Pengusung Moderasi Beragama
Moderasi beragama adalah “mantra” yang diucapkan Lukman ketika berpidato pada Rakernas Kementerian Agama 2019. Itu ia sampaikan agar kata tersebut meresap ke sanubari para peserta Rapat Kerja Nasional –terdiri dari para pejabat eselon 1 dan 2 pusat, daerah dan perguruan tinggi—untuk ditularkan kepada anak buah di unit masing- masing dan ditebarkan kepada umat beragama. Tentu itu bukan pertama kalinya Lukman menyebut kata “moderasi beragama”. Sebelumnya, kata itu sudah berkali-kali ia sebut dalam berbagai kesempatan sejak 2016. Penyampaian dalam rapat besar di tahun terakhir masa jabatannya dimaksudkan agar moderasi beragama menjadi ruh bagi ASN dan para pemangku kepentingannya dalam melayani umat beragama dan mengelola kehidupan beragama. Ia ingin moderasi beragama diejawantahkan dan terus dibahanakan sepanjang hayat Kementerian Agama demi keutuhan NKRI.
Tentang apa, mengapa, dan bagaimana praktek moderasi beragama di masyarakat Indonesia telah dijelaskan dengan baik (Tim Penyusun Kementerian Agama, 2019; Suharto, 2019). Pada level pemikiran, ini merupakan ide otentik Lukman. Konsep ini berbeda dengan diksi Islam Nusantara yang cenderung dipersepsikan oleh para penentangnya sebagai ciri dan karakter Islam Jawa (Syahid, 2019). Juga bukan konsep moderasi Islam (Kamali, 2015; Muchlis, 2017).
Dalam menggagas moderasi beragama, Lukman tidak sepi dari salah paham dan fitnah. Ia dituduh mengajak umat pada nihilisme terhadap klaim kebenaran oleh internal pemeluk agama. Padahal sama sekali bukan itu maksudnya. Ia mengetengahkan pandangan bahwa moderasi beragama sama sekali bukanlah memoderasi agama itu sendiri, tetapi pada cara beragama yang menghindarkan diri dari pemahaman dan praktek beragama yang berlebihan. Bukan mengutak-utik ajaran agama, tetapi memoderasi pada ranah socio- politico-religious.
Pada banyak kesempatan Lukman kerap menekankan bahwa bukan ajaran agama yang menjadi landasan dan pijakan untuk tindakan ekstrem yang melampaui batas. Misalnya, beragama dengan menggunakan jargon agama untuk membenarkan kekerasan verbal seperti menebar fitnah, caci maki, ujaran kebencian, menyebarkan berita palsu (fake news), hoax, dan lain-lain. Tindakan seperti itu disebabkan oleh pemahaman keagamaan yang berlebihan, yang muncul dari cara beragama yang tidak moderat. Baginya, keterbatasan ilmu pengetahuan dan wawasan terkait inti pokok ajaran esensial agama adalah faktor utama penyebab lahirnya paham dan amalan keagamaan yang ekstrem.
Tentu kondisi lingkungan strategis dan ekosistem tertentu pada seseorang juga ikut memberi andil atas munculnya ekstremitas, seperti praktek ketidakadilan di berbagai sektor kehidupan.
Gerakan moderasi beragama yang digencarkan Lukman berbanding lurus dengan berbagai kebijakan yang dilakukannya. Bersamaan dengan makin populernya moderasi beragama, seiring dengan menjelang berakhirnya periode jabatannya, ia seakan menjadi dirinya sendiri. Ia tampil tanpa beban lepas dari berbagai determinan partai politik, beban psikologis, dan sejarah. Warna Kementerian Agama menjadi tidak lagi monolitik.
Lukman kemudian seakan memimpin dengan otentik dan orisinil. Memimpin di era disrupsi, ia jadikan moderasi beragama sebagai tawaran konseptual yang relevan dan kokoh. Ia berusaha menyapa generasi millenial dan generasi Z yang jumlahnya puluhan juta. Melengkapi beragam pertemuan langsung yang diinisiasi oleh Kementerian Agama atau melalui mitra strategisnya, Lukman aktif menyapa netizen. Melalui akun Twitter dan Instagram, Lukman berusaha tampil bukan sebagai pejabat tinggi negara, tetapi sebagai orang tua atau kakak yang berusaha sabar mengayomi, tidak terpancing menanggapi warganet yang cerewet dan berisik dengan sindiran pedas dan caci-maki. Ia berhasil tetap tampil santun, egaliter, dan menentramkan.
Terhadap banyak kalangan, Lukman memang kerap mengajak untuk menebarkan kedamaian dengan rasa cinta. "Karena beragama itu mengajak bertindak kebajikan, ia hanya bisa dilakukan dengan landasan cinta," kata Lukman. Menurutnya, jika ajakan tanpa cinta, apalagi berdasar kebencian, maka murka, paksaan, dan tindak kekerasan yang akan muncul.
Di berbagai media sosial, Lukman dituduh pro-LGBT hanya karena ia berupaya melindungi dan mengayomi penyandang LGBT agar jangan sampai dilanggar hak-hak dasar kemanusiaannya. Difitnah, disalahpahami ataupun dipahami salah secara sengaja di jagat maya adalah hal biasa bagi Lukman. Kebijakan sebagus apa pun tak akan pernah sepi dari tanggapan negatif, terutama dari mereka yang pada dasarnya pembenci.
Terhadap berbagai komentar negatif di media sosial, Lukman tidak sekalipun merespons dengan jawaban yang galak, keras, dan pedas. Apalagi ia tahu sebagian besar komentar itu berasal dari akun-akun palsu alias robot. “Dalam bermedia sosial, kita tidak perlu baper (bawa perasaan). Santai saja,” katanya enteng.
Tidak berbeda dengan kesehariannya di dunia nyata, Lukman santun dalam berkomunikasi di media sosial. Ia selalu menanggapi segala tuduhan padanya dengan sikap santun dan normatif, dengan ungkapan terukur mengajak dan menghimbau agar tidak menuduh sembarangan (Bradshaw, 2019). Terhadap kritik pedas dan caci maki yang mengarah padanya, tidak sekalipun juga Lukman melaporkan hal itu pada aparat kepolisian. Ia juga tidak terpancing emosi ketika diserang membabi buta dengan kritikan keras oleh seorang politisi bahwa “Kementerian Agama di bawah Lukman adalah yang paling amburadul dan jelek”. Pengkritik itu akhirnya bungkam setelah Biro Humas memberi bantahan telak dengan memaparkan data-data faktual lewat laman resmi Kementerian Agama.
Faktanya, Kementerian Agama memang menorehkan sejumlah prestasi. Perubahan- perubahan yang terjadi di instansi itu dilihat oleh Kakiay, peneliti dari Universitas Gunadarma, sebagai tekat negara secara maksimal untuk menyediakan dan mengupayakan pelayanan keagamaan yang berkualitas bagi warga negaranya. Lukman sendiri pun tercatat sebagai salah satu menteri berkinerja terbaik dalam berbagai survei.
Kampanye moderasi beragama di Indonesia melalui Kementerian Agama dipuji dan diapresiasi oleh Paus Fransiskus sebagai bagian untuk membangun peradaban bersama. Hal itu diungkapkan Paus Fransiskus pada Lukman saat keduanya bertemu dalam gelaran audiensi umum di lapangan Santo Petrus Vatikan, Italia pada Rabu, 2 Oktober 2019, jelang penobatan Mgr. Ignatius Suharyo sebagai kardinal.
Apresiasi muncul boleh jadi karena Lukman mengusung moderasi beragama untuk kerukunan umat dengan cara merajut kelekatan relasi interpersonal. Lukman menjalin hubungan hangat dengan para pimpinan majelis-majelis agama dan dengan tokoh-tokoh pimpinan organisasi keagamaan dan lembaga keagamaan aras nasional. Selain rajin memenuhi undangan kegiatan keagamaan yang diadakan majelis dan tokoh agama itu, Lukman kerap mengundang mereka ke rumah dinas menteri untuk membahas kehidupan keagamaan di Tanah Air. Beberapa kali terjadi saling kunjung antarmereka, menandakan keakraban hubungan antarpribadi itu. Lukman juga berhasil mengumpulkan agamawan- budayawan-akademisi dalam dua kali pertemuan penting yang membahas kondisi sosial masyarakat terkini: Permufakatan Yogyakarta dan Risalah Jakarta.
Pada 14 Desember 2018 di Jayapura, Lukman dinobatkan sebagai Tokoh Moderasi Nasional oleh Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) Papua. Ia dinilai sukses merangkul seluruh umat beragama di Indonesia. Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Papua, Amsal Yowe, mengatakan Menteri Agama Lukman telah melakukan hal-hal positif dan nyata bagi umat beragama sehingga pantas dinobatkan sebagai Tokoh Moderasi keagamaan seluruh Indonesia yang dimulai dari Tanah Papua. Pada 21 Desember 2019, saat Lukman tak lagi menjabat menteri, UIN Syarif Hidayatullah memberinya penghargaan sebagai Pencetus Moderasi Beragama di Indonesia.