2. SOLUSI YANG DITAWARKAN

A. Membangun Gerakan Bersama
Menghadapi beragam tantangan yang muncul dalam kehidupan keagamaan kita, perlu dibangun kesadaran bersama, bagaimana agar cara kita beragama, cara memahami dan mengamalkan ajaran agama itu tidak sampai terjerumus dan terperosok pada bentuk-bentuk pemahaman dan pengamalan keagamaan yang berlebih- lebihan dan melampaui batas.

Upaya membangun kesadaran tersebut haruslah dilakukan secara terencana, terpola, sistematis, dan serentak bersama. Ia tak sekadar merupakan program, kegiatan, apalagi proyek semata. Ikhtiar bersama itu haruslah merupakan gerakan besar yang dilakukan semua komponen dan elemen bangsa, melibatkan semua kementerian, lembaga, dan instansi pemerintahan, menggerakkan seluruh institusi keagamaan, serta mengajak partisipasi segenap warga bangsa. Gerakan Bersama itu adalah Penguatan Moderasi Beragama.

B. Moderasi Beragama
Kata ‘moderasi’ oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) didefinisikan sebagai pengurangan kekerasan atau penghindaran keekstreman. Secara bahasa kata tersebut berasal dari bahasa Latin ‘moderatio’, yang berarti ‘kesedangan’, dalam artian tak kelebihan dan tak kekurangan, serta seimbang. Dalam bahasa Arab, padanan kata tersebut adalah ‘wasath’ yang berarti ‘tengah-tengah’.

Kata ini mengandung makna adil, yaitu tak berat sebelah, tak sewenang-wenang, proporsional, dan berpihak pada kebenaran. Selain itu, kata ini juga mengandung makna berimbang, yaitu berada pada posisi di tengah di antara dua kutub ekstrem.

Selanjutnya, Moderasi Beragama dapat dirumuskan sebagai upaya membentuk cara pandang, sikap, dan praktik beragama dalam kehidupan bersama, dengan cara mengejawantahkan esensi ajaran agama – yang melindungi martabat kemanusiaan dan membangun kemaslahatan umum – berlandaskan prinsip adil, berimbang, dan menaati konstitusi sebagai kesepakatan berbangsa.

Pada rumusan definisi seperti itu, setidaknya ada empat hal yang perlu digaris-bawahi untuk menjadi cermatan kita bersama, yaitu:
Pertama, moderasi beragama adalah usaha membentuk dan membangun cara pandang, sikap, dan praktik beragama segenap umat beragama. Ia adalah proses, bukan hasil, karenanya ia merupakan upaya atau ikhtiar yang terus-menerus tak berkesudahan. “Agama” satu hal, dan “beragama” adalah hal lain. Ajaran agama pasti benarnya dan sempurna, karena ia adalah ajaran dari Yang Maha Benar dan Yang Maha Sempurna. Namun bagaimana manusia memahami dan kemudian mengamalkan ajaran agama dari-Nya itu? Apakah sesuai sebagaimana yang dikehendaki-Nya itu? Di sinilah cara kita beragama, cara pandang, sikap, dan praktik beragama setiap penganut agama diupayakan sedemikian rupa agar tak berlebihan dan tak melampaui batas dari kehendak-Nya.

Kedua, moderasi beragama fokus pada anak kalimat “dalam kehidupan bersama”. Hal utama yang diperhatikan dalam upaya membentuk dan membangun cara pandang, sikap, dan praktik beragama para penganut agama itu adalah dampak sosial yang timbul dari paham dan praktik keberagamaan mereka di ruang publik. Moderasi beragama tidak mengurusi kehidupan beragama seseorang beserta dampak yang ditimbulkannya secara personal di ruang privat. Moderasi beragama — sebagaimana salah satu inti pokok ajaran agama adalah membangun kemaslahatan bersama — mengarah pada wilayah eksternal seseorang sebagai dampak sosial yang ditimbulkan dari proses beragamanya. Karenanya, moderasi beragama sama sekali tidak mengusik sedikitpun wilayah internal (forum internum) seseorang dalam beragama. Perkara keimanan (akidah), tata cara ritual peribadatan yang telah memiliki pola bakunya, dan hal-hal keagamaan yang bersifat personal dan privat seseorang dengan Tuhannya atau dengan sesamanya bukanlah menjadi perhatian utama moderasi beragama.

Ketiga, “mengejawantahkan esensi ajaran agama” adalah poin penting ketiga dari rumusan pengertian tentang moderasi beragama. Secara sederhana dan mudahnya, keseluruhan ajaran agama itu bisa dipilah ke dalam dua macam, yaitu: ajaran yang nilainya bersifat universal (inti, pokok, esensial), dan ajaran yang nilainya bersifat partikular (unik, spesifik, cabang). Moderasi beragama ingin lebih mengedepankan perhatian pada perwujudan pemahaman dan pengamalan ajaran agama yang bersifat pokok, esensial, dan universal. Misalnya: pelindungan martabat kemanusiaan, penegakan keadilan, pemenuhan hak-hak dasar manusia, persamaan di depan hukum, membangun kemaslahatan bersama, menjaga komitmen bersama, dan lain-lain. Dimaksudkan bahwa dalam pengejawantahan ajaran agama yang bersifat pokok dan universal di ruang publik itu, hendaknya cara pandang, sikap, dan praktik beragama kita tidak berlebihan dan melampaui batas. Secara khusus, “melindungi martabat kemanusiaan dan membangun kemaslahatan umum” dinyatakan secara eksplisit agar lebih mendapat perhatian khusus, karena itulah dua di antara beragam inti pokok ajaran agama yang belakangan ini mengalami pengingkaran luar biasa, justru dari kalangan umat beragama sendiri dan atas nama agama. Keempat; poin penting selanjutnya adalah “prinsip adil, berimbang, dan menaati konstitusi sebagai kese- pakatan bersama”. Pengertian dan maksud dari kata “adil dan berimbang” adalah dalam konteks menyikapi adanya dua kutub ekstrem yang saling berseberangan, yang melahirkan paham dan amalan yang berlebihan dan melampaui batas. Jadi, bukan di tengah-tengah di antara haq dan bathil, benar dan salah, atau baik dan buruk.

Lantas, apa urgensi dan relevansi “menaati konstitusi sebagai kesepakatan bersama”? Sebagaimana dimaklumi, dalam negara berketuhanan yang masyarakatnya agamis seperti negara dan bangsa Indonesia, ajaran dan nilai agama tak bisa dipisahkan dari kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kesepakatan bersama berupa Pancasila dan UUD 1945 sebagai konstitusi yang sub- stansinya merupakan pengejawantahan dari nilai ajaran agama adalah konsensus nasional. Kesepakatan bersama itu merupakan hasil titik temu dari beragam aspirasi yang muncul, yang lahir dari kearifan para pendahulu pendiri bangsa dalam menyikapi realitas kemajemukan bangsa. Kesepakatan bersama itu tak hanya berfungsi sebagai pengikat yang merajut, merangkai, dan menjalin tenun kebangsaan kita yang berwarna-warni, tapi juga sekaligus penguat identitas bangsa yang religius ini. Berindonesia yang senantiasa menjaga nilai dan norma agama, dan beragama yang menjunjung tinggi konsensus kebangsaan, adalah satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan. Sebab itulah, menaati konstitusi menjadi hal penting dalam moderasi beragama.

C. Kesalahpahaman Terhadap Moderasi Beragama
Dengan lebih memahami empat kata kunci pada rumusan definisi di atas, sejumlah anggapan dan tuduhan yang tidak benar yang dialamatkan kepada moderasi beragama itu akan sirna dengan sendirinya.

1. Agenda dan Pesanan Asing?
Memahami dan mengamalkan ajaran agama secara moderat dalam artian tidak berlebih-lebihan dan tidak melampaui batas adalah perintah agama itu sendiri. Mengapa agama memerintahkan demikian? Karena manusia dengan segala kelemahannya, yaitu: keterbatasan perspektif (sudut pandang) dan wawasan ilmu pengetahuan yang ada padanya dalam membaca dan menerjemahkan ayat-ayat suci Tuhan, menyebabkan manusia berpotensi berada pada posisinya yang kelewat di pinggir dan menjadi mudah tergelincir dalam menyikapi teks suci yang menjadi rujukan utama dalam beragama.

Adanya kemungkinan berlebih-lebihan dan melampaui batas, sehingga berada di posisi ekstrem dalam menerjemahkan firman-suci milik-Nya -- sebagai konsekuensi dari kelemahan dan keterbatasan manusia -- itulah yang meniscayakan perlunya moderasi dalam beragama. Karenanya, moderasi beragama merupakan kebutuhan nyata yang muncul pada diri umat beragama itu sendiri, dan sama sekali bukan pesanan atau agenda pihak asing.

2. Mengakibatkan Umat Beragama tak Mengakar dan tak Fanatik dengan Agamanya Sendiri?
Tuduhan seperti itu boleh jadi disebabkan oleh adanya penggunaan istilah ‘radikal’ dan ‘fanatik’ yang salah kaprah. Hal yang sama juga terjadi pada istilah ‘konservatif’, dan ‘fundamental’. Kata ‘radikal’ menurut arti kata bahasa Indonesia adalah mendasar dan berakar. Arti kata ini menjadi amat penting dalam konteks beragama, karena beragama memang harus mengakar dan mendasar. Beragama tentu tak boleh dan tak cukup hanya secara ringan-ringan atau enteng-entengan saja di permukaan. Namun entah kapan mulainya, kata “radikal” menjadi berkonotasi negatif dalam konteks beragama. “Jangan beragama secara radikal,” demikian sering kita dengar seruan dari tokoh agama dan pemuka masyarakat. Mungkin dari situ mulanya “deradikalisasi” dicurigai oleh sebagian kalangan umat beragama sebagai proses memperlemah keimanan dan semangat beragama. Imbasnya terkena pada moderasi beragama. Sebab, kata “radikal” itu lalu diidentikkan dengan praktik beragama yang mentolerir tindak kekerasan, yang memang sesuatu yang harus dihindari dalam moderasi beragama. Sungguh kesalahkaprahan yang serius, yang juga terjadi pada kata “fanatik”, “fundamental”, dan “konservatif”. Kata-kata yang hakikatnya memiliki arti bahasa yang positif dalam konteks beragama, lalu mengalami reduksi makna dan bahkan pemutarbalikan makna.

Itulah mengapa sejak awal, dalam konsepsi moderasi beragama tidak digunakan ke-empat istilah yang telah mengalami kesalahkaprahan makna. Karena sesungguhnya yang harus dihindari bukanlah radikal-nya, fanatik-nya, fundamental-nya, atau konservatif-nya, melainkan adanya ekses negatif yang ditimbulkan dari istilah itu. Dari sisi etimologis, makna harfiah istilah-istilah itu dianggap positif dalam konsepsi moderasi beragama. Tidaklah mengapa dan bahkan malah haruslah seseorang beragama secara mendasar, mengakar mendalam, meyakini kepercayaannya dengan kuat, dan berupaya menjaga kemurnian ajaran agama. Hanya, yang harus dicegah dan dihindari adalah ekses negatif ikutannya, yaitu memutlakkan kebenaran hanya pada dirinya saja yang paling benar, lalu menjadi mudah menyalah-nyalahkan pihak lain yang berbeda dengannya, seraya memaksakan kehendak dengan menggunakan cara-cara kekerasan.

Dalam konsepsi moderasi beragama, istilah yang digunakan untuk dihindari dan dicegah dalam cara pandang, sikap, dan praktik beragama adalah “berlebihan”, “melampaui batas”, dan “ekstrem”. Penggunaan kata dan istilah ini bukan hanya semata karena itulah bahasa agama, melainkan juga demi menghindari diri dari perdebatan yang tak berkesudahan tentang istilah-istilah yang telah mengalami kesalahkaprahan makna itu.

3. Moderasi Beragama Identik dengan Liberalisme dan Sekularisme?
Selanjutnya terkait dengan tuduhan bahwa pada diri moderasi beragama terkandung agenda- agenda asing berupa liberalisasi beragama dan sekularisme yang sengaja dimasukkan ke dalam negeri. Ini tentu tuduhan yang jauh panggang dari api. Kenyataannya malah sebaliknya. Moderasi beragama justru hadir sebagai imunitas bagi setiap warga bangsa Indonesia yang hakikatnya umat beragama dari serbuan paham dan praktik ideologi asing, baik yang datang dari Barat berupa liberalisme dan sekularisme, maupun yang dari Timur berupa transnasionalisme. Moderasi beragama adalah agenda internal bangsa Indonesia karena beragama secara moderat merupakan kebutuhan nyata bangsa agamis itu sendiri.

Konsepsi moderasi beragama ini bergulir, tanpa sedikit pun intervensi pihak asing. Posisi moderasi beragama terhadap sekularisme juga sudah jelas dalam pembahasan tentang hubungan negara dan agama dalam konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jadi, alih-alih mengusung agenda asing, praktik moderasi beragama di Indonesia justru dapat dijadikan contoh atau model oleh negara-negara lain dalam merawat keberagaman dan mewujudkan perdamaian dunia.

4. Moderasi Beragama Mendukung LGBT?
Moderasi beragama sama sekali tidak meming- girkan atau mengabaikan ajaran agama. Semua agama memiliki penilaian sama terhadap perilaku LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) yang menyimpang. Agama apa pun menolak perilaku menyimpang tersebut. Secara tegas moderasi beragama juga menolak tindakan, perilaku, maupun kampanye LGBT.

Namun, justru karena kesadaran akan penolakan itulah umat beragama dituntut untuk mengupayakan agar perilaku LGBT tidak meluas di masyarakat. Caranya adalah dengan menyikapinya secara bijak, sesuai dengan pendekatan kebajikan agama, yakni memberikan pendampingan, bimbingan, pengayoman, dan pembinaan secara empatik kepada mereka yang memiliki orientasi seksual sejenis dan biseksual, serta yang transgender, agar tidak lagi melakukan apalagi menyebarluaskan LGBT.

Empatik ditekankan di sini supaya kita tetap dapat memanusiakan manusia, sebagaimana pesan utama ajaran agama. Mereka yang LGBT itu adalah mahluk Tuhan yang juga punya hak asasi sebagaimana manusia lainnya. Hak-hak dasar kemanusiaan mereka tidak boleh dilanggar. Dengan demikian, penistaan, pengucilan, apalagi penghilangan eksistensi kemanusiaan mereka harus dihindari. Agama hadir justru untuk mengajak kepada kebajikan. Bila di mata ajaran agama suatu tindakan itu dinilai menyimpang, agama (melalui tokoh-tokohnya, pengusungnya, penganutnya) justru berkewajiban mengulurkan tangan kepada mereka yang dinilai menyimpang itu, membantu mendampingi dan membimbing mereka agar tak lagi melakukan perbuatan yang dilarang agama.

Banyak faktor yang mempengaruhi mereka sampai melakukan perbuatan terlarang dalam pandangan agama apa pun itu. Dengan mengenali faktor- faktor itu, kita dapat melakukan penanggulangan secara lebih sistematik terhadap perilaku yang menyimpang tersebut. Pendekatan ini artinya memberikan kesempatan kepada mereka untuk kembali ke jalan yang benar sebagaimana fitrahnya sebagai manusia.

Inilah sikap moderat yang dapat dijadikan pegangan. Hak dasar kemanusiaan kaum LGBT tidak boleh dilanggar, tapi perilaku LGBT yang dilarang agama itu juga tidak boleh dilakukan, dikampanyekan, dan disebarluaskan di tengah masyarakat. Sayangnya, banyak kalangan yang sulit membedakan ranah boleh dan tidak boleh ini, sehingga setiap upaya melindungi hak-hak dasar kemanusiaan kaum LGBT --yang hakikatnya juga merupakan inti pokok ajaran agama -- disamaratakan dengan dukungan terhadap kaum LGBT.