Menteri Semua Agama
Pada 9 Juni 2014, Lukman diangkat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjadi Menteri Agama Republik Indonesia pada Kabinet Indonesia Bersatu II. Ia menggantikan Menteri Agama sebelumnya, Suryadharma Ali (1999-2014).
Ada hal menarik saat Lukman diangkat menjadi Menteri Agama dengan sisa masa tugas kabinet tinggal empat bulan saja. Waktu itu menteri yang menjadi calon anggota legislatif terpilih dalam pemilu legislatif tahun 2014 diberi pilihan apakah tetap memegangi jabatan menteri atau mundur karena harus dilantik sebagai anggota DPR/MPR di tengah masa jabatan kabinet. Pilihan itu diberikan karena seorang menteri tak boleh merangkap sebagai anggota legislatif. Sejumlah menteri memilih mengundurkan diri demi pelantikan sebagai anggota DPR pada 1 Oktober 2014. Lukman yang juga caleg terpilih dari Dapil VI Jawa Tengah lebih memilih tetap melanjutkan tugas sebagai menteri agama dan legawa melepas kursi anggota DPR. Saat itu muncul banyak pertanyaan, mengapa Lukman rela melepaskan jabatan 5 tahun ke depan sebagai anggota parlemen demi menyelesaikan kewajibannya sebagai menteri yang tinggal hitungan hari saja itu. Ia mengatakan: "Saya wajib menyelesaikan amanah yang diberikan Pak SBY sampai tuntas, sampai berakhir masa jabatan beliau," tegasnya.
Ia masuk Kementerian Agama ketika instansi itu dalam kondisi terpuruk akibat sejumlah kasus besar yang mendera. Para pegawai mengalami keruntuhan psikologis sampai malu mengaku bekerja di Kementerian Agama. Karena itu, mengawali pengabdiannya, Lukman menggagas Lima Nilai Budaya Kerja Kementerian Agama sebagai kristalisasi dari nilai-nilai utama yang dikehendakinya menjadi roh yang menjiwai semua ASN di Kementerian Agama. Lima Nilai Budaya Kerja terdiri dari: Integritas, Profesionalitas, Inovasi, Tanggung Jawab, dan Keteladanan. Nilai-nilai budaya kerja tersebut digali melalui proses bottom up, mendengar dan menyerap dari semua pihak terkait yakni para pramubakti, pramusaji, petugas keamanan, pegawai honorer, guru dan dosen, penyuluh agama, penghulu, peneliti, pegawai, hingga para pejabat Kementerian Agama di wilayah dan pusat.
Ini bukan sekadar gerakan revolusi mental untuk mengembalikan citra institusi. Sebab, citra tak bisa dibangun dengan jargon dan publikasi belaka. Ahli Public Relation paling hebat sekalipun bakal kesulitan memoles citra institusi yang telah rusak akibat kasus korupsi, terlebih di tengah letupan-letupan usulan pembubaran Kementerian Agama. Bagi Lukman, citra institusi ini hanya dapat diperbaiki oleh dirinya sendiri. Pembenahan di dalam organisasi adalah prioritas yang otomatis akan memunculkan citra baik di publik. Ibarat bangkai, bau busuknya akan tetap tercium meskipun ditutup rapat-rapat dengan kemasan yang memikat. Sebaliknya, intan berlian akan tetap berkilau walaupun berada dalam lumpur.
Untuk itu, Lukman melakukan berbagai terobosan untuk menggenjot kinerja Kementerian Agama (Kemenag). Salah satunya menerbitkan Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 24 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak atas Biaya Nikah dan Rujuk di Luar Kantor Urusan Agama. Kebijakan ini intinya semua pihak yang melaksanakan pernikahan, talak dan rujuk pada jam kerja di Kantor Urusan Agama (KUA) yang tersebar di seluruh kecamatan di Indonesia tidak dikenakan biaya. Namun bagi mereka yang melaksanakan nikah atau rujuk di luar KUA Kecamatan dikenakan biaya transportasi dan jasa profesi sebesar Rp 600 ribu yang dicatat sebagai penerimaan dari Kantor Urusan Agama Kecamatan tersebut. Terhadap warga negara yang dipandang tidak mampu secara ekonomi dan/atau korban bencana yang melaksanakan nikah atau rujuk di luar KUA Kecamatan, dapat dikenakan tarif Rp 0 (nol) rupiah.
Ia ingin menghadirkan paradigma baru untuk melayani secara lebih baik dan mendekatkan layanan negara terhadap rakyat. KUA sebagai ujung tombak terbawah yang bersentuhan langsung dengan masyarakat, rentan pungutan liar dan gratifikasi. KUA selalu mendapat perhatian dari penegak hukum terkait besarnya arus dana untuk mendapatkan layanan dan ketidakjelasan tata kelola keuangan beserta sistem pelaporannya. Mengiringi pengaturan baru, dilakukan pembenahan profesionalisme penghulu, disiplin pegawai dan perbaikan layanan KUA, pemenuhan sarana dan prasarana terkait serta infrastruktur lain yang mendukung.
Kebijakan ini menunjukkan dampak signifikan. Kualitas pelayanan dan transparansi lembaga meningkat. Pembenahan KUA secara masif membuat Kementerian Keuangan menganugerahi Kemenag sebagai Pengelola SBSN (Surat Berharga Syariah Negara) Terbaik. Kemenag juga berhasil memberikan pemasukan bagi negara dalam jumlah besar melalui PNBP (Pendapatan Negara Bukan Pajak) dari KUA, mencapai Rp 1,7 triliun.
Salah satu budaya kerja secara profesional yang ditanamkan Lukman kepada seluruh ASN yang dipimpinnya adalah turun langsung ke masyarakat guna memperoleh data riil mengenai masalah atau isu keagamaan. Ia juga terbiasa mengkritisi sesuatu secara detail. Menurutnya, berangkat dari data yang akurat disertai argumen yang kuat akan diperoleh kebijakan yang tepat. Soal ini sering bikin kewalahan para pejabatnya. ”Saya ini profesor yang sering menguji doktor. Tapi kadang gugup ketika berhadapan dengan Pak Menteri Lukman karena seringkali rapat itu seperti ujian disertasi. Banyak pertanyaan tak terduga yang sulit dijawab dan beliau selalu tepat ketika mengoreksi angka-angka,” ujar Abdul Djamil yang pernah menjabat Dirjen Haji dan Umrah.
Abdul Djamil adalah mantan pejabat yang merasakan langsung dua kali masa kepemimpinan Lukman sebagai menteri agama. Pertama, saat Lukman menjabat di pengujung pemerintahan SBY-Boediono. Kedua, ketika Lukman masuk kabinet dalam pemerintahan baru yang dipimpin Joko Widodo-Jusuf Kalla. Di masa jabatan pertama, ia turut berjibaku bersama Lukman untuk menyiapkan penyelenggaraan haji dalam waktu yang sangat mepet di tengah merosotnya wibawa kementerian dan terjadinya demoralisasi pegawai. Pada masa jabatan kedua, ia turut menikmati hasil kerja seiring suksesnya penyelenggaraan haji. Badan Pusat Statistik (BPS) sejak 2014 merilis survei kepuasan jemaah haji Indonesia. Hasilnya, selama kepemimpinan Lukman tingkat kepuasan jemaah selalu meningkat, dari angka 81,52 atau masuk kategori memuaskan pada 2014 menjadi 85,91 atau sangat memuaskan. Sejumlah negara sahabat menyebut Indonesia telah menerapkan manajemen haji terbaik di dunia. Sukses di bidang haji dibarengi pengesahan UU Pengelolaan Keuangan Haji yang kemudian ditindaklanjuti dengan pendirian Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), sebuah badan khusus yang mengurus keuangan haji agar dapat dikelola lebih akuntabel dan profesional dengan prinsip syariah, manfaat, dan hati-hati.
Selama 133 hari memimpin Kementerian Agama dalam kabinet SBY-Boediono, Lukman menorehkan kinerja gemilang. Kementerian Agama mencatat prestasinya semasa itu dalam sebuah buku setebal 208 halaman berjudul ”Menteri Semua Agama”. Dalam penjelasan di buku itu, Lukman dijuluki demikian karena berbekal kedalaman interaksinya dengan konstitusi telah menjadikan Kementerian Agama bukan sekadar kementerian satu agama melainkan kementerian bagi semua agama yang mengayomi dan melayani seluruh agama termasuk kelompok minoritas dan kepercayaan lokal. Buku itu sejatinya dicetak kalangan internal Kementerian Agama sebagai kenangan manis atas kepemimpinan Lukman yang singkat namun efektif. Tak dinyana, Lukman kembali ditunjuk untuk memimpin mereka.
Terpilihnya kembali Lukman sebagai menteri agama merupakan anomali. Ia adalah satu- satunya menteri dari parpol yang kembali dipilih jadi menteri dalam pemerintahan yang berbeda pandangan politik. PPP, parpol yang menaunginya, berada di posisi berseberangan saat Pilpres 2014 dengan mendukung pasangan Prabowo-Hatta, bukan Jokowi-JK. Berangkat dari posisi seperti itu, Lukman justru bersemangat kerja untuk menjalankan amanah sekaligus menunjukkan kepada publik bahwa Presiden Jokowi menempatkan kepentingan negara jauh di atas kepentingan golongan. Ia juga membawa harapan baru bagi Kementerian Agama.
Kerja-kerja nyata lantas ia lakukan sehingga mengangkat Kementerian Agama ke level lebih tinggi. Indeks Reformasi Birokrasi Kemenag terus naik dari tahun ke tahun. Dari posisi 54,83 atau masuk kategori "CC" pada Tahun 2014, naik menjadi 62,28 atau "B" pada 2015. Pada 2016 angkanya meningkat menjadi 69,14 atau "B", lalu naik lagi menjadi 73,27 pada 2017. Indeks reformasi birokrasi Tahun 2018 meningkat kembali menjadi 74,02 atau masuk kategori “BB” dengan predikat Baik, dan pada Tahun 2019 menyentuh angka 75,04. Di tangan Lukman, indikator peningkatan kinerja aparatur Kementerian Agama juga terlihat pada akuntabilitas kinerja Aparatur Sipil Negara (ASN) di kementerian ini. Grafiknya dalam Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) menunjukkan tren kenaikan dari posisi 60,53 atau masih dalam kategori "CC" pada 2014 menjadi 70,52 atau kategori BB pada 2019. Selama dipimpin Lukman, Kementerian Agama juga mencatatkan rekor empat tahun berturut-turut memperoleh opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari BPK.
Kenaikan peringkat dan terukirnya prestasi ini terasa signifikan bagi Kemenag yang memiliki satuan kerja berjumlah 4.590 unit dan ASN sebanyak 225.730 orang belum termasuk pegawai honorer. Angka itu setara dengan empat kementerian/lembaga digabung jadi satu, sehingga ada yang berseloroh bahwa beban Kemenag adalah terbesar sedunia dan seakhirat.
“Melakukan perubahan di Kemenag itu tidak cukup dengan menggeser kemudi sebagaimana pada speedboat. Kemenag itu ibarat kapal tanker yang besar dengan muatan yang berisiko tinggi sehingga diperlukan banyak effort untuk mengendalikannya,” kata Lukman menggambarkan beratnya memimpin Kemenag. Menariknya, itu ia lakukan tanpa membawa tim bergerbong-gerbong. Di awal masa jabatannya, ia benar-benar sendirian. Barulah di masa jabatan kedua, ia dibantu tim kecil yang amat ramping: tiga staf khusus dan dua staf ahli.
Hasil kerja Lukman yang berdampak besar adalah pendirian Badan Pengelola Jaminan Produk Halal (BPJPH). Dirintis sejak 2016, kehadiran badan ini pada 2017 tidak hanya menyelamatkan Presiden dari ancaman pemakzulan karena kelalaian melaksanakan UU Jaminan Produk Halal yang diundangkan sejak 2014. Lebih dari itu, badan ini mengubah lanskap perekonomian Indonesia. Industri halal menjadi sektor baru yang diperhitungkan dalam perekonomian dunia. Lukman berhasil mendirikan badan ini di tengah kontroversi tentang pengaturan produk halal, bahkan di internal pemerintah sendiri sempat mendapat tentangan. Dalam peresmian BPJPH, Lukman menghadirkan Ketua MUI KH. Ma’ruf Amin di tengah anggapan bahwa MUI menolak keras perubahan pola pengurusan sertifikasi halal.
Di sektor pendidikan, Lukman berhasil mengakselerasi mutu pendidikan agama dan keagamaan di tingkat dasar hingga menengah serta melakukan transformasi kelembagaan di tingkat perguruan tinggi. Madrasah Aliyah Negeri Insan Cendekia (MAN IC) yang semula hanya dua, di Serpong dan Gorontalo, bertumbuh 20 sekolah sejenis di berbagai daerah. Ia juga menambah jumlah Universitas Islam Negeri (UIN). Semula hanya ada tujuh kampus sepanjang 13 tahun kepemimpinan tiga menteri sebelumnya (2001-2014). Lukman lalu meresmikan sembilan UIN baru dalam rentang waktu tiga tahun (2014- 2017). Ia juga melakukan peningkatan status sejumlah STAIN menjadi IAIN, sebelum pada akhirnya melakukan moratorium kebijakan penangguhan sementara untuk menjaga mutu dan menciptakan ekosistem yang sehat.
Pada 2017, Kementerian Agama memprakarsai dibentuknya Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII). Dibangun di atas basis universalisme Islam dan reputasi Islam Indonesia, UIII lahir dari cita-cita untuk meningkatkan pengakuan masyarakat akademik internasional terhadap peran umat Islam di Indonesia. Sebagai laboratorium sosial dengan jumlah umat Islam Indonesia yang berkisar 200 juta orang, ada keinginan kuat untuk menjadikan Indonesia menjadi salah satu pusat dan kiblat peradaban Islam dunia yang dirancang melalui jalur formal pada jenjang pendidikan tinggi negeri bermutu internasional.
Ada beberapa hal penting menyangkut pendirian UIII. Pertama, UIII diletakkan di dalam konteks dan karakteristik Islam di Indonesia yang dimaksudkan secara sengaja dan sistematis sebagai model peradaban Islam bagi dunia melalui pendidikan tinggi. Kedua, pendirian UIII dirancang sebagai pusat produksi peradaban Islam bermutu dan bereputasi tinggi melalui pendidikan level internasional. Ketiga, UIII merupakan bagian dari upaya melakukan integrasi ilmu pengetahuan. Integrasi keilmuan itu terutama cara pandang UIII berkaitan dengan epistemologi keilmuan yang dikembangkan terus menerus melalui penelitian untuk pengembangan ilmu yang kemudian dipublikasikan secara luas, juga melalui proses belajar mengajar dan pengabdian kepada masyarakat. Bagaimana model kajian yang berkaitan dengan Islam sebagai agama dan bahan dasar ilmu pengetahuan. Model pengembangan kelembagaan ilmu pengetahuan dan peradaban yang dirancang melalui fakultas-fakultas yang ada di dalamnya.
Sedangkan keempat, UIII dirancang dengan sengaja dan sistematis menjadi pusat kajian dan riset level internasional demi dan untuk pengembangan ilmu pengetahuan yang integratif. Mempertimbangkan isu dan kebijakan dibalik lahirnya UIII, tidak terhindarkan bahwa lembaga ini merupakan kelanjutan dan bukan lembaga dengan jenis yang sangat berbeda dengan mandat didirikannya UIN (Kusmana, 2005). Dibandingkan dengan UIN, UIII merupakan versi yang lebih elit dari segi mutu dan lebih berbobot dari segi substansi isi dan konten riset dan pendidikannya (Jabali dan Jamhari, 2002).
Di luar perguruan tinggi Islam, Lukman mendorong penegerian Sekolah Tinggi Keagaman Kristen di tiga daerah (Palangkaraya, Kupang, dan Toraja) sehingga perguruan tinggi sejenis berjumlah tujuh kampus. Usaha tidak berhenti di situ, Lukman juga membuka pintu bagi transformasi kelembagaan bagi tiga pendidikan tinggi keagamaan Kristen negeri di Tarutung, Ambon, dan Manado.
Untuk meningkatkan kapasitas akademisi, Lukman meluncurkan program 5.000 doktor. Program monumental dalam hal pengembangan SDM ini diresmikan oleh Presiden RI Joko Widodo di Istana Negara pada 19 Desember 2015. Semula hanya untuk kalangan perguruan tinggi Islam, dua tahun kemudian melebar ke lingkungan perguruan tinggi lain di luar Islam.
Tidak kalah penting, sesuai mandat UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, pada 2019 lahir Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 2019 tentang Pendidikan Tinggi Keagamaan. PP ini telah disusun dengan pembahasan yang panjang dan alot dengan para pihak. Ketentuan Pasal 30 ayat (3) dengan lahirnya PP ini, Kementerian Agama dapat mengelola Pendidikan Tinggi Keagamaannya secara lebih mandiri, demikian juga para Direktorat Jenderal di lingkungan Kementerian Agama yang mengelola bidang pendidikan tinggi keagamaan seperti Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Khonghucu. Seiring dengan terbitnya PP tersebut, Lukman menerbitkan KMA Nomor 474 Tahun 2019 tentang Pemberian Mandat kepada Direktur Jenderal yang Menyelenggarakan Pendidikan untuk dan Atas Nama Menteri Agama Menandatangani Izin Penyelenggaraan Program Studi pada Perguruan Tinggi Keagamaan.
Pengesahan UU Pesantren terjadi menjelang akhir masa jabatan Lukman. Diusahakan secara intensif sejak 2015, UU Pesantren diketok di Rapat Paripurna DPR pada 24 September 2019. Terhadap lahirnya UU tentang Pesantren ini, Lukman menyebut tiga hal penting yang harus dicatat. Pertama, rekognisi. Negara mengakui eksistensi pesantren sebagai lembaga pendidikan, lembaga dakwah, dan lembaga pemberdayaan masyarakat. Juga rekognisi terhadap alumni pesantren, baik pada jalur formal maupun non-formal.
Disahkannya UU Pesantren lebih mempertegas posisi Pemerintah dalam mewujudkan kemaslahatan sebagaimana kaidah tasharruf al-imam ‘ala al-ra’iyyah manuthun bi al- maslahah (kebijakan Pemerintah terhadap masyarakat harus didasarkan pada prinsip kemaslahatan). Pemerintah harus adil kepada semua lapisan masyarakat, termasuk kepada kalangan pesantren. Kedua, afirmasi. Terdapat sejumlah pasal yang merupakan kebijakan dari negara dalam rangka mempermudah pesantren di dalam menjalankan tiga fungsinya, yakni, sebagai lembaga pendidikan, lembaga dakwah, dan lembaga pemberdayaan masyarakat. Ketiga, fasilitasi. Dengan UU Pesantren sebagai payung hukum, keberadaan pesantren tentu akan semakin terfasilitasi dengan baik dalam pengembangan dirinya, guna memberikan manfaat yang lebih luas bagi masyarakat.