Mahasiswa cum Aktivis

Sepulang dari mondok pada tahun 1983, keinginan Lukman kuliah di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta kandas karena masa pendaftaran telah tutup. Tak mau kehilangan waktu percuma, Lukman memutuskan tahun itu tetap kuliah. Terbersit cita-cita jadi guru agama, akhirnya ia memilih Jurusan Dakwah Fakultas Usuluddin Universitas Islam As- syafi`iyah, di Jatiwaringin, Pondok Gede, Jakarta Timur.

Di awal masa kuliah, Lukman aktif di Youth Islamic Study Club (YISC) Masjid Agung Al-Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Selain menambah ilmu agama, ia ingin melatih kemampuan berorganisasi. Di sini pula awal perjumpaannya dengan Trisna Willy yang kelak lima setengah tahun kemudian menjadi istri dan ibu dari ketiga anaknya: Naufal Zilal Kamal, Zahira Humaira, dan Sabila Salsabila.

Sejak 1984 Lukman mengikuti kegiatan penelitian sosial bersama Perhimpunan Pesantren dan Pengembangan Masyarakat (P3M), sebuah lembaga swadaya masyarakat atau LSM yang fokus melakukan pemberdayaan pesantren dan masyarakat. Pada tahun ini, ia turut terlibat secara tak langsung dalam proses penerimaan Nahdlatul Ulama terhadap Pancasila. Tepatnya ketika membantu menjadi "tukang ketik" kakaknya, Fahmi D Saifuddin, dalam penugasan Tim Tujuh yang merumuskan “Pemulihan Khittah” sebagai bahan keputusan Muktamar NU ke-27 di Situbondo, Jawa Timur. Antara tahun 1984-1987, Lukman aktif dalam kegiatan-kegiatan Lembaga Kemaslahatan Keluarga Nahdlatul Ulama (LKKNU) yang concern terhadap masalah kependudukan dan keluarga berencana. Di lembaga ini ia diberi kepercayaan sebagai wakil sekretaris. Kemudian pada tahun 1988 aktif di Lajnah Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) NU hingga 1994. Dalam kurun waktu itu ia mendalami bidang pendidikan dan pelatihan bagi orang dewasa (andragogi). Ia mengikuti kursus intensif tentang pengembangan masyarakat di Asian Health Institute, Nagoya, Jepang (1990). Setahun kemudian ia mengikuti pendidikan 3 bulan tentang pendampingan masyarakat di Curtin University, Perth, Australia.

Selanjutnya Lukman menjadi Manajer Proyek di Helen Keller International pada kurun 1995-1997, sebuah lembaga nirlaba internasional yang fokus pada pengembangan kesehatan masyarakat. Praktis selama kurun 1984-1997 kegiatan-kegiatan seperti penelitian sosial, pelatihan, dan pendampingan masyarakat itulah yang banyak memperkaya pengetahuan dan pengalamannya di bidang sosial kemasyarakatan. Semua propinsi di Nusantara telah ia singgahi. Ia mengaku sesungguhnya masyarakat Indonesia itulah yang mendidiknya dengan kekhasan keragamannya yang mendatangkan kearifan.

Di sela-sela kesibukan menjalani kegiatan pemberdayaan masyarakat, pada tahun 1990 Lukman dapat menyelesaikan kuliahnya dengan mengantongi gelar formal Drs. Ada yang menarik dari sikapnya terhadap tanda kelulusan itu. Tidak seperti kebanyakan sarjana yang ingin segera bekerja dengan bermodalkan ijazah, Lukman justru tidak tertarik menggunakannya untuk meniti karir lalu hidup dalam zona nyaman. Ia justru melanjutkan kiprahnya di LSM dan menggarap kegiatan penelitian dan pelatihan. Salah satu isu yang diangkat untuk tema penelitian dan pelatihannya adalah bagaimana membangkitkan kesadaran hak-hak pendidikan, kesehatan, ekonomi, politik, dan sosial budaya bagi warga negara.

Berkat aktif di LSM, ia banyak mendalami kegiatan pelatihan sehingga menjadi seorang trainer andal. Gayanya dalam memberikan pelatihan disukai oleh para peserta: bahasa yang digunakan sederhana sehingga mudah dipahami dan sering menyisipkan humor- humor sufi yang kritis.