Peduli Keluhuran Martabat Hakim
Keberadaan Komisi Yudisial (KY) dengan anggota-anggotanya yang umumnya sosok yang punya semangat perubahan, menimbulkan gesekan dengan institusi Mahkamah Agung. Pasalnya Mahkamah Agung berkeberatan dengan tugas lembaga baru tersebut yang diberi kewenangan melakukan pengawasan terhadap hakim agung dan hakim-hakim di lingkungan institusi peradilan.
Sebagai anggota Komisi III DPR yang membidangi hukum dan duduk di Badan Legislasi DPR, pemikiran dan pandangan Lukman tersebar di berbagai media massa. Apalagi mengingat Lukman adalah mantan anggota panitia ad hoc yang membidangi perubahan konstitusi, yakni PAH I dan PAH III Badan Pekerja MPR yang bertugas merumuskan Perubahan UUD 1945, sehingga mengetahui persis arah penataan kekuasaan kehakiman yang dikehendaki oleh UUD 1945.
Dalam buku Bunga Rampai Referensi Peran Komisi Yudisial RI, Lukman menulis satu bagian dengan judul “Komisi Yudisial dan Fungsi Checks and Balances dalam Kekuasaan Kehakiman”. Dijelaskan, Komisi Yudisial lahir dalam Perubahan Ketiga UUD 1945 yang dirumuskan dalam Pasal 24B ayat (1) sampai (4) UUD 1945. Dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 disebutkan bahwa KY bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Ketentuan tentang KY lebih lanjut diatur dalam UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial sebagai amanat UUD 1945 Pasal 24B ayat (4).
Menurut Lukman, keberadaan KY dilatarbelakangi oleh kehendak kuat agar kekuasaan kehakiman yang dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK) benar-benar merupakan kekuasaan yang merdeka dalam menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Merdeka dalam hal ini, tambah Lukman, berarti juga merdeka dari kecenderungan penyalahgunaan untuk kepentingan pribadi, kelompok dan golongan. Kekuasaan kehakiman harus diabdikan semata-mata demi tegaknya hukum dan keadilan.
Realitas menunjukkan bahwa salah satu cabang kekuasaan yang belum banyak beranjak dari keterpurukan akibat penyalahgunaan kekuasaan adalah kekuasaan kehakiman, khususnya institusi peradilan yang dikenal dengan istilah “mafia peradilan”. Sungguh ironis jika hakim yang menyalahgunakan kekuasaannya selalu berlindung di balik jargon kekuasaan yang merdeka. Maka keberadaan KY dengan fungsinya menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim dimaksudkan untuk memberantas praktik-praktik mafia peradilan.
Sesuai tugas yang diberikan, Komisi Yudisial melakukan monitoring terhadap hakim, baik berdasarkan laporan masyarakat maupun dengan eksaminasi putusan yang dianggap kontroversial, melakukan pemanggilan terhadap beberapa hakim dan hakim agung. Bahkan KY telah memberikan rekomendasi pemberian sanksi terhadap beberapa hakim kepada MA. Namun rekomendasi KY tidak ditindaklanjuti, sehingga KY mengusulkan agar hakim agung pada MA diseleksi ulang.
KY mengusulkan agar dibuat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang perubahan Undang-undang KY karena merasa kewenangan yang dimiliki tidak mencukupi untuk dapat melaksanakan tugas dan kewajiban yang diamanatkan UUD 1945 dalam hal melakukan pengawasan terhadap hakim.
Lukman saat itu berpendapat bahwa sebaiknya yang dilakukan adalah perubahan terhadap UU KY karena jika bentuknya Perppu, resistensi DPR sangat besar sehingga kemungkinan ditolak. Hal itu karena konsep awal pembuatan UU KY dibahas di DPR, sehingga perubahannya juga harus melibatkan DPR.
Perppu, jelas Lukman, adalah peraturan setingkat undang-undang yang dibuat oleh Presiden dalam keadaan genting dan memaksa. Perppu bisa menganulir atau membatalkan undang-undang terdahulu yang dibuat DPR. Semakin banyak Perppu lahir, kewenangan parlemen semakin berkurang. Kondisi demikian, menurut Lukman, dapat menimbulkan otoritarianisme Presiden.
Tak terima dengan langkah KY, 13 hakim agung mengajukan permohonan constitutional review atau pengujian Undang-undang KY terhadap UUD 1945 kepada MK terutama terkait pasal-pasal yang mengatur pengawasan hakim. Mengenai hal ini, Lukman berpendapat bahwa perselisihan antara MA dan KY seharusnya dihadapi secara arif dan bijaksana. Kalau MA dan KY bersengketa secara terbuka, dikhawatirkan dapat menimbulkan efek negatif dan mengganggu proses pembaruan hukum di Indonesia.
Pertentangan antara MA dan KY yang berujung pada perkara di MK bersumber pada dua pertanyaan. Pertama, apakah hakim agung menjadi obyek pengawasan KY? Kedua, apakah dalam upaya menjaga dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta perilaku hakim, KY dapat menggunakan putusan hakim sebagai pintu masuk untuk memeriksa seorang hakim.
Dalam padangan Lukman, KY dapat menjadikan putusan hakim sebagai pintu masuk untuk mengetahui apakah seorang hakim memutus berdasarkan hukum dan keadilan, atau sebaliknya terdapat indikasi kepentingan tertentu yang bertentangan dengan keadilan dan kebenaran. Meskipun KY tidak dapat menganulir putusan hakim sekalipun putusan itu jelas-jelas bertentangan dengan hukum dan keadilan, namun, jelas Lukman, putusan hakim adalah bagian tak terpisahkan dari kehormatan dan keluhuran martabat hakim.
Agar putusan hakim senantiasa mendukung kehormatan dan keluhuran martabatnya, Lukman memandang perlunya disusun sebuah code of conduct hakim. Menurutnya, code of conduct itu akan menjadi pedoman dan acuan cara mengambil putusan dan proses peradilan yang dapat menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilakunya.
Rabu, 23 Agustus 2006, Mahkamah Konstitusi membacakan putusan yang mengejutkan. Putusan tersebut menyebutkan bahwa pengaturan pengawasan hakim dalam UU KY menimbulkan ketidakpastian dan mengganggu kemerdekaan hakim sehingga dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Putusan MK juga menyebut bahwa hakim konstitusi dinyatakan bukan jabatan hakim yang dapat disamakan dengan hakim biasa, karena itu hakim konstitusi tidak masuk dalam wilayah pengawasan KY.
Putusan tersebut mendapat reaksi keras dari berbagai pihak, terutama unsur DPR sebagai pembentuk undang-undang. Lukman mengeluarkan siaran pers yang menilai bahwa putusan MK itu telah mematikan prinsip checks and balances yang menjadi roh bangunan kelembagaan negara. Lukman menilai MK yang mestinya menjadi penjaga dan pengawal konstitusi justru terjebak dan berpotensi menyuburkan kembali praktik mafia peradilan. Oleh karena itu, Lukman meminta DPR supaya segera bersidang untuk menyikapi putusan yang menjadikan MK dan MA sebagai lembaga yang tidak tersentuh pengawasan dari luar.
Menyikapi putusan MK, Komisi III DPR melakukan pertemuan dengan MK pada tanggal 5 September 2006. Usai pertemuan, Lukman menyatakan bahwa terjadi perbedaan pandangan yang tajam antara MK dan sebagian anggota Komisi III. MK berpendapat bahwa KY tidak berada dalam posisi checks and balances terhadap pelaku kekuasaan kehakiman. Pendapat tersebut, menurut Lukman, jelas bertentangan dengan maksud Perubahan UUD 1945. Demikian pula dengan pendapat MK yang menyatakan bahwa hakim konstitusi tidak dapat disamakan dengan hakim lain karena hakim konstitusi bukanlah profesi. Sebaliknya, Lukman berpendapat bahwa maksud pembentuk UU KY adalah bahwa MK selaku pelaku kekuasaan kehakiman tetap harus diawasi oleh KY.
Putusan MK tentang UU KY telah dijatuhkan dan memiliki kekuatan hukum. Putusan MK sesuai dengan ketentuan UUD 1945 bersifat final dan mengikat. Semua pihak, walaupun gundah dengan putusan itu tetap harus menerimanya. Mungkin putusan MK merupakan salah satu kebenaran dalam usaha konsolidasi lembaga negara dalam kekuasaan kehakiman. Namun putusan tersebut telah menunda dan menjauhkan upaya pemulihan kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku hakim, serta kewibawaan peradilan di Indonesia. Belakangan pendapat Lukman yang ditolak MK bahwa hakim konstitusi tetap harus diawasi KY terbukti kebenarannya dengan tertangkapnya sejumlah hakim konstitusi karena melakukan tindak pidana korupsi.