Wakil Rakyat yang Kritis
Sebagai wakil rakyat, Lukman senantiasa berupaya untuk memenuhi kewajiban moral dan konstitusionalnya. Hal itu dapat dilihat dari sikap dan kiprahnya sebagai anggota DPR. Ia tidak hanya bekerja keras melaksanakan tugas sesuai bidangnya, tetapi juga bersikap kritis dan tak segan untuk mengambil sikap berbeda dengan mayoritas anggota DPR jika meyakini bahwa kebijakan yang diambil telah melanggar amanat rakyat.
Pada Oktober 2005, muncul kebijakan memberikan kenaikan tunjangan anggota DPR sebesar Rp 10 juta per bulan. Padahal saat itu rakyat Indonesia masih belum sepenuhnya mampu bangkit akibat krisis nasional, masih banyak pengangguran, para petani didera oleh tingginya harga pupuk, serta banyak gedung sekolah yang rusak.
Kebijakan itu sebenarnya menguntungkan dirinya sebagai anggota dewan. Tapi Lukman justru menolak keras. Menurut dia, setiap anggota dewan dan pejabat negara dalam kondisi krisis harus menunjukkan keprihatinan dan segera mengevaluasi kebijakan yang menyengsarakan rakyat. Saat sidang paripurna, Lukman mengajukan interupsi meminta pimpinan sidang membatalkan kebijakan tersebut dan berharap DPR menunjukkan empati di tengah krisis yang dialami masyarakat. Namun Ketua DPR saat itu menyatakan bahwa tunjangan tersebut sudah diputuskan, dan anggota diimbau untuk memanfaatkannya untuk kepentingan rakyat. (www.detik.com, 24 Oktober 2005).
Sikap yang sama ditunjukkan pada saat ada rencana pemberian mobil Toyota Camry 2.400 cc kepada sembilan Ketua Muda MA dan Toyota Altis kepada tujuh pejabat eselon I di lingkungan MA. Lukman menilai hal tersebut menampakkan tidak adanya prioritas pimpinan MA dalam penggunaan anggaran. Lukman melihat kondisi pengadilan, fasilitas, dan kesejahteraan hakim di daerah sangat memprihatinkan. Tumpukan perkara di pengadilan negeri dan pengadilan tinggi juga seharusnya mendapatkan prioritas perhatian. Sekalipun para hakim MA berhak mendapatkan kendaraan dinas sesuai jabatan yang disandang, hal tersebut, lanjut dia, tidak secara langsung menunjang kelancaran tugas. Mobil hanya akan dinikmati petinggi MA, sementara orang-orang yang levelnya di bawah pejabat yang kesejahteraannya perlu ditingkatkan justru tidak diprioritaskan. (Suara Merdeka, 15 Januari 2006).
Pada saat Pemerintah akan menaikkan gaji PNS dalam Pidato Kenegaraan Presiden, 16 Agustus 2006, banyak kalangan menentangnya. Namun Lukman secara tegas mendukung kebijakan tersebut. Ia menilai bahwa kebijakan tersebut telah ditunggu-tunggu oleh PNS, terutama golongan bawah. Lukman mengakui kebijakan tersebut dapat memicu kenaikan harga barang dan jasa. Namun kenaikan harga banyak variabelnya terutama tingkat inflasi dan tidak terkait langsung dengan kenaikan gaji PNS. Artinya walaupun gaji PNS tidak naik, harga barang dan jasa tetap akan naik karena inflasi. Bahkan Lukman berpendapat kalau ingin menyejahterakan PNS, selain menaikkan gaji, juga harus menaikkan tunjangan. (Wawasan, 14 Agustus 2006).
Pada Agustus 2006 ada rencana kunjungan kerja Badan Legislasi (Baleg) DPR ke Brasil dan Argentina. Sebagai anggota Baleg Lukman tentu saja termasuk anggota yang akan melakukan kunjungan tersebut. Namun rencana tersebut mendapatkan sorotan publik dan dianggap sebagai kegiatan “melancong”, sehingga Lukman pun membatalkan keikutsertaannya. Keputusan pembatalan keberangkatannya disampaikan pada rapat Baleg. Ia menyatakan dirinya tetap harus mengedepankan nurani dan akal sehat untuk menunjukkan bahwa tidak semua anggota DPR bebal atau tidak peka dengan kondisi rakyat dan negara. (Republika, 7 Agustus 2006).
Berbagai contoh dari sikap tegas dan kritis selama di DPR membuat sosok Lukman menjadi salah satu anggota DPR yang masih dipercaya rakyat di tengah berbagai sorotan negatif yang diarahkan kepada anggota DPR.
Pada Mei 2005 ada keinginan dari Wakil Presiden dan Ketua DPR terkait penggantian komisioner KPU. Kebijakan itu akan dilakukan dengan membuat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau Perppu. Lukman menolak ide tersebut karena akan membahayakan independensi KPU. Sesuai UU No. 12 Tahun 2003, Presiden dan DPR hanya dapat memberhentikan anggota KPU jika yang bersangkutan telah divonis dengan pasal yang ancaman hukumannya minimal lima tahun penjara. Penerbitan Perppu tidak mendapatkan cukup alasan kedaruratan. (Kompas 25 Mei 2005).
Pada Agustus 2005, wacana reshuffle kabinet mengemuka. F-PDIP dan F-PKS menuntut mundur menteri-menteri bidang ekonomi. Lukman tidak sependapat dengan tuntutan tersebut karena tidak sesuai dengan ketentuan yang digariskan dalam UUD 1945 bahwa sistem pemerintahan yang dianut adalah presidensiil, bukan parlementer, sehingga tuntutan mundur dari parlemen kepada menteri tidak berlaku.
Partai politik juga tidak mempunyai kewenangan untuk mendukung usulan reshuffle. Dalam sistem presidensiil, Presidenlah yang menentukan. Menurut Lukman, yang harus dilakukan bukan reshuffle, tetapi perbaikan kinerja tim ekonomi. Walaupun menterinya diganti, jika tidak ada upaya perbaikan, tetap akan sama. Hal inilah nantinya yang akan dipertanggungjawabkan Presiden dan para pendukungnya pada pemilihan umum yang akan datang. (www.detik.com, 29 Agustus 2005).