai rasa terima kasih. Tidak lebih dari sepekan, Lukman mengundang KPK dan menyerahkan hadiah tersebut ke negara. Lukman merasa tidak berhak menerimanya karena pemberian hadiah itu tentu bukan bersifat personal melainkan terkait posisinya sebagai pejabat negara.
Sikap Lukman mendapat dukungan dari sang istri, Trisna Willy, yang aktif dalam gerakan SPAK (Saya Perempuan Anti Korupsi). Di media sosial Willy mendapat pertanyaan yang sama setiap musim haji: apakah ikut naik haji, sejak jadi istri Menag sudah berapa kali naik haji, dan apakah anak-anaknya ikut berhaji? Willy menjawab dirinya tidak pernah ikut berhaji selama sang suami jadi Menag. “Kejadian yang sebenarnya, saya tidak berhaji karena #bukanjemaah dan #bukanpetugas, seperti kata suami saya. Saya gak punya nomor porsi haji dan gak boleh mengambil hak orang lain,” cuitnya di Twitter.
Rupanya sikap seperti itu sudah jadi kepribadian Lukman sejak lama. Selama 4 periode menjadi anggota DPR, Lukman dikenal bersih dan anti-KKN. Helmi Hidayat, mantan wartawan yang beralih profesi jadi akademisi, pernah mengulas soal ini dalam dua tulisannya. Tulisan pertama dirilis pada 22 Maret 2019 berjudul “Menteri Agama dan Perhiasan Miliaran Rupiah yang Dikembalikan pada KPK”. Tulisan kedua berjudul “Menteri Agama, Sukses Haji dan Tuduhan Korupsi” yang dirilis pada 16 Agustus 2019, bercerita tentang Lukman yang tidak korupsi waktu kerja apalagi uang negara. Kedua tulisan itu merupakan kesaksian Helmi terhadap Lukman yang dikenalnya bertahun- tahun. Isinya menjawab berbagai pihak yang menudingnya korupsi senilai Rp 10 juta. Itu juga bentuk reaksi spontan praktisi komunikasi terhadap trial by the press yang dilakukan KPK terhadap Lukman dalam kasus jual-beli jabatan di Kemenag.
Ya, tahun itu Kemenag seperti disambar petir ketika dua pejabatnya ditangkap di Surabaya. KPK lalu menggeledah ruang kerja Menteri Lukman dan menemukan uang sejumlah Rp 180 juta plus 30 ribu dollar AS. Lukman kemudian beberapa kali hadir memberikan keterangan baik di KPK maupun di persidangan. Lukman berhasil membuktikan dirinya tidak bersalah, termasuk membuktikan bahwa uang yang disita KPK bukan uang haram dan sama sekali tidak ada kaitan dengan kasus tersebut.
Ketika kasus itu mencuat, sebagian pihak mengira karir Lukman tamat. Namun yang terjadi justru banyak dukungan mengalir kepadanya baik dari kalangan internal maupun eksternal. Beberapa pendeta dari beragam aras nasional secara khusus datang ke kantornya untuk lakukan doa bersama. Sejumlah tokoh agama secara bergantian juga mengunjunginya untuk berikan dukungan doa. Hal itu amat mengharukannya. Ia pun bisa tetap fokus melanjutkan pekerjaan melayani umat bersama Kementerian Agama. Alih- alih membangun kontranarasi terhadap KPK, ia justru menjadikan kasus itu sebagai momentum pembenahan sektor kepegawaian di Kemenag dengan mempersiapkan pembentukan Majelis Etik Pegawai.
Dengan respons yang terukur, nama Lukman tetap terjaga baik meski disudutkan. Ini menandakan bahwa sebuah reputasi tak akan mudah goyah walau diterpa angin kencang. Dan, reputasi adalah hasil konsistensi menjaga integritas selama bertahun-tahun. Reputasi tak mungkin tercipta dari pencitraan sesaat. Dengan menjaga reputasi, seseorang tak akan mudah silap. Beberapa kali Lukman mengingatkan jajarannya agar selalu mawas diri sehingga,”Tidak terbang oleh pujian dan tak tumbang oleh cacian.”
Jelang berakhir jabatannya, Lukman sempat menerbitkan kembali buku Menteri-Menteri Agama: Biografi Sosial-Politik yang disunting Azyumardi Azra dan terbit pertama kali pada 1998 sebagai catatan sejarah atas pengabdian para menteri agama sejak Kementerian Agama berdiri. Ia juga menerbitkan buku Kiprah Para Menteri Agama Era Reformasi sebagai dokumentasi atas kinerja menteri-menteri sebelum dirinya. Penerbitan dua buku ini dimaksudkan sebagai pengingat bahwa eksistensi Kementerian Agama sejatinya dibangun secara berkesinambungan dari menteri yang satu ke menteri yang lain. Banyak program yang dirintis seorang menteri baru dapat terwujud di masa menteri berikutnya. Kebijakan menyetarakan ma’had aly (pesantren tingkat tinggi) di pesantren dengan perguruan tinggi formal, misalnya, merupakan gagasan Menteri Agama Maftuh Basyuni yang berhasil diwujudkan oleh Lukman.
Lukman bertipikal pemimpin yang menampilkan keteladanan dengan kesesuaian antara perkataan dan perbuatan. Ia juga model pejabat publik yang mengembangkan kebijakan berkesinambungan. Dalam serah terima jabatan menteri agama, Lukman memberikan buku Memori Jabatan kepada penggantinya, Fachrul Razi. Buku itu berisi hal-hal yang sudah berhasil dilakukan dan apa saja yang masih menjadi pekerjaan rumah Kementerian Agama. Ini tradisi baru yang pertama kali dikembangkan Lukman di kementerian bermotto Ikhlas Beramal. Harapannya sederhana, menteri berikutnya memahami peta jalan Kementerian Agama sehingga dapat memelihara hal lama yang sudah baik dan melakukan hal baru yang lebih baik.
Setelah tak lagi memegang jabatan publik, sebagian hari-hari Lukman belakangan ini diisi dengan hobi baru, turing mengendarai kuda besi beroda dua. Selama 2 tahun menjadi anggota club motor, ia telah mengaspal mengikuti turing resmi sepanjang lebih dari 10.000 KM, antara lain menjelajahi Jakarta-Bali, Jakarta-Sabang-Medan, dan Larantuka-Labuan Bajo, sehingga disematkan Wing Platinum dari club motornya.
Nampaknya ia benar-benar menikmati kemerdekaannya setelah tak lagi menjadi pejabat. Sementara hari-hari lainnya dimanfaatkan untuk memenuhi beragam undangan sebagai pembicara bertema agama, sosial, dan budaya. Tentu yang terakhir ini tak lagi hanya sekadar hobi, tapi lebih karena reputasinya yang teruji dan kiprahnya yang banyak diapresiasi.
***
Daftar Pustaka
Azra, Azyumardi, dan Umam, Saiful, (ed.), Menteri-Menteri Agama RI: Biografi Sosial Politik. Jakarta: INIS-Balitbang Diklat-PPIM-IAIN Jakarta, 1998
Bradshaw, Samantha dan Howard, Philip N., The Global Disinformation Order 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation. Oxford: Oxford Internet Institute, University of Oxford, 2019
Fathurahman, Oman dan Rahman, Hadi, (ed.), Kiprah Menteri Agama Era Reformasi.
Jakarta: Balitbang Diklat Kemenag, 2019
Jabali, Fuad dan Jamhari, IAIN: Modernisasi Islam di Indonesia. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002
Kamali, Mohammad Hasyim, The Middle Path of Moderation in Islam: The Qur’anic Principle of Wasathiyah. Oxford: Oxford University Press, 2015
Kusmana, Integrasi Keilmuan: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Menuju Universitas Riset. UIN Jakarta Press, 2006
Hanafi, Muchlis (ed.), Moderasi Islam. Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, Badan Litbang dan Diklat, Kementerian Agama RI, 2017
Mahkamah Konstitusi, Naskah Komprehensif Perubahan UUD 1945: Latar Belakang Proses, dan Hasil Pembahasan (1999-2002): Jakarta, Setjen dan Kepaniteraan MK, 2010.
Nichols, Tom, Matinya Kepakaran – The Death of Expertise: Perlawanan terhadap Pengetahuan yang telah Mapan dan Mudaratnya. Jakarta: KPG, 2017
Shiddiq, Rohmani, K. H. Saifuddin Zuhri: Mutiara dari Pesantren. Jakarta: Pustaka Qompas, 2019
Siagian, Toenggoel P., ”Some Notes on Christian Education in Indonesia”, Prisma: The Indonesian Indicator – Education: The Channel of Hope, No 38, 1978, h. 33- 43
Suharto, Babun, et. Al., Moderasi Beragama: Dari Indonesia untuk Dunia. Yogyakarta: LKiS, 2019
Syahid, Achmad, “Saifuddin Zuhri”, Achmad Syahid dan Idris Thaha (Red. Pel),
Ensiklopedi Islam. Jilid 6. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005, h. 111-112
……………, Islam Nusantara: Relasi Agama-Budaya dan Tendensi Kuasa Ulama.
Jakarta: PT RajaGrafindo, 2019
Tim Penyusun Kementerian Agama RI, Moderasi Beragama. Jakarta: Balitbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2019
Zawawi, Ali, (ed.), Menteri Semua Agama. Jakarta: Sekretariat Jenderal Kementerian Agama, 2014
Website resmi Dewan Perwakilan Rakyat RI
Website resmi Majelis Permusyawaratan Rakyat RI
Website resmi Kementerian Agama RI
Website resmi Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Kristen. Website resmi Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Budha. Website resmi UIII