Moderasi Beragama, Wasatiyah Islam: Legacy Masa Silam untuk Kerukunan Relijio-Sosial Hari Ini dan ke Depan
Prof. Dr. Azyumardi Azra, CBE
Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu’alaikum warahmatullah wa barakatuh
Yang terhormat, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Amany Lubis, M.A.
Yang terhormat, Ketua Senat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Abudin Nata, M.A.
Yang terhormat Para Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Yang terhormat para anggota Senat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Bapak Lukman Hakim Saifuddin, yang saya hormati, Para tokoh agama, tokoh masyarakat, dan hadirin tamu undangan yang berbahagia.
Mari kita panjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah Swt. Atas nikmat dan karunia-Nya, hari ini kita dapat menghadiri Sidang Terbuka Senat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dalam rangka pemberian gelar Doktor kehormatan (Honoris Causa) kepada Saudara Lukman Hakim Saifuddin.
Sebagai Promotor penganugerahan gelar Doktor kehormatan tersebut, saya menyampaikan apresiasi besar kepada Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. DR Hj. Amany Lubis, M.A. yang telah mengambil inisiatif pemberian gelar Doktor kehormatan (Honoris Causa) kepada Saudara Lukman Hakim Saifuddin ini di bidang Pengkajian Islam Konsentrasi Moderasi Beragama. Usulan Rektor, yang diajukan Direktur Sekolah Pascasarjana, Prof. Dr. Asep Saefuddin Jahar, M.A. mendapat respon positif Ketua Senat, Prof. Dr. Abudin Nata beserta jajaran pimpinan dan seluruh anggota Senat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang secara aklamasi menyetujui usulan tersebut.
Saya memandang pemberian gelar Doktor kehormatan (Honoris Causa) kepada Saudara Lukman Hakim Saifuddin di bidang Pengkajian Islam Konsentrasi Moderasi Beragama merupakan langkah strategis untuk menegaskan kembali sikap dan keberpihakan sivitas akademika atau keluarga besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada gagasan dan gerakan keagamaan yang menekankan perjuangan nilai kemanusiaan, perdamaian, inklusivitas, akomodasi religiososio-kultural, dan orientasi pada kedamaian dan kemaslahatan publik. Kita tahu, khususnya ketika menjabat sebagai Menteri Agama, Saudara Lukman Hakim Saifuddin menggagas dan merumuskan konsep moderasi beragama, yang diproyeksikan tidak saja sebagai gagasan semata, melainkan lebih dari itu juga sebagai gerakan, untuk mewujudkan tatatan kehidupan beragama dan bernegara yang damai, rukun, dan harmoni di antara umat beragama yang majemuk.
Melihat jejak dan kiprah Saudara Lukman Hakim Saifuddin, saya percaya gagasan moderasi beragama yang ia usung niscaya tidak lahir tiba-tiba. Jauh sebelum dua kali mendapat amanah sebagai Menteri Agama, Saudara Lukman Hakim Saifuddin aktif dalam pemberdayaan masyarakat melalui ormas keagamaan terbesar, Nahdlatul Ulama (NU). Ia juga pernah empat kali terpilih menjadi anggota legislatif dari partai berbasis agama, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), menjadi anggota Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI yang turut merumuskan arah baru Indonesia melalui amandemen UUD 1945 pada awal Reformasi, dan menjadi Wakil Ketua MPR satu dekade kemudian.
Oleh karena itu, saya memandang ide, gagasan, konsep dan praksis moderasi beragama adalah akumulasi dari kepedulian seorang Lukman Hakim Saifuddin sebagai putra bangsa yang resah dan gelisah menyaksikan masih terus terjadinya gesekan dan konflik sosial berlatar belakang atau bernuansa keagamaan di kalangan masyarakat Indonesia. Meski konflik berbau agama itu masih isolated cases, tetap perlu upaya sistematis dan berkelanjutan untuk terus memperkuat kerukunan, kedamaian dan harmoni di dalam masyarakat Indonesia yang sangat beragam dalam hal suku, etnis, budaya, sosial, ekonomi dan agama. Apalagi, Saudara Lukman Hakim Saifuddin lahir dan besar di lingkungan yang sangat memungkinkan tumbuhnya kepedulian pada terciptanya kehidupan beragama dan bernegara yang harmonis. Ayahnya, K.H. Saifuddin Zuhri (1919-1986), adalah juga salah seorang Menteri Agama di era Presiden Soekarno.
Saudara Lukman Hakim Saifuddin nampak tidak pernah surut mempromosikan gagasan dan gerakan moderasi beragama, meski sudah tidak lagi menjabat sebagai Menteri Agama. Moderasi beragama sudah mendarah daging di dalam dirinya. Kini, ia pun tetap giat di media sosial dan berbagai forum konperensi atau seminar menyuarakan moderasi beragama. Ia memperlihatkan bagaimana pentingnya gagasan dirumuskan, didiseminasikan, diterapkan, dan sekaligus ditelandakan.
Hadlirin sidang Senat Terbuka yang berbahagia;
Bagi dunia kampus khususnya, munculnya gagasan dan gerakan moderasi beragama seyogyanya menjadi stimulus peningkatan riset dan kajian yang lebih komprehensif dan akademis tentang moderasi beragama baik dalam perspektif doktrin Islam dan pemikiran ulama/cendekiawan Muslim maupun dalam pandangan agama- agama lain. Dalam perspektif Islam dan pengalaman sosio- historis umat Islam Kepulauan Nusantara sampai masa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sekarang, secara substantif gagasan yang terkandung dalam moderasi beragama tentang keadilan, keseimbangan, kemanusiaan, dan kemaslahatan umum, sesungguhnya bukan hal baru. Semua itu telah menjadi realitas historis dan realitas sosiologis bangsa Indonesia sejak ratusan tahun lalu. Dapat dipastikan, semua agama yang tumbuh dan berkembang di Nusantara tidak hadir melalui peperangan, ekspansi, dan kekerasan, melainkan melalui jalan damai dan akomodatif terhadap budaya lokal. Kalaupun ada perang, justru peperangan itu dilakukan untuk menegakkan keadilan, melawan penjajahan, bukan perang dalam rangka menyebarkan agama atau karena perbedaan intra-atau antar-agama.
Terlebih dalam konteks Islam, moderasi beragama memiliki komonalitas dan mendapatkan justifikasi kuat melalui konsep “Wasathiyah Islam”, yang menawarkan paradigma, ajaran, konsep, pemahaman, dan praktik keagamaan “jalan tengah”. Konsep wasathiyah Islam merupakan pengembangan dari penegasan Allah SWT bahwa umat Islam diciptakan ‘ummatan wasathan’, agar dapat menjadi saksi bagi manusia lain, dan sesungguhnya Rasulullah SAW menjadi saksi bagi kaum Muslim (QS 2: 143).
Menurut Konsultasi Tingkat Tinggi Ulama dan Cendekiawan Muslim se-Dunia di Bogor (1-3 Mei 2018), Wasathiyah Islam mencakup beberapa karakter, antara lain: tawassuth (mengambil jalan tengah), tawazun (berkeseimbangan), i’tidal (berkeadilan), tasamuh (toleran), musawa (berkesetaraan), syura (bermusyawarah), ishlah (reformatif), muwathanah (cinta tanah air), awlawiyah (berprioritas), tathawwur wa ibtikar (dinamis/inovatif), dan tahadhdhur (berkeadaban). Konsep dan praksis “wasath”, atau “tengahan”, bukan berarti diam, gamang, atau tidak memiliki sikap tegas dalam beragama. Wasathiyah Islam menekankan prinsip beragama yang tidak ekstrem, tidak berlebih-lebihan (al-ghuluww wa al-taqshir), melainkan adil dan seimbang, sehingga disebut “justly-balanced” atau “middle path”.
Dalam kajian yang saya lakukan, prinsip beragama yang “wasath” dan kemudian menjadi penciri moderasi beragama ini, telah terkonsolidasi dengan kokoh sejak abad 16 hingga 19 dan seterusnya dengan munculnya ulama-ulama besar Kepulauan Nusantara seperti Hamzah Fansuri, Syamsuddin al-Samatra’i, Nuruddin Al-Raniri, Abdurrauf al-Sinkili, Muhammad Yusuf Al Makassari, Abdussamad al-Palimbani, Muhammad Arsyad al- Banjari, Ahmad Khatib Sambas, Nawawi al-Bantani, Mahfuzh al-Termasi, Ahmad Rifai Kali Salak, Muhammad Saleh Darat, Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Haji Hasan Mustapa dan lain-lain yang telah secara kokoh meletakkan pondasi cara pandang, sikap, dan praktik beragama yang menggambarkan nilai-nilai susbtantif moderasi beragama di Kepulauan Nusantara melalui karya dan kiprah keagamaan mereka.
Saya melihat bahwa nilai-nilai keagamaan seperti yang telah disemaikan dan terus diperkuat oleh para ulama Kepulauan Nusantara terdahulu itulah yang sedang diperjuangkan penerapannya melalui gagasan moderasi beragama. Oleh karena itu, saya sangat mengapresiasi pengertian moderasi beragama yang dirumuskan sebagai: “Cara pandang, sikap, dan praktik beragama dalam kehidupan bersama dengan cara mengejawantahkan esensi ajaran agama – yang melindungi martabat kemanusiaan dan membangun kemaslahatan umum – berlandaskan prinsip adil, berimbang, dan menaati konstitusi sebagai kesepakatan berbangsa”.
Dalam konteks Indonesia, ini boleh dibilang rumusan progresif dan genuine, yang merupakan tafsir empirik dari apa yang disebut sebagai beragama “jalan tengah” atau “wasath” sebagaimana dijelaskan dalam teks-teks keagamaan.
Saya meyakini, bangsa Indonesia, dengan keragaman masyarakatnya dan karakter kehidupannya yang agamis, amat membutuhkan moderasi beragama. Karenanya, nilai- nilai moderasi beragama ini perlu terus diperkuat melalui riset dan kajian; juga implementasinya perlu terus dikawal dan diberdayakan, baik oleh individu, masyarakat (civil society), maupun oleh institusi, khususnya melalui Kementerian Agama, yang memang menjadi leading sector urusan publik di bidang keagamaan.
Kita bersyukur saat ini moderasi beragama telah resmi menjadi salah satu arah kebijakan negara di bidang agama, sebagaimana tertuang dalam Perpres No. 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Hal ini berkat kerja keras Saudara Lukman Hakim Saifuddin dan jajarannya saat bertugas di Kementerian Agama untuk meyakinkan para pemangku kepentingan bahwa moderasi beragama adalah kemestian atau keniscayaan. Namun, yang perlu kita pikirkan adalah bagaimana masa depan moderasi beragama pasca RPJMN 2020-2024 itu?
Akan menjadi sebuah kerugian besar jika moderasi beragama menjadi “yatim-piatu” di kemudian hari, dalam pengertian tidak ada lagi yang mengawal, menggawangi dan memfasilitasi implementasi nilai luhurnya. Gagasan dan gerakan moderasi beragama tidak boleh berhenti pada seorang Lukman Hakim Saifuddin. Harus ada kebijakan dan keberpihakan institusi yang bisa melindungi keberlangsungannya.
Di sinilah letak pentingnya peran Kementerian Agama, institusi Pemerintah yang paling bertanggungjawab menetapkan dan atau mengusulkan regulasi terkait moderasi beragama. Hingga saat ini, payung hukum moderasi beragama hanya mengandalkan Perpres Nomor 18 Tahun 2020 tentang RPJMN 2020-2024 itu, padahal untuk implementasi di lapangan, masih diperlukan regulasi turunannya, seperti Peraturan Menteri Agama, atau regulasi lain di bawahnya.
Itu adalah tantangan dari aspek regulasi. Dalam konteks implementasinya di kalangan masyarakat luas pun, masih banyak masalah krusial yang harus kita pikirkan bersama. Kita menyaksikan sendiri bahwa hingga saat ini krisis keadaban publik (public civility) di bidang agama masih nyata di depan mata. Peningkatan intensifikasi keagamaan (religious intensification) dan gairah kehidupan beragama secara personal belum diimbangi dengan meningkatnya adab dan keadaban publik secara sosial, yang sesungguhnya juga diajarkan agama.
Seharusnya, peningkatan gairah keagamaan secara personal memberikan dampak positif pada keadaban publik dan berbagai aspek kehidupan. Semestinya juga, kesalehan umat dalam menjalankan agama diimbangi dengan kian tegaknya akhlak mulia atau budi pekerti luhur, meningkatnya kedisiplinan warga, bertambahnya kepatuhan pada ketentuan hukum dan konstitusi, saling menghormati dan menghargai, menguatnya kedamaian dan harmoni; makin bersihnya pemerintahan dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), kian adilnya penegakan hukum, dan semakin terwujudnya keadilan ekonomi-sosial. Ini adalah beberapa tantangan yang harus dijawab oleh moderasi beragama.
Saya sendiri berpandangan, meski sudah cukup matang, tapi konsep dan rumusan moderasi beragama harus terus menerus dikritisi, diuji, diverifikasi untuk penyempurnaan, agar ia benar-benar bisa menjadi solusi bagi terciptanya tatatan kehidupan beragama dan bernegara di Indonesia yang ideal, yang harmonis, yang damai, yang adil, yang memenuhi kriteria baldatun tayyibatun wa rabbun ghafur, negeri gemah ripah loh jinawi, yang diridlai oleh Tuhan.
Untuk mewujudkannya, moderasi beragama juga tidak cukup dituangkan dalam rumusan, tulisan, atau kebijakan. Lebih penting dari itu adalah harus diteladankan, terutama oleh mereka yang dalam sosialisasinya berdiri paling depan. Mereka adalah ulama, cendekiawan, pimpinan dan aktivis ormas keagamaan, dosen dan guru, pemimpin sosial-budaya, dan tentu saja pemimpin formal di eksekutif, legislatif, dan yudikatif, mulai dari pemimpin tertinggi sampai yang terbawah.
Terakhir, saya ingin mengucapkan selamat kepada Saudara Lukman Hakim Saifuddin. Saya sangat meyakini bahwa pemberian gelar Doktor kehormatan (Honoris Causa) ini bukanlah tujuan yang ingin dicapai Saudara ketika menggagas moderasi beragama. Namun demikian, kita semua berharap bahwa kiranya apresiasi akademik dari Kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini dapat menjadi energi tambahan bagi upaya menciptakan tatanan kehidupan beragama dan bernegara yang damai dan rukun.
Wabillahit taufiq wal hidayah
Wassalamu’alaikum warahmatullah wa barakatuh
Ciputat, 31 Mei 2022
Prof. Azyumardi Azra, CBE
(BA, Drs, IAIN Jakarta; MA, MPhil, PhD, Columbia University New York City)
Guru Besar Sejarah Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta