INILAH.COM, Jakarta - Rois Syuriah PBNU dan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Dr (HC) Mohammad Ahmad Sahal Mahfudh berpulang pada Jumat (24/1/2014) dini hari. Jejak Mbah Sahal demikian kerap disapa, berkesan bagi semua orang yang mengenalnya, khususnya di kalangan Nahdliyin.

Di usia 76 tahun, Mbah Sahal berpulang ke Haribaan Tuhan. Pria yang terkenal dengan karya monumentalnya "Fiqh Sosial" ini meninggal dengan meninggalkan jabatan yang saat ini masih diemban. Mbah Sahal hingga kini masih menjabat sebagai Ketua Umum MUI. Ia juga masih menjabat sebagai Rais 'Aam PBNU hingga 2015 mendatang.

Mbah Sahal, dikenal sebagai kyai NU yang teguh dalam memegang prinsip khittah NU 1926. Seperti sesaat usai terpilih sebagai Rais 'Aam PBNU dalam Muktamar NU di Makasssar 2010 lalu, Mbah Sahal menegaskan tentang komitmen NU terhadap garis khittahnya. "Yang terpenting adalah memaksimalkan pelaksanaan khittah. Selama ini pelaksanaan khittah belum maksimal. Saya ingin lebih maksimal ke depannya," kata Mbah Sahal pada 27 Maret 2010 lalu.

Komitmen Mbah Sahal dalam menjaga dan merawat khittah NU memang tidak dapat ditawar lagi. Ini terbukti setahun kemudian setelah muktamar, Mbah Sahal dalam rapat pleno PBNU kembali menegaskan tentang khittah NU.

"Saya minta doa kepada semuanya, semoga pengurus PBNU sekarang ini dan selanjutnya tetap komitmen dengan khittah NU tidak berpolitik praktis,” ujar KH Sahal Mahfudz saat membuka Rapat Pleno PBNU di Yogyakarta, 27 Maret 2011.

Mbah Sahal meminta agar PBNU meneguhkan kembali NU sebagai jam’iyyah diniyah yaitu organisasi keagamaan dengan jamaah (warga NU) bahwa NU tetap sebagai jam’iyyah ijtima’iyyah yaitu organisasi kemasyarakatan yang tidak ada kaitannya dengan politik maupun partai politik.

Peringatan Mbah Sahal saat itu dilatari dengan fenomena runtang-runtung Ketua PBNU Said Aqil Siradj yang kerap bersama Ketua Umum PKB A Muhaimin Iskandar. Meski saat itu, Kyai Said beralasan, "“Saya tidak berpolitik. Kehadiran saya karena diundang dan saya niat ngaji. Yang berpolitik itu Muhaimin. Namun, demikian terserah warga NU nantinya mau memilih PKB atau tidak," kata Said saat dikonfirmasi saat itu.

Sejarah NU dengan mempertegas khittah 1926 terjadi saat muktamar di Situbondo, Jawa Timur pada 1984. Penegasan khittah itu dilatari situasi politik saat itu antara NU dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Dalam masa khittah tersebut hingga era reformasi, NU memposisikan diri secara maksimal sebagai lembaga sipil yang kuat.

Saat reformasi 1998, arus utama masyarakat NU untuk mendirikan partai politik akhirnya difasilitasi PBNU dengan membentuk Tim Lima yang kemudian dirumuskan pendirian partai politik yakni Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Salah satu Tim Lima itu tak lain KH Said Aqil Siradj.

Dalam perjalanannya, selama hampir sewindu, terjadi persoalan hubungan antara NU dan PKB. Karena dalam praktiknya, NU cenderung berpolitik. Begitu pula PKB cenderung menyeret NU dalam pusaran politik praktis. Peristiwa pencalonan Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi sebagai Cawapres pada Pemilu 2004 lalu menjadi puncaknya.

Muktamar 31 NU di Solo pada 2004 akhirnya menyepakati, NU bersikap berada di tengah di antara partai politik termasuk PKB. Sikap ini juga dipertegas dalam Muktamar 32 NU di Makassar 2010 lalu dengan tetap memegang khittah NU 1926, tidak memihak ke partai politik manapun.

Meninggalnya Mbah Sahal jelas mempengaruhi perjalanan ormas NU dalam khittah 1926 yang secara tegas tidak berpartai dan tidak memihak pada partai politik manapun. "Dengan wafatnya KH Sahal Mahfudh, makin berkurang kiai besar NU yang mampu menjaga dan mengawal Khittah NU," sebut Wakil Ketua Umum DPP PPP Lukman Hakim Saifuddin, Jumat (24/1/2014). [mdr]

www.inilah.com | nasional - Jumat, 24 Januari 2014 | 13:25 WIB
Oleh: R Ferdian Andi R