DEPOK – Sebuah kehormatan tersendiri dalam acara Haflatut Takharruj atau Wisuda ke-32 Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah (MA) Pesantren Al-Hamidiyah Depok, Dr. HC. Lukman Hakim Saifudin berkenan hadir dan menyampaikan sambutannya (Kamis, 30/06/22). 

“Selaku mustasyar atau penasihat Yayasan Islam Al-Hamidiyah, saya ingin menyampaikan terima kasih yang tiada terhingga khususnya kepada para guru-guru, para pendidik, para pembina, dan seluruh jajaran di madrasah dan pesantren yang telah berdedikasi, memberikan yang terbaik bagi anak-anak kita sehingga mampu mengantarkan pada jenjang tahapan tertentu pada jenjang pendidikan baik di Mts maupun MA,” tuturnya.

Beliau juga bersyukur dan bahagia kepada walisantri yang telah bekerja sama dan bersinergi selama ini dengan Al-Hamidiyah.

“Tentu saya menyampaikan selamat kepada para santri putra dan putri, anak-anakku sekalian, oleh karenanya menyertai rasa syukur ini saya ingin sedikit menitipkan pesan terkait dengan hari-hari ke depan yang kalian akan hadapi. Kita akan semakin menghadapi ujian. Karena hakikatnya, hidup ini adalah ujian. Dan ujian bukan sesuatu yang harus dihindari atau ditakuti. Ujian adalah cara Allah swt. untuk menaikkan kelas kita,” ucap Menteri Agama RI periode 2014-2019 tersebut.

Setiap kita yang hidup, lanjutnya, tentu akan terus meningkat dalam kualitas keimanan, kualitas kehidupan, kualitas kompetensi, kualitas prestasi, dan seterusnya. Karena hidup itu akan terus berkembang.

“Nah, untuk bisa berkembang, orang itu harus diuji, karena tidak ada orang yang naik kelas tanpa ujian. Jadi, ujian itu sebenarnya adalah kebutuhan kita. Kita perlu diuji supaya kita bisa naik kelas. Oleh karenanya kepada anak-anakku sekalian para santri kita setelah menyelesaikan Tsanawiyah dan Aliyah kita akan menghadapi beragam ujian. Maka, Bagaimana cara kita menyikapi itu semua menghadapi masalah-masalah yang tidak berkeputusan ada di depan kita,” tegasnya.

Dalam sambutan ini, Pak Lukman menyampaikan sebuah kisah yang penuh dengan untaian hikmah. Alkisah, ada seorang pemuda datang ke seorang guru lalu kemudian curhat. Dia berkeluh kesah karena begitu banyak masalah yang dihadapinya. Bahkan sebegitu besar masalah yang dihadapinya sampai-sampai pemuda ini ingin mengakhiri hidupnya. Ia merasa sudah tidak tidak mampu lagi menjalani hidup.

Kemudian si pemuda minta kepada gurunya untuk bisa memberikan jalan keluar atas apa sebaiknya harus dilakukan. Sang guru lalu membawa dua genggam garam dan segelas air putih. Lalu mengajak remaja itu untuk datang ke tepi telaga atau danau yang airnya sangat jernih. Kemudian sang guru itu meminta kepada remaja itu untuk memasukkan segenggam garam ke dalam air yang ada dalam gelas dan meminta untuk menganduknya dan meminumnya.

Maka beberapa saat setelah remaja itu meminum air yang ada di gelas yang sudah ditaburi segenggam garam, seketika itu juga ia memuntahkan air garam itu karena rasanya sangat tidak mengenakkan. Nah, kemudian guru itu meminta garam segenggam kedua untuk ditaburkan ke tengah-tengah telaga atau danau, lalu meminta remaja itu untuk meminum air tersebut.

Maka setelah pemuda itu meminum air telaga, ia mengatakan, “Betapa segarnya air ini. Air ini telah berhasil menghilangkan rasa yang sangat tidak enak yang tadi datang dari segelas air yang ada di gelas yang bercampur dengan segenggam garam. Tapi lalu kemudian rasa itu menjadi hilang dengan segarnya air danau.”

Guru itu kemudian mengatakan, “Ibarat garang itu adalah masalahmu, maka air itu adalah pikiran dan hatimu. Maka hendaknya kamu jadikanlah pikiran dan hatimu seluas selapang air yang ada dalam telaga atau danau. Jangan persempit pikiran dan hati kita seperti air yang ada dalam gelas”.

“Jadi poin kisah yang ingin saya sampaikan dalam kisah ini adalah,” ungkap putra bungsu almarhum Prof. K.H. Saifuddin Zuhri ini, “Bahwa menghadapi beragam masalah atau ujian-ujian yang kita hadapi itu berpulang pada pikiran dan hati kita. Kalau kita mampu memperluas pikiran kita dan hati kita maka apa pun masalah yang kita hadapi itu seperti telaga yang mampu menyerap garam sebanyak apa pun untuk lalu kemudian mampu menjaga kesegaran dari air yang ada dalam telaga itu”.

“Tentu di usia para santri santriwati masalah itu umumnya masalah-masalah pendidikan, nanti akan banyak masalah-masalah yang datang dari mata pelajaran juga yang akan kuliah di perguruan tinggi. Maka masalah-masalah yang terkait dengan pelajaran, dengan mata kuliah, itu tidak lain adalah bagaimana mengembangkan pikiran dan hati kita dengan cara belajar, belajar, dan belajar,” imbuhnya.

Pak Lukman menekankan bahwa mengembangkan pikiran dan hati sangat penting. Mengambangkannya di di luar masalah kita dengan, misalnya, saudara kita sendiri, orang tua, sesama teman, tetangga, lingkungan pergaulan, atau dengan siapa pun.

“Cara kita memperluas pikiran dan hati kita adalah senantiasa berbaik sangka, husnudzan. Itulah ajaran Islam. Jika kita membangun relasi sosial kita dengan cara lebih mengedepankan baik sangka, positive thinking, maka masalah sebesar apa pun, ujian-ujian sebesar apa pun itu akan bisa kita jalani dengan baik,” tutur lulusan Universitas Islam As-Syafiiyah, Jakarta, tersebut.

Bahkan, andaipun gagal sekalipun dengan husnudzan atau positive thinking kegagalan itu justru akan mendatangkan hikmah yang luar biasa, karena selalu bisa didapat sisi-sisi positif dari sebuah kegagalan.

“Sekali lagi selamat mudah-mudahan anak-anakku sekalian senantiasa diberkahi oleh Allah swt. dan terus mendapatkan kekuatan dan kemampuan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi,” pungkasnya.

Foto: Isra & Hana
Pewarta: Atunk