Bagaimana rekam jejak Lukman Hakim Saifuddin?
Sekolah Sambil Nyantri
Putra pasangan KH. Saifuddin Zuhri dan Hj. Siti Solichah binti H. Dahlan ini dilahirkan di Jakarta, 25 November 1962. Riwayat pendidikannya dimulai dari bersekolah rangkap. Pagi hari belajar umum di SDN Blok D2 Mayestik, Gandaria, Jakarta Selatan. Siang hingga sore hari belajar agama di Madrasah Ibtidaiyah Manaratul Ulum, Cipete, Jakarta Selatan.
Di madrasah ada pelajaran tashrif —bagian dari pelajaran bahasa Arab tentang morfologi yang membahas asal usul dan pola kata— yang harus dihafal. Ketika itu madrasahnya berdekatan dengan kuburan, kenang Lukman. Di situlah ia menghafal pelajaran dengan duduk di bawah pohon dan bersandar di batu nisan. Sebuah pengalaman yang mengesankan. Mungkin karena suasananya tenang tanpa gangguan, hanya berteman semilir angin perlahan, belajar di situ membuatnya lebih cepat menguasai pelajaran.
Lukman melanjutkan sekolah di SMPN XI di bilangan Mayestik, Jakarta Selatan. Semasa SMP, ia merangkap belajar di Pondok Pesantren Darurrahman yang berlokasi di Jl. Senopati, Kebayoran Baru. Inilah pesantren yang pertama kali didiaminya. Pendidikan di pesantren yang diasuh KH. Syukron Makmun, mubaligh kenamaan di Jakarta, ini sempat diikutinya sekitar satu tahun. Setiap pulang sekolah ia langsung menuju pondok untuk mempelajari kitab-kitab bersama para santri yang lain. Seperti layaknya para santri, ia pun menginap di dalam pondok. Pagi harinya ia berangkat ke sekolah. Begitulah, dalam sepekan hari-harinya dari Senin sampai Jumat dihabiskan di sekolah umum dan pondok. Sabtu pagi barulah ia pulang agar dapat mengisi waktu-waktu akhir pekan bersama keluarga di rumah.
Lewat Darurrahman ia kemudian mengenal Pesantren Gontor, tempatnya kelak ia menimba ilmu setelah lulus dari bangku SMP. Pendiri dan pengasuh Darurrahman, KH. Syukron Makmun adalah keluaran Gontor. Pesantrennya pun dalam banyak hal menerapkan metode yang kurang lebih sama dengan yang diberlakukan di Gontor. Selain itu lewat tulisan-tulisan tentang Gontor yang dibacanya, Lukman tahu bahwa Gontor memiliki kekhasan tersendiri yang berbeda dengan pesantren-pesantren tradisional atau sering diistilahkan sebagai pesantren salaf. Ia makin tertarik dan mantap untuk melanjutkan ke sana.
Pilihan ini ternyata mengagetkan ayahnya. Apalagi di antara sembilan orang kakaknya, tak seorang pun yang lulusan pesantren. Sebagai seorang yang dibesarkan oleh pesantren, tak mungkin ayahnya menolak rencana putranya tersebut.
Lukman hidup di lingkungan keluarga yang demokratis. Sejak kecil terbiasa mengekpresikan pikiran dan perasaan secara bebas, termasuk kepada orang tuanya. Meski sang ibu mencemaskan pilihannya untuk tinggal jauh dari orang tua, Lukman tetap berkukuh. Ia mantap untuk belajar di Gontor meskipun kala itu tak ada saudara atau temannya yang ingin melanjutkan pendidikannya di tempat yang sama.
Ayahnya konsisten dengan pendiriannya dalam mendidik dan membesarkan putra- putrinya dengan memberikan kebebasan kepada mereka ketika memilih sekolah. Tahun 1979, Lukman pun bertolak ke Gontor, Ponorogo, Jawa Timur ditemani sang ayah. Dalam kesempatan mengantar keberangkatan Lukman ini, sang ayah bertemu dengan sahabatnya, Kyai Imam Zarkasyi, pengasuh dan pemimpin pondok pesantren.
Ada kisah unik yang terjadi di balik pertemuan dua kyai yang mempunyai latar belakang berbeda ini. Dari kisah itu tergambar betapa teladan para ulama masa itu penuh dengan nuansa hidup kebersahajaan, saling hormat, terbuka dan menjaga prinsip saling bersaudara. Inilah pertemuan dua sahabat lama yang satu adalah mantan Menteri Agama, dan satu lainnya adalah pendidik ternama yang bermukim di desa. Kisah tersebut bermula seperti ini. Siang itu sehabis menunaikan shalat dhuhur, Kyai Zarkasyi bermaksud keluar masjid untuk pulang ke rumah. Ketika melewati serambi masjid, Kyai Zarkasyi seperti melihat sosok orang yang dikenalnya, setidaknya familiar dengan posturnya. Orang itu sedang tiduran sambil menutupkan songkok di wajahnya. Kyai Zarkasyi segera mendekat dan “… masya Allah, Kyai Saifuddin Zuhri, monggo, apa kabar?” begitu tegurnya. Segeralah pecah percakapan yang sangat akrab antara dua kyai. Dari pertemuan tak terduga itu kyai Zarkasyi mempersilahkan kyai Saifuddin dan Lukman mampir ke rumah. Dan jamuan makan ala kadarnya disuguhkan. Selesai perjamuan makan, siang itu juga kyai Saifuddin meninggalkan Gontor menuju Jakarta.
Berpisah dari ayahnya di gerbang pondok itu mengawali fase baru kehidupan Lukman sebagai santri, yang secara metaforis bisa digambarkan: Santri NU di Pondok Modern. Menariknya, empat tahun menjalani pendidikan di pesantren, Lukman tak pernah sekalipun dijenguk oleh orang tuanya. Hanya surat-menyurat dan sesekali telepon yang menghubungkan komunikasi dirinya dengan keluarga saat itu. Tapi ia tak patah semangat.
Selama nyantri, Lukman juga aktif di gerakan kepanduan. Berseragam coklat khas Pramuka, Lukman pernah dipercaya mengawal Menteri Agama saat itu, Alamsyah Ratu Prawiranegara, yang berkunjung ke Gontor. Ia mengakui Pramuka telah ikut andil dalam membentuk kepribadiannya.
Gontor memberikan warna tersendiri bagi Lukman. Ia banyak memperoleh pengetahuan agama dari pesantren yang didirikan dengan mengacu pada empat institusi pendidikan di luar negeri. Gontor mengacu pada Pondok Syanggit di Mauritania yang harum namanya berkat kedermawanan dan keikhlasan pengasuhnya—mereka mendidik siang-malam dan menanggung seluruh kebutuhan santri. Dalam mengkombinasikan ilmu umum dan ilmu agama, Gontor mengikuti Universitas Muslim Aligarh di India, sebuah lembaga pendidikan modern yang mempelopori revival of Islam. Gontor juga belajar dari Perguruan Santiniketan yang didirikan filosof Hindu Rabindranath Tagore di tengah hutan nan sederhana tapi mampu mengajar dunia. Dan, Gontor punya hubungan spesial dengan Universitas Al Azhar di Mesir yang masyhur.
Tiga ilmu kehidupan didapatkan Lukman di Gontor sehingga mempengaruhi karakter dirinya. Pertama, kedisiplinan yang ditumbuhkan para pendiri Gontor sebagai cermin karakter umat muslim dan bangsa Indonesia. Kedua, nilai keragaman dan toleransi yang terbentuk dari pembauran santri dari berbagai asal daerah dan latar belakang dengan membawa keanekaragaman budaya dan kekhasan masing-masing. Dan, ketiga, kepedulian terhadap sesama yang terasah dari kesetiakawanan santri. “Itu yang membuat jiwa nasionalisme kita kuat dan pandai menempatkan diri sebagai pemimpin ataupun saat dipimpin,” kata Lukman saat acara Syukuran 90 Tahun Pondok Modern Darussalam Gontor (20/8/2016).