
- Written by: Redaktur
jurnalparlemen.com - detikNews - Wakil Ketua MPR Lukman Hakim Saifuddin menyatakan sosiaslisi empat Pilar Kehidupan Berbangsa (Pancasila, UUD 45, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI) tak cukup dilakukan oleh anggota DPR dan DPD RI. Atau, bahkan hanya kegiatan yang sifatnya sporadis dan seremonial. Tetapi perlu lembaga khusus.
"Saya pikir kenapa tidak seperti Badan Pembina Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7) di masa Orde Baru. Tak cukup hanya dilakukan oleh anggota DPR saat reses. Sosialisasi harus dilakukan secara masif," kata Lukman kepada Jurnalparlemen.com, Kamis (24/11).
Kekhawatiran lembaga BP7 akan kembali seperti di era Orba, Lukman menyatakan prasangka itu tidak cukup alasan. Lembaga tersebut harus dimodifikasi tidak lagi top down.
"Paling tidak harus melalui pendekatan partisipatif, dialogis, dan terbuka. Artinya, menerima dan terbuka atas setiap pandangan dalam kehidupan di masyarakat," ujar politisi senior PPP ini.
Pernyataan Lukman ini mengulang keinginannya pada saat Hari Konstitusi, beberapa waktu lalu karena gusar dengan sosialisasi yang sifatnya parsial. Sementara, krisis kebangsaan tengah terjadi.
"Kalau ada lembaga khusus dan dana yang cukup sosialisasi akan terencana dan berkesinambungan. Sosialisasi ini never ending," ujarnya.

- Written by: Redaktur
Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat, Lukman Hakim Saifuddin merasa 'tertampar' oleh pernyataan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Busyro Muqoddas yang mengkritik politisi.
"Terus terang, saya pribadi merasa 'tertampar' dengan pernyataan Busyro.
Saya wajib mawas diri karena belum hidup sederhana seperti yang diharapkannya," kata Lukman kepada Tempo di Jakarta, Selasa, 15 November 2011.
Lukman mengakui jika kritikan dari orang nomor satu di KPK itu mengundang pro kontra dari para politisi. Tak sedikit politisi yang merasa tersinggung dengan pernyataan Busyro tersebut. Namun, lanjut Lukman, sebagai penyelenggara negara, pejabat publik seharusnya bisa berjiwa besar dan menerima kritikan setajam apapun.
"Harusnya pejabat publik mampu memilah mana yang esensial dan yang merupakan bahasa ungkapan, "katanya.
Kamis lalu, dalam pidato nya di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Busyro mengungkapkan bahwa terdapat politikus yang dasamuka alias gampang mengubah sifat. Bahkan dia menganggap pola hidup mereka pragmatis dan hedonis.
Pernyatan Busyro tersebut mengundang reaksi para politisi. Dewan Perwakilan Rakyat meminta Busyro untuk lebih fokus mengurusi KPK dibanding mengkritik perilaku wakil rakyat.
Menurut Lukman, Busyro hanya menginginkan pejabat publik memiliki kepekaan sosial terhadap kondisi lingkungannya. Dia meminta agar politisi memahami ensensi kritikan tersebut.
"Jangan malah dipolitisasi dengan menebak-nebak motif di balik pernyataan Busyro,"ujarnya.
Ia pun merasa sedih dengan munculnya respons negatif pejabat terhadap pernyataan Buysro. Ia mencontohkan adanya pejabat yang tak ingin diuksik gaya hidup pribadinya.
"Bukankah ruang privasi pejabat publik kian sempit, karena publik berhak mengawasi semua tindaktanduknya?,"katanya. TRI SUHARMAN/TEMPO.CO

- Written by: Redaktur
VIVAnews - Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat gencar menyosialisasikan empat pilar bangsa: Pancasila, NKRI, Bhinneka Tunggal Ika dan UUD 45 ke seluruh lapisan masyarakat. Sejumlah penyuluhan digelar ke daerah-daerah, termasuk ke Bangka Belitung. Namun, menurut Wakil Ketua MPR Lukman Hakim Saifuddin, kenyataannya justru elite penyelenggara negara kerap terang-terangan mempertontonkan pelanggaran terhadap nilai-nilai itu. Korupsi, kolusi dan nepotisme masih saja terjadi.
"Memang sosialisasi empat pilar tujuannya juga ke elite-elite," kata Lukman di sela kunjungan kerja ke Bangka Belitung, Sabtu 12 November 2011.
Saat sosialisasi di Bangka Belitung, Lukman menemukan sendiri fenomena ketidakpedulian itu. Sosialisasi hari pertama dirancang untuk unsur musyawarah pimpinan daerah yakni Bupati, kejaksaan, kepolisian serta jajarannya. Sosialisasi kari kedua untuk para guru pengampu pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan.
"Yang selalu hidup itu hari kedua karena guru-guru, dia punya kepedulian. Tapi yang hari pertama enggak penuh yang datang, banyak yang diwakilkan. Tampaknya, elite kita tak cukup punya concern," kata Lukman.
Menurut Lukman, tugas MPR menyosialisasikan itu tidak lengkap. Sebab, tidak ada kewenangan memaksa. "Itu kenapa perlu ada Badan Khusus agar libatkan kalangan intinya elite bagaimana kebijakan penyelenggara negara tak bertentangan dengan empat pilar. Hambatan MPR tak punya alat 'memaksa' lembaga ikut proses sosialisasi ini," katanya.
Lukman mengungkapkan wacana pembentukan Badan Khusus itu sudah disampaikan pada Presiden. Menurut dia, setelah Badan Pembina Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila dihapuskan tak ada lembaga satupun yang melakukan kerja seperti itu. Kini, pembentukannya sedang dimatangkan.
"Kami sudah bertemu dengan presiden dan semua setuju perlunya badan khusus ini tak hanya sebagai pelaksana sosialisasi tapi juga pengkajian. Pancasila tak mungkin diajar kepada anak dengan metode seperti dulu, karena zaman berubah. Bagaimana mentranformasikan Pancasila ke dalam bahasa gaul misalnya. Pada pikiran kami harus ada badan khusus bagaimana empat pilar berada dalam ingatan segar. Jadi itu background perlunya ada badan khusus," kata Lukman.