VISI.NEWS | SOLO – Mantan Menteri Agama Kabinet Indonesia Kerja periode 2014-2019, Lukman Hakim Saifuddin, menyatakan, nilai-nilai agama telah menyatu dalam diri bangsa Indonesia. Sehingga tidak ada urusan apa pun di bangsa Indonesia yang tidak terkait dengan keberagamaan, termasuk dalam kebudayaan dan kesenian.
“Nilai agama tidak hanya menjadi landasan titik pijak bangsa Indonesia, tetapi agama merupakan orientasi ke mana arah bangsa tertuju. Agama begitu vital keterkaitannya dengan kebangsaan, kebudayaan, berkesenian, dan sebagainya,” ujarnya, ketika berbicara sebagai keynote speaker Seminar Nasional “Isu Kebangsaan dan Moderasi Keberagamaan” di Institut Seni Indonesia,(ISI) Surakarta, Rabu (7/12/2022).
Lukman Hakim mengingatkan, keragaman dan heterogenitas bangsa Indonesia, termasuk religiusitas dan spritualitas dalam keberagamaan, sangat khas dan tidak tertandingi di dunia.
Realitas religiusitas bangsa Indonesia yang beragam dan majemuk itu, menghadapi tantangan besar di semua sektor kehidupan, yaitu berupa pemahaman ajaran agama yang dianut warga bangsa.
“Agama yang berasal dari yang Maha Benar, menghadapi persoalan serius dalam mengamalkannya. Di bangsa Indonesia yang beragam dan berbeda-beda cara pandangnya, paradigmanya, ekosistem lingkungan strategisnya dan sebagainya, yang tak terhindarkan adalah sebagian warga bangsa ada yang bisa melahirkan paham keagamaan secara berlebihan dan melampaui batas atau sering disebut ekstrem,” jelasnya.
Dalam kaitan itu, menurut mantan Menteri Agama yang gencar menyuarakan moderasi keberagamaan, yang dimoderasi bukan agamanya tetapi dalam praktik beragama yang berlebihan melampaui batas tersebut.
Dia menegaskan, melalui moderasi keberagamaan yang tidak ekstrem menjadikan agama sesuai kebutuhan manusia.
Menyinggung cara memoderasi keberagamaan, sambung Lukman Hakim, yang diperlukan adalah cara pandang dan praktik beragama agar tidak melampaui batas.
“Cara memoderasi amalan-amalan agama, yang harus disadari umat beragama adalah bagaimana agar mampu memilah ajaran agama. Karena, di setiap agama ada ajaran yang masuk wilayah inti pokok yang universal. Inti pokok itu yang diakui kebenarannya di seluruh dunia,” ujarnya lagi.
Inti pokok ajaran agama yang universal tersebut, contohnya melindungi harkat dan martabat manusia, membangun kerukunan, mewujudkan kedamaian, hormat kepada orang tua, saling menolong, jangan mencuri dan sebagainya, katanya, orang yang tidak beragama pun akan diakui kebenarannya.
Karena pesan setiap agama adalah memanusiakan manusia yang diyakini semua umat manusia di dunia.
Di samping inti pokok ajaran agama, lanjutnya, dalam keberagamaan ada ajaran yang partikular dan bukan inti keberagamaan.
Pemahaman ajaran yang partikular itu, tidak hanya terjadi pada umat yang berbeda agama tetapi umat agama yang sama pemahamannya bisa berbeda-beda.
“Contohnya, di umat Islam pemahaman salat subuh dengan qunut atau tidak bisa berbeda-beda. Di umat Kristen soal liturgi dan sebagainya, atau di umat Budha dan Hindu di pura pakai dupa atau tidak, pemahamannya juga berbeda-beda. Padahal itu semua pemahaman agama bukan yang inti tetapi yang partikular,” tandas Lukman Hakim.
Dia menegaskan, moderasi beragama lebih fokus pada ajaran inti pokok yang universal yang tidak boleh disimpangkan atas alasan apa pun.
Lukman berpendapat, berkesenian pada hakikatnya merupakan amalan beragama. Seni dan budaya aktualisasinya adalah ajaran agama dan wadah aktualisasi amalan ajaran agama adalah budaya itu sendiri.
“Kesenian, hakikatnya sebagai ekspresi rasa keindahan dan kecintaan terhadap semua hal melalui karya seni. Itu merupakan bagian dari budaya dan lingkungan strategis karena hakikatnya adalah amalan keberagamaan,” jelasnya lagi.
Dalam konteks penyusunan peta jalan kesenian sebagai amalan keberagamaan, Lukman Hakim menyarankan, kalangan perguruan tinggi seni agar mengidentifikasi kutub-kutub ekstrem pemahaman dan amalan keberagamaan yang berlebihan tanpa batas. Setelah teridentifikasi, dia minta konsep strategis yang solutif untuk moderasi keberagamaan dan menyikapi paham ekstrem yang berlebihan.
Sementara itu, Prof. Muhammad Adlin Sila, staf ahli bidang kelembagaan dan masyarakat, Kemendikbud Ristek, salah seorang di antara pembicara, mengungkapkan, moderasi keberagamaan pada dasarnya adalah bebas dari ekstremisme beragama.
Dalam menghadapi tahun politik mendatang, dia menengarai ada upaya melemahkan penguatan moderasi beragama.
“Tetapi kegiatan moderasi beragama sudah masuk RPJMN. Sehingga, moderasi menjadi kegiatan untuk mengajak dan membawa yang ekstrem tersebut supaya tidak berlebihan,” katanya.
Prof. Adlin juga mengingatkan, seni budaya jangan hanya sebagai hiburan, tetapi menjadi upaya moderasi keberagamaan. Kita sulit memisahkan agama dengan kebudayaan, karena keduanya inheren, sebagaimana budaya Bali dengan agama Hindu, atau budaya Minang dengan agama Islam. @tok