Mengakhiri Perdebatan “Indonesia Asli”

Pada 1 Agustus 2006, Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan disahkan. Perasaan puas terpancar di wajah wakil rakyat. Selaku anggota Pansus RUU Kewarganegaraan, Lukman tak kalah bersyukur. Rancangan Undang-Undang yang disiapkan sejak lama dapat disahkan dan mendapat apresiasi luar biasa dari masyarakat. Ia yakin betul bahwa regulasi ini akan menjadi titik tolak lahirnya perubahan revolusioner dalam sistem hukum kewarganegaraan Indonesia. Dikatakan revolusioner karena menghapus semua aturan terkait kewarganegaraan yang diskriminatif sehingga dapat memperlakukan warga keturunan sama seperti warga negara Indonesia.

Penduduk Indonesia bukan hanya terdiri atas orang Indonesia asli, tapi juga terdapat penduduk keturunan asing seperti Tionghoa, Arab, India, dan lain-lain. Warga keturunan, terutama etnis Tionghoa, banyak mengalami praktek diskriminasi dalam pemenuhan hak kewarganegaraan. Perlakuan tidak adil mereka terima sejak pengurusan KTP, KK hingga hak mendapatkan pekerjaan, juga dalam kedudukan hukum dan pemerintahan. Mereka dianggap orang asing yang harus melakukan pewarganegaraan untuk mendapatkan status Warga Negara Indonesia. Dengan berlakunya UU Kewarganegaraan diharapkan tidak akan terjadi lagi diskriminasi atau perlakuan tidak adil terhadap warga negara keturunan.

UU Kewarganegaraan, kata Lukman, akan mengakhiri pro-kontra mengenai status orang Indonesia asli atau bukan orang Indonesia asli. Hal ini penting mengingat perdebatan mengenai persoalan ini sudah berlangsung lama bahkan sejak Indonesia baru merdeka dan tak kunjung selesai.

Perhatian Lukman terhadap masalah kewarganegaraan sudah ditampakkan pada proses amandemen UUD 1945. Ketika perdebatan mengenai “Indonesia asli” berlangsung sengit, ia terlibat intens guna mencari titik temu dari berbagai silang pendapat yang mengemuka. Hasil dari perdebatan itu dapat dilihat dalam ketentuan UUD 1945 mengenai kekuasaan pemerintahan negara.

Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 sebelum amandemen dinyatakan, “Presiden ialah orang Indonesia asli". Lalu setelah amendemen diubah menjadi “Calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri...”.

Dalam Pasal 26 UUD 1945 yang juga dimuat dalam Pasal 2 UU Kewarganegaraan, disebutkan bahwa yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara. Pasal ini secara sepintas memang dapat membuka peluang bagi munculnya pemahaman bahwa warga keturunan Tionghoa dan semacamnya tidak termasuk dalam kategori Indonesia asli. Konsekuensinya, mereka harus rela menjadi warga kelas dua, dimana hak-haknya dibedakan dari warga keturunan Jawa, Batak, Banjar, Papua, dan lain-lain yang merupakan warga negara Indonesia asli.

Namun dengan disahkannya UU Kewarganegaraan, polemik tentang siapa orang Indonesia asli atau bukan orang Indonesia asli dapat diakhiri. Penjelasan Pasal 2 UU Kewarganegaraan berbunyi, “Yang dimaksud dengan bangsa Indonesia asli adalah orang Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain atas kehendaknya sendiri”. Rumusan penjelasan tersebut secara otomatis memasukkan warga keturunan Tionghoa dan lain-lainnya yang lahir di Indonesia walaupun belum memiliki KTP atau KK sebagai orang Indonesia asli.

Sekadar menyebut contoh kebijakan diskriminatif sebelum lahirnya UU Kewarganegaraan adalah keharusan bagi warga keturunan Tionghoa untuk mempunyai Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI). Kalau proses untuk memperoleh SBKRI ini berlangsung transparan, maka tidak akan timbul banyak keluhan. Fakta di lapangan justru sebaliknya, untuk mendapatkan SBKRI seseorang harus rela meluangkan waktu panjang dengan biaya besar. Tahun 1999 ada Keputusan Presiden No. 56/1996 yang menghapus SBKRI. Namun praktik diskriminatif di lapangan semacam itu tetap saja terjadi. Walikota Semarang pada 18 Agustus 2005 mengeluarkan SK yang mewajibkan warga keturunan Tionghoa yang akan mengurus Kartu Keluarga (KK), Kartu Tanda Penduduk (KTP), dan Akta Kelahiran agar melampirkan SBKRI.

Karena itu, Lukman meminta setelah UU Kewarganegaraan diundangkan, harus ada kesungguhan dari Pemerintah untuk segera membuat peraturan pendukung sebagai turunannya yang diperlukan, dan bekerja keras mengimplementasikannya di lapangan, sehingga rakyat Indonesia dapat merasakan kehadiran negara dengan adanya undang- undang ini. Kerja keras pemerintah, demikian Lukman, dapat menjadi air yang mengobati rasa dahaga berbagai kalangan yang telah cukup lama mendambakan perlakuan adil, non- diskriminatif, dan perlindungan hak-hak kewarganegaraan.