(Kemenag) -- KH Maimoen Zubair wafat pada 6 Agustus 2019 di RS An Nor Makkah saat akan menunaikan ibadah haji. Sebagai Amirul Hajj, Menag Lukman Hakim Saifuddin adalah salah satu santri yang ikut mengurus prosesi pengurusan dan pemakaman jenazah almarhum.

Sejak membawa jenazah almarhum dari RS An Nor ke Mighsalah (tempat pemandian) Al Muhajirin di Khalidiyah, memandikannya, lalu menyemayamkan di Daker Makkah sebelum disalatjenazahkan di Masjiidl Haram dan dimakamkan di Jannatul Ma'la, Menag selalu hadir dan terlibat.

Bahkan, pada tahap awal, saat banyak pihak berharap agar Almarhum dimakamkan di Indonesia, Menag juga yang menjadi komunikator dengan keluarga hingga akhirnya diputuskan Mbah Moen dimakamkan di Jannatul Ma'la.

Pengalaman ini meninggalkan kesan dan kerinduan mendalam bagi Menag Lukman. Iya, sangat dalam, hingga perubahan rona alam tidak luput dari perhatian. Kesan dan kerinduan itu lalu dia tuangkan dalam sebuah puisi bertajuk "Rasanya Baru Kemarin".

Sabtu malam (14/09), puisi ini dibacakan Menag dalam peringatan 40 Hari Wafat Mbah Moen di Pesantren Al-Anwar Sarang, Rembang.

 

RASANYA BARU KEMARIN...

oleh: Lukman Hakim Saifuddin

Rasanya baru kemarin,
Kabar duka itu datang bertubi
Memenuhi grup-grup WA dan japri
Bertebaran banyak sekali
Di media online dan media sosial pun tak terkecuali

Rasanya baru kemarin,
Setelah subuhan itu terasa begitu lemas
Membaca kabar duka yg datang deras
Kuterbenam dalam bayang-bayangnya yg melintas bebas
Namun seketika datang dorongan untuk segera bergegas

Rasanya baru kemarin,
Pengemudi setiaku memacu mobilnya secepat dia bisa
Mengarungi lajur dan jalur jalanan kota
Berpacu dengan mentari pagi yang tak kunjung tampakkan sinarnya
Menuju RS An-Nur di Mekkah di daerah Al-Hijra

Rasanya baru kemarin,
Tiba di sana langsung dikerubuti jemaah haji kita
Kusibak kerumunan jemaah tuk mengenali yang bisa kutanya
Lalu dibawanya aku ke pintu yang ketat dijaga
Memasuki suatu ruang yang tak setiap orang bisa berada di dalamnya

Rasanya baru kemarin,
Dalam ruangan itu kusaksikan deretan laci-laci besi kekar
Bertingkat berjenjang berbanjar berjajar
Dan dalam deretan laci bagian tengah pada tingkatan dasar
Terbujur di sana dengan tenang Kiai Bangsa ulama besar

Rasanya baru kemarin,
Kuberlutut menatap wajah teduhnya
dengan mata basah dan bibir bergetar
Kutatap wajahnya tersenyum berbinar
Wajah yang begitu teduh pancarkan sinar
Doa kupanjatkan disertai istighfar

Rasanya baru kemarin,
Berbagai kalangan menghubungiku memberi saran
Beberapa kiai meminta jenazah dibawa ke Tanah Air untuk dimakamkan
Keluarga dan kerabat berharap di Ma'la dikebumikan
Kami lalu berbenah melaksanakan

Rasanya baru kemarin,
Gemuruh tahlil iringi jenazah dimasukkan ke ambulan
Menuju Al-Khalidiyah jenazah akan dimandikan
Ambulan berjalan perlahan di bawah mendung kesedihan awan
Langit menangis meneteskan rintik hujan

Rasanya baru kemarin,
Seusai memandikan jasadnya dengan gejolak hati
Sepenuh takdzim membaringkan di atas berlembar kain putih bersih untuk dikafani
Lalu kukecup kening wajahnya nan berseri
Duka nestapa terbasuh semerbak wangi

Rasanya baru kemarin,
Simbah kami semayamkan di Kantor Urusan Haji Daker Mekkah
Lalu kami hantarkan ke Masjidil Haram bersama jemaah yang melimpah
Tak terhitung tangan-tangan yang menengadah
Memohon Simbah berpulang husnul khatimah

Rasanya baru kemarin,
Pemakaman Jannatul Ma'la disesaki kerumunan orang
Sekerumunan menghadang
Meminta mensalatkan sehingga iringan keranda terhalang
Tak mudah setelahnya mencapai liang
Penta'ziyah berlomba sentuh keranda di tengah tahlil yang terus berkumandang

Rasanya baru kemarin,
Simbah dimakamkan di tempat yang beliau citakan
Tak ada bunga-bunga yang ditaburkan
Tiada air wewangian yang disiramkan
Namun bersusul-susulan doa yang dipanjatkan

Rasanya baru kemarin,
Simbah pergi meninggalkan kita semua
Namun apakah Simbah benar-benar meninggalkan kita?
Bukankah ajaran, wejangan, dan arahannya
Kan tetap dan terus mengada bersama menjaga kita?

Ragunan, 09-09-2019