Politikus Idealis

Kiprah Lukman dalam kancah kepelatihan rupanya menarik perhatian para petinggi PPP. Ia diminta masuk PPP dan membuat disain program pengkaderan di partai berlambang Ka’bah itu. “Saya waktu itu berpikir keras, apakah ada manfaatnya masuk parpol. Toh orang-orang sudah hopeless, kehilangan harapan pada parpol,” katanya. Pernyataan yang memang bernada pesimis namun wajar karena saat itu hanya ada dua parpol, PPP dan PDI, dan keduanya tidak berkutik menghadapi raksasa Golkar yang menjadi partai penguasa dengan tiga jalur ABG-nya: ABRI, Birokrasi, dan Golkar. Teman-temannya di LSM juga mempertanyakan hal serupa. Lukman akhirnya masuk arena politik setelah berkonsultasi kepada KH. Cholil Bisri dan KH. Mustofa Bisri.

Pada awal 1994 ketika pertama kali memasuki dunia politik dengan menjadi anggota Lembaga Pusat Pendidikan dan Pelatihan DPP PPP, Lukman langsung diberi tugas menggarap sistem pengkaderan partai. Mungkin karena kinerjanya di sektor strategis ini dinilai sukses, ia kemudian diajukan sebagai calon anggota DPR pada Pemilu 1997 dan berhasil menjejakkan kaki di Senayan.

Namun angin reformasi berembus kencang, situasi politik di Indonesia pun berubah total. Kabinet Pembangunan VII di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto dan Wakil Presiden Baharuddin Jusuf Habibie pun harus bubar dalam waktu singkat (16 Maret 1998-21 Mei 1998). DPR hasil Pemilu 1997 itu hanya bertahan dua tahun.

Rakyat yang kecewa terhadap hasil Pemilu 1997 melampiaskan amarah dan menuntut Presiden Soeharto turun dari kursi kepresidenan serta mendesak diadakannya reformasi total di segala bidang. Demonstrasi besar-besaran yang berujung kerusuhan hebat melanda seantero negeri, aksi kekerasan dan pelanggaran HAM terjadi di mana-mana. Di Jakarta langit tampak menghitam karena aksi pembakaran yang diikuti aksi penjarahan. Gedung DPR diduduki oleh massa gabungan mahasiswa dan berbagai elemen masyarakat.

Melihat situasi makin tak menentu, digelarlah Sidang Istimewa Majelis Permusyaratan Rakyat, 10-13 November 1998. Menanggapi tuntutan massa yang terus-menerus di luar gedung MPR dan berbagai tempat di Tanah Air, Sidang Istimewa MPR melakukan perombakan besar-besaran terhadap aturan ketatanegaraan dan perundang-undangan.

Sidang Istimewa MPR menghasilkan 12 Ketetapan MPR. Semua ketetapan atau kebijakan yang dinilai menyuburkan otoritarianisme dan melanggengkan kekuasaan Orde Baru dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Tap MPR yang berupa pencabutan antara lain, Tap MPR No. IX Tahun 1998 mencabut Tap MPR No. II Tahun 1998 tentang GBHN; Tap MPR No. XVIII Tahun 1998 mencabut Tap MPR No. II Tahun 1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Eka Prasetya Pancakarsa), atau P-4; Tap MPR No. XII Tahun 1998 mencabut Tap MPR No. IV Tahun 1993 tentang Pemberian Tugas dan Wewenang Khusus kepada Presiden/Mandataris MPR dalam Rangka Menyukseskan Pembangunan Nasional sebagai Pengamalan Pancasila; dan Tap MPR No. XVIII Tahun 1998 menyatakan bahwa Pancasila tidak lagi dijadikan sebagai Asas Tunggal. Seluruh organisasi politik tidak lagi wajib menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas organisasi.

Terdapat setidaknya empat Tap MPR yang memperlihatkan upaya mengakomodasi tuntutan reformasi total sistem hukum dan ketatanegaraan, sebagai berikut: Tap MPR No. XI Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN; Tap MPR No. VIII Tahun 1998 tentang Pencabutan Tap MPR No. IV/MPR/1983 tentang Referendum yang memungkinkan UUD 1945 dapat diamandemen; Tap MPR No. XIII Tahun 1998 tentang Pembatasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden Maksimal Dua Periode, dan Tap MPR No. XVII Tahun 1998 tentang Hak Asasi Manusia.

Meskipun tak genap lima tahun sebagai anggota DPR/MPR RI pada awal karirnya ini, Lukman mengaku cukup puas dengan kiprahnya di parlemen, khususnya saat berada di MPR sebagai lembaga tertinggi negara saat itu. Salah satu juru bicara F-PPP dalam Sidang Istimewa MPR ini merasa dalam waktu singkat dapat ikut terlibat langsung melahirkan sejumlah produk hukum yang sesuai tuntutan rakyat secara tepat waktu dan tepat sasaran.

Kendati mengaku idealismenya kadang terbentur oleh sistem di DPR/MPR maupun di partainya, Lukman tetap optimis dengan kinerja partai politik dan parlemen saat itu bahwa Indonesia baru yang lebih demokratis akan segera terwujud. Ia bersyukur bisa berada di DPR/MPR pada saat yang tepat. Niatnya untuk memberikan lebih banyak manfaat bagi bangsa dan negara kembali terwujud ketika pada Pemilu 1999, yakni Pemilu yang dipercepat, ia kembali terpilih menjadi anggota DPR/MPR periode 1999- 2004. Periode yang menentukan nasib bangsa Indonesia dalam melewati masa transisi menuju konsolidasi demokrasi dengan lancar dan tertib.

Mengawali masa kerjanya, MPR membentuk Badan Pekerja (BP) yang bertugas menyiapkan bahan-bahan permusyawaratan untuk dibahas dan diambil putusan pada sidang-sidang MPR. Jumlah anggota BP MPR sebanyak 90 orang yang susunan komposisinya mencerminkan perimbangan jumlah anggota fraksi di MPR. Umumnya fraksi-fraksi di MPR menunjuk anggotanya yang terbaik dan senior untuk duduk di alat kelengkapan MPR yang amat prestisius itu.

BP MPR membentuk panitia ad hoc yang merupakan alat kelengkapan BP MPR, yaitu Panitia Ad Hoc I, Panitia Ad Hoc II, dan Panitia Ad Hoc III dengan tugas yang berbeda. Sebagai anggota BP MPR, Lukman duduk di Panitia Ad Hoc I dan Ad Hoc III yang bertugas menyiapkan dan merumuskan naskah rancangan Perubahan UUD 1945.

Berbeda dengan tradisi yang berlaku bahwa sidang MPR diadakan sekurang-kurangnya sekali dalam lima tahun, MPR era Reformasi harus menggelar tujuh kali sidang permusyawaratan: Sidang Umum 1999, Sidang Istimewa 2001, Sidang Tahunan empat kali (2000, 2001, 2002, 2003), dan satu kali Sidang Akhir Masa Jabatan (2004).

Sidang Tahunan (ST) MPR selain menerima laporan Presiden, DPA, DPR, BPK, dan MA atas pelaksanaan putusan-putusan MPR sesuai dengan bidang tugas dan wewenangnya, juga membahas serangkaian Perubahan UUD 1945 yang dilakukan dalam empat tahap. Perubahan Pertama UUD 1945 dibahas dan disahkan dalam Sidang Umum MPR 1999, selanjutnya Perubahan Kedua dibahas dan disahkan pada ST MPR 2000, Perubahan Ketiga pada ST MPR 2001, dan Perubahan Keempat pada ST MPR 2002.

Perubahan Pertama UUD 1945 dilakukan bersamaan dengan pembahasan agenda Sidang Umum MPR 1999 yang sangat padat dengan waktu persiapan yang terbatas. Tak heran jika panitia ad hoc harus bekerja secara terus menerus selama delapan hari dari pagi hingga dini hari. Perubahan Pertama dalam SU MPR 1999 menjadi putusan MPR yang membuka sejarah baru karena akan mengakhiri pendapat yang berkembang selama puluhan tahun bahwa UUD 1945 tidak boleh diubah.

Dalam rentang masa Perubahan UUD 1945 selama 4 tahun (1999-2002) dibuka lebar pintu partisipasi publik. Panitia ad hoc yang bertugas merumuskan rancangan Perubahan UUD 1945 berperan sangat penting dalam penyerapan aspirasi masyarakat. Mereka harus mendengarkan aspirasi berbagai kalangan masyarakat dan lembaga pemerintah mengenai cita-cita, pendapat, dan gagasan, serta materi perubahan konstitusi yang dikehendaki. Mereka juga harus mencermati secara serius berbagai pendapat dan pandangan mengenai konstitusi dan perubahan konstitusi yang dikemukakan melalui forum-forum publik dan media massa. Baik pendapat dan pandangan itu disampaikan para pakar, mahasiswa, pimpinan ormas, aktivis LSM, peneliti atau lainnya, maupun oleh warga masyarakat biasa.

Kegiatan penyerapan aspirasi dilakukan dalam bentuk rapat dengar pendapat umum (RDPU), kunjungan kerja ke daerah, dan seminar atau dialog. Studi banding ke beberapa negara lain juga dilaksanakan guna mempelajari konstitusi dari berbagai aspek, baik latar belakang pemikiran, sejarah penyusunan, proses dan materi perubahan, serta pelaksanaan konstitusi. Selain itu juga dilakukan studi kepustakaan dengan mempelajari naskah konstitusi negara-negara lain.

Bertugas di panitia ad hoc menuntut kerja keras, tanggung jawab dan kepekaan terhadap aspirasi rakyat. Di pundak mereka amanah reformasi diserahkan sepenuhnya oleh rakyat. Rakyat menginginkan konstitusi modern, demokratis, dan peduli hak asasi manusia. Apalagi pada saat yang sama, Lukman yang duduk di PAH I Badan Pekerja MPR, juga menjadi Wakil Sekretaris Fraksi PPP MPR dan juru bicara fraksi dalam sidang-sidang MPR.

Di luar parlemen, masyarakat melakukan pengawasan ketat untuk mengawal jalannya reformasi. Penyampaian aspirasi seringkali melibatkan demonstrasi besar-besaran di jalan-jalan ibu kota dan daerah. Lukman kerap menerima delegasi yang menyampaikan aspirasinya itu. Tanpa sungkan dan takut, dalam satu kesempatan menerima perwakilan demonstran, Lukman mendapat hadiah korek kuping besar dari gabungan LSM sebagai simbol yang mengisyaratkan agar wakil rakyat lebih peka mendengar aspirasi.

Dalam arus gejolak reformasi, kiprah politik Lukman benar-benar diuji. Saat itu santer usulan agar NU mengambil kesempatan di era demokrasi untuk tampil ke depan dan tidak lagi terpinggirkan dalam perpolitikan nasional sebagaimana dialami selama satu dekade terakhir masa Orde Baru. Ketua PBNU Gus Dur kemudian membentuk Tim Lima, terdiri dari lima kyai terkemuka, yang bertanggung jawab mendiskusikan usulan tersebut. Lukman menjadi salah satu generasi muda NU yang ditunjuk membantu kerja Tim Lima, disebut Tim Asistensi atau Tim Sembilan dalam persiapan pendirian partai yang kemudian dinamakan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

Meskipun turut membidani kelahiran PKB, nama Lukman tidak muncul dalam struktur pengurus PKB ketika partai ini dideklarasikan pada Agustus 1998. Saat ditawari KH. Cholil Bisri (ayahanda Ketua PBNU Yahya Cholil Staquf dan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas) untuk masuk PKB, Lukman lebih memilih untuk tetap di PPP. Bagi Lukman, bersikap istiqamah untuk secara teguh berjalan pada rel pilihan politik selama ini justru diperlukan ketika menghadapi godaan tawaran yang mungkin terlihat menjanjikan bagi karir politiknya. Meskipun pilihannya itu berisiko tersingkir dari politik akibat hiruk pikuk reformasi, Lukman bergeming dengan alasan ingin menjaga PPP yang telah berevolusi panjang memperjuangkan aspirasi umat Islam. Idealisme ini justru menjadikannya bertahan di pentas politik nasional dan mendapatkan posisi terhormat.