Moderasi Beragama: Menjaga Indonesia
Lukman Hakim Saifuddin
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
1. PERMASALAHAN
A. Realitas Indonesia: Majemuk dan Agamis
Indonesia adalah bangsa dan negara yang memiliki tingkat keberagaman yang amat tinggi. Kemajemukan itu tak hanya dijumpai pada masyarakatnya yang terdiri atas beragam ras, etnis, dan suku, yang memiliki beragam budaya, bahasa, dan agama. Keberagaman itu juga tercermin pada keanekaragaman flora dan fauna yang ada di wilayah Nusantara ini.
Selain keberagaman (kemajemukan) yang merupakan jati diri sekaligus ciri keindonesiaan, keberagamaan (relijiusitas) juga menjadi faktor amat penting sebagai penanda kekhasan Indonesia. Tingkat keberagamaan bangsa Indonesia nyaris tak tertandingi di dunia ini. Masyarakat Indonesia lekat dan kental dengan kehidupan keagamaan. Tak ada bentuk, jenis, dan ragam kehidupan kemasyarakatan warganya yang tak terkait dan lepas dari nilai agama.
Meskipun mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim, bahkan merupakan negara dengan jumlah pen- duduk muslim terbesar di dunia, Indonesia bukanlah negara Islam. Namun Indonesia juga bukanlah negara sekuler yang memisahkan secara tegas hubungan antara agama dengan negara. Indonesia adalah negara berketuhanan yang masyarakatnya sangat agamis dan majemuk.
Meskipun bukan negara berdasar agama tertentu, konstitusi negara menjamin kemerdekaan setiap penduduk untuk memeluk agama dan menjalankan ibadah menurut agama dan kepercayaannya itu. Agama menduduki posisi yang amat vital, yang nilai-nilainya menjiwai setiap denyut dan detak akivitas kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan.
Dalam konteks Indonesia, agama dan negara ibarat sekeping mata uang logam yang memiliki dua sisi. Antara sisi yang satu dengan lainnya memang bisa dibedakan, tapi tak bisa dipisahkan. Berindonesia adalah beragama dan beragama adalah berindonesia. Melaksanakan kewajiban kenegaraan bagi seorang warganegara adalah wujud pengamalan ajaran agama. Pun sebaliknya. Penunaian kewajiban keagamaan bagi seorang penganut agama hakikatnya adalah manifestasi dari pelaksanaan kewajiban kenegaraan sebagai warga bangsa. Kecintaan terhadap tanah air dan seluruh tumpah darah merupakan salah satu ukuran keimanan.
Relasi antara agama dan negara dalam konteks Indonesia menjadi hubungan yang simbiosis mutualisma. Negara dan agama saling membutuhkan. Negara membutuhkan agama karena negara harus dijalankan dengan berpijak pada dasar dan berorientasi pada tujuan yang sesuai dengan ruh dan nilai-nilai keagamaan. Sebaliknya, agama juga memerlukan negara, karena penerapan nilai-nilai agama itu memerlukan jaminan perlindungan dan fasilitasi dari negara.
Hubungan antara negara dan agama itu juga saling mengimbangi dan mengawasi (check and balance). Pelaksanaan penyelenggaaraan negara selalu diimbangi dan dikontrol oleh nilai-nilai agama. Para penyelenggara negara pada semua cabang kekuasaannya senantiasa dipantau dan diawasi oleh nilai agama melalui para pemuka agama dan tokoh masyarakat. Demikian pula sebaliknya. Penerapan nilai-nilai agama juga selalu diimbangi dan dikontrol oleh para penyelenggara negara melalui regulasi dan peraturan perundang-undangan sebagai acuan bersama.
B. Tantangan Kehidupan Beragama
Dengan realitas Indonesia yang warganya amat agamis itu, cara beragama setiap warga bangsa yang hakikatnya adalah umat beragama menjadi teramat vital. Cara beragama di sini dimaksudkan sebagai cara memahami ajaran agama dan cara mengamalkan ajaran agama sebagaimana yang dipahaminya itu.
Belakangan ini dijumpai sejumlah permasalahan dalam kehidupan keberagamaan kita. Di antara ba- nyaknya permasalahan itu, tanpa bermaksud menge- cilkan dan meniadakan yang lain, setidaknya terdapat tiga tantangan besar yang harus diatasi bersama.
Pertama, kian muncul fenomena corak beragama yang justru bertolak belakang dan mengingkari inti pokok ajaran agama itu sendiri. Inti pokok ajaran agama itu antara lain memanusiakan manusia dan membangun kemaslahatan bersama. Namun kini berkembang paham dan amalan keagamaan yang justru mengingkari harkat, derajat, martabat kemanusiaan. Atas nama agama, penganut agama justru merusak dan memusnahkan benda dan bangunan yang memiliki nilai kebermanfaatan yang merupakan fasilitas umum dan sosial. Beragama dilakukan secara eksklusif, pendekatannya segregatif, menebar hal-hal konfrontatif, dan lalu menjadi destruktif. Padahal hakikat ajaran agama adalah inklusif, integratif, kooperatif, dan konstruktif. Padahal inti pokok ajaran agama adalah membangun kemaslahatan bersama.
Kedua, kian muncul fenomena di mana lahir beragam tafsir keagamaan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya karena tidak berdasarkan kaidah keilmuan. Mereka yang tidak memiliki kompetensi keilmuan yang cukup, enteng saja semaunya menerjemahkan, menafsirkan, dan menginterpretasikan teks-teks kitab suci. Muncullah terjemahan dan tafsir keagamaan yang terlalu berlebihan dan melampaui batas. Sebagian kelewat bertumpu pada teks semata dan mengabaikan konteks sama sekali. Sebaliknya, sebagian yang lain kelewat mendewakan akal pikiran dan melakukan interpretasi konteks begitu bebasnya tanpa batas, yang justru tercerabut dari teksnya itu sendiri. Semakin pelik, ketika kedua cara penyikapan yang berlebihan dan melampaui batas atas teks-teks kitab suci itu lalu melahirkan klaim memutlakkan kebenaran secara sepihak, dan menyalah-nyalahkan pihak lain yang berbeda dengannya, dengan memaksakan kehendak yang menggunakan cara-cara kekerasan.
Ketiga, kian muncul fenomena adanya paham dan amalan keagamaan yang secara diametral merusak dan mengoyak ikatan kebangsaan kita. Seseorang secara demonstratif mendakwahkan pemahaman bahwa Pancasila itu bertentangan dengan ajaran agama, memberikan hormat kepada sang saka merah putih itu perbuatan menyekutukan Tuhan, dan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya itu haram. Paham seperti itu dan beragam paham lain sejenisnya jelas merusak sendi-sendi pilar kebangsaan dan meruntuhkan bangunan keindonesiaan kita. Cara beragama yang berlebihan dan melampaui batas seperti itu juga akan berdampak memperburuk citra agamanya sendiri serta melukai keharmonisan hidup bersama umat agama lain.
2. SOLUSI YANG DITAWARKAN
A. Membangun Gerakan Bersama
Menghadapi beragam tantangan yang muncul dalam kehidupan keagamaan kita, perlu dibangun kesadaran bersama, bagaimana agar cara kita beragama, cara memahami dan mengamalkan ajaran agama itu tidak sampai terjerumus dan terperosok pada bentuk-bentuk pemahaman dan pengamalan keagamaan yang berlebih- lebihan dan melampaui batas.
Upaya membangun kesadaran tersebut haruslah dilakukan secara terencana, terpola, sistematis, dan serentak bersama. Ia tak sekadar merupakan program, kegiatan, apalagi proyek semata. Ikhtiar bersama itu haruslah merupakan gerakan besar yang dilakukan semua komponen dan elemen bangsa, melibatkan semua kementerian, lembaga, dan instansi pemerintahan, menggerakkan seluruh institusi keagamaan, serta mengajak partisipasi segenap warga bangsa. Gerakan Bersama itu adalah Penguatan Moderasi Beragama.
B. Moderasi Beragama
Kata ‘moderasi’ oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) didefinisikan sebagai pengurangan kekerasan atau penghindaran keekstreman. Secara bahasa kata tersebut berasal dari bahasa Latin ‘moderatio’, yang berarti ‘kesedangan’, dalam artian tak kelebihan dan tak kekurangan, serta seimbang. Dalam bahasa Arab, padanan kata tersebut adalah ‘wasath’ yang berarti ‘tengah-tengah’.
Kata ini mengandung makna adil, yaitu tak berat sebelah, tak sewenang-wenang, proporsional, dan berpihak pada kebenaran. Selain itu, kata ini juga mengandung makna berimbang, yaitu berada pada posisi di tengah di antara dua kutub ekstrem.
Selanjutnya, Moderasi Beragama dapat dirumuskan sebagai upaya membentuk cara pandang, sikap, dan praktik beragama dalam kehidupan bersama, dengan cara mengejawantahkan esensi ajaran agama – yang melindungi martabat kemanusiaan dan membangun kemaslahatan umum – berlandaskan prinsip adil, berimbang, dan menaati konstitusi sebagai kesepakatan berbangsa.
Pada rumusan definisi seperti itu, setidaknya ada empat hal yang perlu digaris-bawahi untuk menjadi cermatan kita bersama, yaitu:
Pertama, moderasi beragama adalah usaha membentuk dan membangun cara pandang, sikap, dan praktik beragama segenap umat beragama. Ia adalah proses, bukan hasil, karenanya ia merupakan upaya atau ikhtiar yang terus-menerus tak berkesudahan. “Agama” satu hal, dan “beragama” adalah hal lain. Ajaran agama pasti benarnya dan sempurna, karena ia adalah ajaran dari Yang Maha Benar dan Yang Maha Sempurna. Namun bagaimana manusia memahami dan kemudian mengamalkan ajaran agama dari-Nya itu? Apakah sesuai sebagaimana yang dikehendaki-Nya itu? Di sinilah cara kita beragama, cara pandang, sikap, dan praktik beragama setiap penganut agama diupayakan sedemikian rupa agar tak berlebihan dan tak melampaui batas dari kehendak-Nya.
Kedua, moderasi beragama fokus pada anak kalimat “dalam kehidupan bersama”. Hal utama yang diperhatikan dalam upaya membentuk dan membangun cara pandang, sikap, dan praktik beragama para penganut agama itu adalah dampak sosial yang timbul dari paham dan praktik keberagamaan mereka di ruang publik. Moderasi beragama tidak mengurusi kehidupan beragama seseorang beserta dampak yang ditimbulkannya secara personal di ruang privat. Moderasi beragama — sebagaimana salah satu inti pokok ajaran agama adalah membangun kemaslahatan bersama — mengarah pada wilayah eksternal seseorang sebagai dampak sosial yang ditimbulkan dari proses beragamanya. Karenanya, moderasi beragama sama sekali tidak mengusik sedikitpun wilayah internal (forum internum) seseorang dalam beragama. Perkara keimanan (akidah), tata cara ritual peribadatan yang telah memiliki pola bakunya, dan hal-hal keagamaan yang bersifat personal dan privat seseorang dengan Tuhannya atau dengan sesamanya bukanlah menjadi perhatian utama moderasi beragama.
Ketiga, “mengejawantahkan esensi ajaran agama” adalah poin penting ketiga dari rumusan pengertian tentang moderasi beragama. Secara sederhana dan mudahnya, keseluruhan ajaran agama itu bisa dipilah ke dalam dua macam, yaitu: ajaran yang nilainya bersifat universal (inti, pokok, esensial), dan ajaran yang nilainya bersifat partikular (unik, spesifik, cabang). Moderasi beragama ingin lebih mengedepankan perhatian pada perwujudan pemahaman dan pengamalan ajaran agama yang bersifat pokok, esensial, dan universal. Misalnya: pelindungan martabat kemanusiaan, penegakan keadilan, pemenuhan hak-hak dasar manusia, persamaan di depan hukum, membangun kemaslahatan bersama, menjaga komitmen bersama, dan lain-lain. Dimaksudkan bahwa dalam pengejawantahan ajaran agama yang bersifat pokok dan universal di ruang publik itu, hendaknya cara pandang, sikap, dan praktik beragama kita tidak berlebihan dan melampaui batas. Secara khusus, “melindungi martabat kemanusiaan dan membangun kemaslahatan umum” dinyatakan secara eksplisit agar lebih mendapat perhatian khusus, karena itulah dua di antara beragam inti pokok ajaran agama yang belakangan ini mengalami pengingkaran luar biasa, justru dari kalangan umat beragama sendiri dan atas nama agama. Keempat; poin penting selanjutnya adalah “prinsip adil, berimbang, dan menaati konstitusi sebagai kese- pakatan bersama”. Pengertian dan maksud dari kata “adil dan berimbang” adalah dalam konteks menyikapi adanya dua kutub ekstrem yang saling berseberangan, yang melahirkan paham dan amalan yang berlebihan dan melampaui batas. Jadi, bukan di tengah-tengah di antara haq dan bathil, benar dan salah, atau baik dan buruk.
Lantas, apa urgensi dan relevansi “menaati konstitusi sebagai kesepakatan bersama”? Sebagaimana dimaklumi, dalam negara berketuhanan yang masyarakatnya agamis seperti negara dan bangsa Indonesia, ajaran dan nilai agama tak bisa dipisahkan dari kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kesepakatan bersama berupa Pancasila dan UUD 1945 sebagai konstitusi yang sub- stansinya merupakan pengejawantahan dari nilai ajaran agama adalah konsensus nasional. Kesepakatan bersama itu merupakan hasil titik temu dari beragam aspirasi yang muncul, yang lahir dari kearifan para pendahulu pendiri bangsa dalam menyikapi realitas kemajemukan bangsa. Kesepakatan bersama itu tak hanya berfungsi sebagai pengikat yang merajut, merangkai, dan menjalin tenun kebangsaan kita yang berwarna-warni, tapi juga sekaligus penguat identitas bangsa yang religius ini. Berindonesia yang senantiasa menjaga nilai dan norma agama, dan beragama yang menjunjung tinggi konsensus kebangsaan, adalah satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan. Sebab itulah, menaati konstitusi menjadi hal penting dalam moderasi beragama.
C. Kesalahpahaman Terhadap Moderasi Beragama
Dengan lebih memahami empat kata kunci pada rumusan definisi di atas, sejumlah anggapan dan tuduhan yang tidak benar yang dialamatkan kepada moderasi beragama itu akan sirna dengan sendirinya.
1. Agenda dan Pesanan Asing?
Memahami dan mengamalkan ajaran agama secara moderat dalam artian tidak berlebih-lebihan dan tidak melampaui batas adalah perintah agama itu sendiri. Mengapa agama memerintahkan demikian? Karena manusia dengan segala kelemahannya, yaitu: keterbatasan perspektif (sudut pandang) dan wawasan ilmu pengetahuan yang ada padanya dalam membaca dan menerjemahkan ayat-ayat suci Tuhan, menyebabkan manusia berpotensi berada pada posisinya yang kelewat di pinggir dan menjadi mudah tergelincir dalam menyikapi teks suci yang menjadi rujukan utama dalam beragama.
Adanya kemungkinan berlebih-lebihan dan melampaui batas, sehingga berada di posisi ekstrem dalam menerjemahkan firman-suci milik-Nya -- sebagai konsekuensi dari kelemahan dan keterbatasan manusia -- itulah yang meniscayakan perlunya moderasi dalam beragama. Karenanya, moderasi beragama merupakan kebutuhan nyata yang muncul pada diri umat beragama itu sendiri, dan sama sekali bukan pesanan atau agenda pihak asing.
2. Mengakibatkan Umat Beragama tak Mengakar dan tak Fanatik dengan Agamanya Sendiri?
Tuduhan seperti itu boleh jadi disebabkan oleh adanya penggunaan istilah ‘radikal’ dan ‘fanatik’ yang salah kaprah. Hal yang sama juga terjadi pada istilah ‘konservatif’, dan ‘fundamental’. Kata ‘radikal’ menurut arti kata bahasa Indonesia adalah mendasar dan berakar. Arti kata ini menjadi amat penting dalam konteks beragama, karena beragama memang harus mengakar dan mendasar. Beragama tentu tak boleh dan tak cukup hanya secara ringan-ringan atau enteng-entengan saja di permukaan. Namun entah kapan mulainya, kata “radikal” menjadi berkonotasi negatif dalam konteks beragama. “Jangan beragama secara radikal,” demikian sering kita dengar seruan dari tokoh agama dan pemuka masyarakat. Mungkin dari situ mulanya “deradikalisasi” dicurigai oleh sebagian kalangan umat beragama sebagai proses memperlemah keimanan dan semangat beragama. Imbasnya terkena pada moderasi beragama. Sebab, kata “radikal” itu lalu diidentikkan dengan praktik beragama yang mentolerir tindak kekerasan, yang memang sesuatu yang harus dihindari dalam moderasi beragama. Sungguh kesalahkaprahan yang serius, yang juga terjadi pada kata “fanatik”, “fundamental”, dan “konservatif”. Kata-kata yang hakikatnya memiliki arti bahasa yang positif dalam konteks beragama, lalu mengalami reduksi makna dan bahkan pemutarbalikan makna.
Itulah mengapa sejak awal, dalam konsepsi moderasi beragama tidak digunakan ke-empat istilah yang telah mengalami kesalahkaprahan makna. Karena sesungguhnya yang harus dihindari bukanlah radikal-nya, fanatik-nya, fundamental-nya, atau konservatif-nya, melainkan adanya ekses negatif yang ditimbulkan dari istilah itu. Dari sisi etimologis, makna harfiah istilah-istilah itu dianggap positif dalam konsepsi moderasi beragama. Tidaklah mengapa dan bahkan malah haruslah seseorang beragama secara mendasar, mengakar mendalam, meyakini kepercayaannya dengan kuat, dan berupaya menjaga kemurnian ajaran agama. Hanya, yang harus dicegah dan dihindari adalah ekses negatif ikutannya, yaitu memutlakkan kebenaran hanya pada dirinya saja yang paling benar, lalu menjadi mudah menyalah-nyalahkan pihak lain yang berbeda dengannya, seraya memaksakan kehendak dengan menggunakan cara-cara kekerasan.
Dalam konsepsi moderasi beragama, istilah yang digunakan untuk dihindari dan dicegah dalam cara pandang, sikap, dan praktik beragama adalah “berlebihan”, “melampaui batas”, dan “ekstrem”. Penggunaan kata dan istilah ini bukan hanya semata karena itulah bahasa agama, melainkan juga demi menghindari diri dari perdebatan yang tak berkesudahan tentang istilah-istilah yang telah mengalami kesalahkaprahan makna itu.
3. Moderasi Beragama Identik dengan Liberalisme dan Sekularisme?
Selanjutnya terkait dengan tuduhan bahwa pada diri moderasi beragama terkandung agenda- agenda asing berupa liberalisasi beragama dan sekularisme yang sengaja dimasukkan ke dalam negeri. Ini tentu tuduhan yang jauh panggang dari api. Kenyataannya malah sebaliknya. Moderasi beragama justru hadir sebagai imunitas bagi setiap warga bangsa Indonesia yang hakikatnya umat beragama dari serbuan paham dan praktik ideologi asing, baik yang datang dari Barat berupa liberalisme dan sekularisme, maupun yang dari Timur berupa transnasionalisme. Moderasi beragama adalah agenda internal bangsa Indonesia karena beragama secara moderat merupakan kebutuhan nyata bangsa agamis itu sendiri.
Konsepsi moderasi beragama ini bergulir, tanpa sedikit pun intervensi pihak asing. Posisi moderasi beragama terhadap sekularisme juga sudah jelas dalam pembahasan tentang hubungan negara dan agama dalam konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jadi, alih-alih mengusung agenda asing, praktik moderasi beragama di Indonesia justru dapat dijadikan contoh atau model oleh negara-negara lain dalam merawat keberagaman dan mewujudkan perdamaian dunia.
4. Moderasi Beragama Mendukung LGBT?
Moderasi beragama sama sekali tidak meming- girkan atau mengabaikan ajaran agama. Semua agama memiliki penilaian sama terhadap perilaku LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) yang menyimpang. Agama apa pun menolak perilaku menyimpang tersebut. Secara tegas moderasi beragama juga menolak tindakan, perilaku, maupun kampanye LGBT.
Namun, justru karena kesadaran akan penolakan itulah umat beragama dituntut untuk mengupayakan agar perilaku LGBT tidak meluas di masyarakat. Caranya adalah dengan menyikapinya secara bijak, sesuai dengan pendekatan kebajikan agama, yakni memberikan pendampingan, bimbingan, pengayoman, dan pembinaan secara empatik kepada mereka yang memiliki orientasi seksual sejenis dan biseksual, serta yang transgender, agar tidak lagi melakukan apalagi menyebarluaskan LGBT.
Empatik ditekankan di sini supaya kita tetap dapat memanusiakan manusia, sebagaimana pesan utama ajaran agama. Mereka yang LGBT itu adalah mahluk Tuhan yang juga punya hak asasi sebagaimana manusia lainnya. Hak-hak dasar kemanusiaan mereka tidak boleh dilanggar. Dengan demikian, penistaan, pengucilan, apalagi penghilangan eksistensi kemanusiaan mereka harus dihindari. Agama hadir justru untuk mengajak kepada kebajikan. Bila di mata ajaran agama suatu tindakan itu dinilai menyimpang, agama (melalui tokoh-tokohnya, pengusungnya, penganutnya) justru berkewajiban mengulurkan tangan kepada mereka yang dinilai menyimpang itu, membantu mendampingi dan membimbing mereka agar tak lagi melakukan perbuatan yang dilarang agama.
Banyak faktor yang mempengaruhi mereka sampai melakukan perbuatan terlarang dalam pandangan agama apa pun itu. Dengan mengenali faktor- faktor itu, kita dapat melakukan penanggulangan secara lebih sistematik terhadap perilaku yang menyimpang tersebut. Pendekatan ini artinya memberikan kesempatan kepada mereka untuk kembali ke jalan yang benar sebagaimana fitrahnya sebagai manusia.
Inilah sikap moderat yang dapat dijadikan pegangan. Hak dasar kemanusiaan kaum LGBT tidak boleh dilanggar, tapi perilaku LGBT yang dilarang agama itu juga tidak boleh dilakukan, dikampanyekan, dan disebarluaskan di tengah masyarakat. Sayangnya, banyak kalangan yang sulit membedakan ranah boleh dan tidak boleh ini, sehingga setiap upaya melindungi hak-hak dasar kemanusiaan kaum LGBT --yang hakikatnya juga merupakan inti pokok ajaran agama -- disamaratakan dengan dukungan terhadap kaum LGBT.
3. STRATEGI KEBIJAKAN DAN IMPLEMENTASI
A. Lima Strategi Utama
Kebijakan memperkuat Moderasi Beragama didasarkan pada tiga paradigma, yaitu: Pertama, Indonesia bukan negara sekuler yang memisahkan agama dari negara, juga bukan negara yang berdasarkan agama tertentu. Indonesia adalah negara berketuhanan yang kehidupan warga bangsanya tidak bisa dipisahkan dari nilai-nilai agama.
Karenanya, negara memfasilitasi kebutuhan kehidupan keagamaan warganya sesuai amanah konstitusi. Kedua, negara memosisikan diri “in between” di antara dua aspirasi terkait relasi agama dan negara. Negara tidak boleh terlalu campur tangan mengurusi hal ihwal kehidupan keagamaan warganya, tapi juga tidak boleh terlalu lepas tangan. Ketiga, negara berlandaskan dan berorientasi pada nilai-nilai agama, yaitu terwujudnya kemaslahatan bersama menuju kedamaian dan kebahagiaan.
Selanjutnya, kebijakan merawat kehidupan keagamaan melalui penguatan moderasi beragama ini ditempuh dengan menerapkan strategi utama, yaitu:
Pertama, Penguatan cara pandang, sikap, dan praktik beragama jalan tengah. Ini dilakukan melalui sejumlah Langkah. 1). Penyiaran Agama; Pengembangan penyiaran agama untuk perdamaian dan kemaslahatan umat. 2). Sistem Pendidikan; Penguatan sistem pendidikan yang berperspektif moderasi beragama mencakup pengembangan kurikulum, materi dan proses pengajaran, pendidikan guru dan tenaga kependidikan, dan rekruitmen guru. 3). Pengelolaan Rumah Ibadat; Pengelolaan rumah ibadat sebagai pusat syiar agama yang toleran. 4). Pengelolaan Ruang Publik; Pemanfaatan ruang publik untuk pertukaran ide dan gagasan di kalangan pelajar, mahasiswa, dan pemuda lintas budaya, lintas agama, dan lintas suku bangsa. 5). Pesantren dan Satuan Pendidikan Keagamaan Lainnya; Penguatan peran pesantren dan satuan pendidikan keagamaan lainnya dalam mengembangkan moderasi beragama melalui peningkatan pemahaman dan pengamalan ajaran agama untuk kemaslahatan.
Kedua, Penguatan harmonisasi dan kerukunan umat beragama. Penguatan harmoni dan kerukunan umat beragama disertai pelindungan hak konstitusi, optimalisasi peran lembaga negara dan lembaga agama, serta pemberdayaan FKUB. Pelindungan umat beragama untuk menjamin hak-hak sipil dan beragama. Penguatan peran lembaga keagamaan, organisasi sosial keagamaan, tokoh agama, tokoh masyarakat, ASN, TNI, dan Polri sebagai perekat persatuan dan kesatuan bangsa. Penguatan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) untuk membangun solidaritas sosial, toleransi, dan gotong royong. Harmonisasi umat beragama dapat tercapai jika: Masyarakat terlindungi hak sipil dan hak beragamanya. Para tokoh dan lembaga kunci mampu memainkan peran untuk menjaga situasi yang kondusif bagi terciptanya kerukunan dan solidaritas sosial demi kemaslahatan bangsa.
Ketiga, Penyelarasan relasi agama dan budaya. Pada masyarakat majemuk, pandangan keagamaan sering dibenturkan dan dihadap-hadapkan dengan ritual budaya yang merupakan wujud dari kearifan lokal. Penyelarasan keduanya menjadi penting untuk mengatasi ketegangan yang merusak harmoni sosial. Untuk itu diperlukan pendekatan: 1). Pelestarian dan optimalisasi produk budaya berbasis agama untuk mensejahterakan umat. 2). Penghargaan atas keragaman budaya yang merupakan wujud dari implementasi pengamalan agama. 3). Pengembangan literasi khazanah budaya bernafas agama. 4). Penguatan dialog lintas agama dan budaya. 5). Pemanfaatan perayaan keagamaan dan budaya untuk memperkuat toleransi. 6). Pengembangan tafsir keagamaan berperspektif budaya.
Keempat, Peningkatan kualitas pelayanan kehidupan beragama, melalui agenda utama: 1). Peningkatan fasilitasi pelayanan keagamaan yang akuntabel serta bersifat inklusif dan non-diskriminatif. 2). Peningkatan bimbingan perkawinan dan keluarga sakinah berwatak moderat. 3). Penguatan penyelenggaraan jaminan produk halal sebagai nilai tambah ekonomi sehingga umat lain turut merasakan manfaatnya. Pelayanan sertifikasi halal sebagai jaminan kepastian hukum terkait produk halal, dan bukan untuk menciptakan segregasi pangsa pasar. 4). Peningkatan kualitas penyelenggaraan haji dan umrah dengan menerapkan hukum fikih yang bertumpu pada pertimbangan realitas sosial, guna menghadirkan kemaslahatan bersama sebagai wujud Islam rahmatan lil alamin.
B. Penguatan Moderasi Beragama pada Kementerian/ Lembaga
Selaras dengan RPJMN, setiap kementerian/lembaga menjalankan Penguatan Moderasi Beragama dalam kehidupan beragama di institusi dan pemangku kepentingannya. Hal ini untuk menjamin pemenuhan hak beragama dan hak sipil dalam program dan layanan publik yang inklusif. Langkah-langkah yang bisa dilakukan:
a. Penguatan cara pandang, sikap, dan praktik beragama berperspektif Moderasi Beragama pada Aparatur Negara.
b. Pelindungan hak beragama dalam program dan layanan publik sesuai dengan tugas dan fungsi K/L.
c. Penguatan perspektif Moderasi Beragama dalam pengelolaan rumah ibadah di lingkungan K/L.
d. Pemanfaatan perayaan keagamaan dan budaya di lingkungan K/L untuk memperkuat toleransi.
C. Pembentukan Gugus Tugas di Pusat
Perlu dibentuk Gugus Tugas atau semacam sekretariat bersama (Sekber) di tingkat Pusat pada jajaran eksekutif yang bertanggung jawab atas kebutuhan teknologi organisasi serta penelitian dan pengembangan Penguatan Moderasi Beragama. Dalam kaitan ini, Kemenag berperan sebagai leading sector. Sejumlah langkah yang dilakukan antara lain melakukan kajian praktik keberagamaan, kajian regulasi, kajian kurikulum pendidikan dan pengajaran. Selain itu, Sekber juga bertanggung jawab dalam proses koordinasi program Penguatan Moderasi Beragama pada K/L, serta peningkatan literasi dan disseminasi referensi.
D. Memperkuat Jaringan Kerja dengan Institusi Keagamaan
Lembaga sosial keagamaan atau organisasi ke- masyarakatan keagamaan adalah institusi vital yang merupakan penggerak utama kehidupan keagamaan. Merekalah subjek utama yang merancang, mengimplementasikan, dan mengendalikan beragam aktivitas keagamaan. Adanya jaringan kerjasama antarmereka dalam Gerakan Bersama Penguatan Moderasi Beragama adalah keniscayaan.
E. Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB)
Keberadaan FKUB bisa lebih didayagunakan sebagai institusi yang menanam dan menebarkan nilai-nilai moderasi beragama. Ia juga berfungsi sebagai lembaga yang membangun dan merawat ekosistem dan lingkungan strategis yang kondusif bagi penerapan nilai-nilai moderasi beragama. Dan tentu, melalui tokoh-tokoh dan para fungsionarisnya, FKUB diharapkan memerankan diri sebagai teladan dan panutan umat beragama.
F. Pemberdayaan Perguruan Tinggi Keagamaan (PTK)
Revitalisasi Tri Darma perguruan tinggi keagamaan dengan perspektif moderasi beragama. Setiap perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengendalian program pengajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat pada PTK, haruslah bertumpu dan berorientasi pada penguatan moderasi beragama.
4. UCAPAN TERIMA KASIH
Sebelum saya menyampaikan kesimpulan dari pidato ini, perkenankanlah saya untuk berterima kasih secara khusus kepada para sahabat, yang terasa begitu dekat, bergulat membersamai saya mengkonseptualisasikan Moderasi Beragama. Merekalah sesungguhnya yang paling layak mendapatkan tribute, menerima gelar kehormatan ini.
Dengan rendah hati, saya mohon nama-nama yang saya sebutkan berkenan berdiri: Sahabat Khoeron, Sahabat Hadi Rahman, Sahabat Ali Zawawi, Sahabat Helmi Hidayat, Sahabat Oman Fathurahman. Kesemua mereka adalah santri yang begitu peduli dan amat tinggi mencintai negeri, sehingga tak pernah bosan mengunyah-ngunyah Moderasi Beragama ini. Juga dua sahabat khusus saya, saudara Rosidin Karidi dan Yuli Rahmawati, yang selalu setia memfasilitasi dan menyediakan segala keperluan, sejak urusan dokumen dan data penting, hingga pasokan makanan dan kopi hangat saat perut genting.
Puluhan ruang kantor, ruang pertemuan, juga cafe dan resto tempat kami membahas Moderasi Beragama menjadi saksi. Tanpa kontribusi dan sumbangsih mereka, Moderasi Beragama hanyalah ide yang mengawang- awang, yang takkan pernah menjadi konsepsi yang terformulasi, yang bisa dipahami dan dimengerti segenap penduduk negeri.
Terima kasih kepada UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, khususnya Rektor Ibu Prof. Dr. Amany Lubis, Promotor Bapak Prof. Dr. Azyumardi Azra, serta Direktur Sekolah Pascasarjana dan jajarannya, yang telah memberikan kehormatan ini, justru di saat saya bukan siapa-siapa lagi. Terima kasih atas ketulusan dan apa adanya yang muncul dari hati.
Terima kasih tiada terhingga kepada para tokoh dan pemuka agama, para guru, orangtua, pembimbing, dan sahabat saya, yg telah memberikan ucapan selamat, apresiasi, testimoni, dan doa, yang kesemuanya itu amat membesarkan hati dan jiwa.
Dan akhirnya tentu, terima kasih tiada berbilang kepada istri dan anak-anak tersayang. Merekalah sejatinya subjek nan lapang membentang, pasangan dan buah hati yang terus melatih saya untuk selalu memoderasi cara pandang, perilaku, dan sikap saya agar senantiasa adil dan berimbang.
5. KESIMPULAN
Pada akhirnya, dalam kesimpulan ini saya ingin menyatakan bahwa:
1. Moderasi Beragama adalah proses dan ikhtiar yang tak berkesudahan dan berakhiran. Ia akan terus dinamis di tengah warga bangsa yang amat agamis. Moderasi Beragama haruslah dihayati dan diimplementasi sebagai Gerakan Bersama, bukan dipersepsi dan dimaknai sebatas program, kegiatan, apalagi proyek semata.
2. Sebagai Gerakan Bersama yang merupakan respon atas adanya paham dan amalan keagamaan yang berlebihan dan melampaui batas, segala hal ihwal Moderasi Beragama terkait perumusan konsepsi, pemaknaan substansi, penerapan strategi kebijakan dan implementasi, serta pola evaluasi, haruslah senantiasa terkontekstualisasi dengan lingkungan strategis dan ekosistem yang melingkupi.
3. Moderasi Beragama haruslah dimaknai juga sebagai The Living Grand Conception yang terus terpelihara. Ia merupakan strategi kebudayaan bagi negara berketuhanan yang masyarakatnya sangat agamis seperti Indonesia.
4. Moderasi Beragama bukan konsepsi mati yang kaku tanpa nyawa. Ia adalah jiwa yang menghidupkan raga, yang harus tetap dan terus hidup mengada, berkembang menyesuaikan konteks dan zamannya. Karenanya, Moderasi Beragama membutuhkan dialog dan keteladanan. Ia membutuhkan para aktor yang meneduhkan dan mendamaikan. Ia membutuhkan sosok yang mengintegrasikan, dan bukan mensegregasikan. Figur yang inklusif, bukan eksklusif, yang pendekatannya kooperatif bukan konfrontatif. Tokoh yang bisa menjadi contoh. Akademisi yang meluruskan deviasi dan distorsi. Agamawan dan budayawan yang menjadi teladan dan panutan.
5. Moderasi Beragama membutuhkan semua kita, yang senantiasa memahami dan mengamalkan agama, dengan ilmu secara adil dan berimbang menggunakan jiwa, logika, dan rasa. Kita yang beragama tak hanya untuk diri semata, tapi juga untuk menjaga segenap warga dan seluruh tumpah darah Indonesia. Serta kita yang memelihara persaudaraan antarbangsa segenap anak manusia, sepenuh cinta.
Demikianlah, Pidato ini saya akhiri.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.