Kita perlu mendiskusikan kembali secara mendalam apa yang dimaksud dengan nilai-nilai Pancasila itu? Nilai apakah yang terkandung dalam sila-sila dalam Pancasila? Dengan memahami nilai-nilai Pancasila, kita dapat melakukan revitalisasi terhadap nilai-nilai Pancasila secara tepat, benar,  dan sesuai dengan konteks ruang dan waktu.

Untuk memahami nilai-nilai Pancasila yang otentik, kita perlu menoleh pada suasana kebatinan di saat sila-sila dalam Pancasila dirumuskan. Apalagi sejak Indonesia merdeka, di tengah-tengah pergolakan revolusi yang memaksa melakukan beberapa kali pergantian konstitusi hingga era reformasi yang melakukan perubahan konstitusi, sila-sila dalam

Pancasila tidak mengalami perubahan, sehingga pengertian yang otentik tentang Pancasila harus digali dari pemikiran pendiri bangsa yang merumuskan Pancasila. Selain itu, pemaknaan nilai-nilai Pancasila juga harus mempertimbangkan pula pandangan yang jauh ke depan agar sila-sila dalam Pancasila selalu sesuai dengan kebutuhan ruang dan waktu.

Reformasi: Revitalisasi Pancasila

Sila-sila dalam Pancasila yang paling otentik terdapat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945/Konstitusi).
Reformasi yang bermuara pada perubahan konstitusi adalah bentuk konkret langkah revitalisasi nilai-nilai Pancasila dalam bentuk penjabaran normatif dalam norma-norma konstitusi. Hal itu dilakukan sebagai jawaban atas fenomena merosotnya penghayatan dan pengamalan Pancasila yang ditandai maraknya berbagai konflik sosial, pelanggaran HAM, korupsi, kemiskinan dan lain sebagainya, yang ditengarai karena adanya kesenjangan sistem tata norma di satu sisi dan kenyataan sosial di sisi lainnya. Nilai-nilai dasar yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 itu betapapun pentingnya, karena sifatnya belum operasional memerlukan elaborasi atau penjabaran yang tepat dalam instrumen hukum yang lebih kongkret, yaitu UUD 1945 dan peraturan perundangan-undangan di bawahnya.

Agar perubahan UUD mempunyai arah, tujuan, dan batasan yang jelas, serta hasil yang memuaskan, MPR merumuskan kesepakatan dasar yang menjadi acuan dalam perubahan UUD. Kesepakatan dasar tersebut adalah:

a.    Tidak mengubah Pembukaan UUD 1945;
b.    Tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI);
c.    Mempertegas sistem pemerintahan presidensial;
d.    Penjelasan UUD 1945 ditiadakan serta hal-hal normatif dalam Penjelasan dimasukkan ke dalam pasal-pasal;
e.    Perubahan dilakukan dengan cara addendum .

Kesepakatan dasar untuk tidak mengubah Pembukaan UUD 1945 mempunyai makna sangat dalam. Dengan kesepakatan itu, berarti sila-sila dalam Pancasila tidak mengalami perubahan. Pancasila sebagai dasar dan falsafah bangsa dan negara juga dipertahankan. Dalam Pembukaan UUD 1945 itu dikatakan bahwa pengisian kemerdekaan, perjalanan roda pemerintahan, kehidupan kebangsaan dan kenegaraan, sebagaimana juga perumusan pasal-pasal UUD 1945, harus berdasarkan kepada lima sila dalam Pancasila yaitu, ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan permusyawaratan, serta keadilan sosial.
 
Isu lain terkait Pancasila di masa perubahan UUD 1945 adalah apakah Pancasila cukup dimuat dalam Pembukaan UUD 1945 saja atau dimuat di pasal-pasal/batang tubuh sebagai penegasan. Isu seputar ini berlangsung cukup alot, karena di Sidang Paripurna MPR pun tidak mendapatkan titik temu. Alasan fraksi yang mendukung bahwa Pancasila perlu dimasukkan ke dalam batang tubuh berpandangan bahwa ketika Pancasila disepakati sebagai dasar negara, maka ia perlu juga dipertegas dalam pasal-pasal/batang tubuh sehingga lebih implementatif. Namun, kalangan yang menolak usulan itu berpandangan bahwa sesuai dengan Pasal 37 UUD 1945, obyek perubahan itu adalah pasal-pasal atau batang tubuh UUD 1945. Dikhawatirkan, jika sila-sila dalam Pancasila dimuat dalam batang tubuh atau pasal-pasal, maka ia akan terkena perubahan. Padahal kita sepakat untuk tidak mengubah sama sekali kelima sila yang menjadi dasar Negara kita. Setelah melalui berbagai perdebatan dan lobi, akhirnya muncul kesepakatan bahwa Pancasila tetap ada di Pembukaan UUD 1945 saja dan tidak perlu disebutkan lagi secara utuh dalam batang tubuh.

Revitalisasi nilai-nilai Pancasila hasil perubahan konstitusi mencakup substansi dan area yang mendasar dan luas. Secara umum revitalisasi itu untuk mengembalikan pancasila kepada fungsinya sebagai dasar negara dan ideologi nasional, yaitu membangun kembali spirit nasionalisme, meneguhkan kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum, penghormatan HAM, menghapus otoritarianisme dan segala ketidakadilan warisan masa lalu. Revitalisasi juga dimaksudkan untuk menjaga integritas nasional dan menguatkan kemampuan bangsa dalam menjawab tantangan globalisasi.

Cakupan materi Perubahan UUD 1945 yang terpenting (Soewoto 2004: 40) meliputi: (1) mengurangi kekuasaan Presiden dengan cara mendistribusikan kekuasaan secara vertikal dan membagikan kekuasaan secara horizontal, (2) Mengubah kekuasaan yang sentralistik ke arah desentralistik dengan otonomi daerah, (3) Meningkatkan peran DPR melakukan pengawasan terhadap kekuasaan eksekutif, (4) Mengubah struktur keanggotaan MPR dan menggunakan sistem bicameral, (5) Mengembalikan hak atas kedaulatan rakyat dengan pemilu langsung, (6) Menjaga kekuasaan yang seimbang dengan menerapkan mekanisme “check and balance system”, (7) Menata kembali sistem peradilan dan pranata lunak untuk memulihkan kepercayaan terhadap penegak keadilan, (8) Konstitusi yang rinci memuat HAM, kewajiban penyelenggara negara dan pembatasan kekuasaan.

Nilai-nilai dalam Pancasila

Nilai-nilai Pancasila diakui memiliki keunggulan. Sejumlah ahli bahkan menyebutkan keunggulan Pancasila setara dengan ideologi-ideologi besar dunia, seperti Sosialisme, Marxisme dan lain-lain. Pancasila merupakan paduan unik antara moralitas agama dan naturalisme iptek, atau Barat yang sekuler dan Timur yang religius. Pancasila menyentuh dimensi lahir dan dimensi batin dari peradaban menusia. Artinya, manusia atau bangsa yang ingin maju dan kuat hendaknya memadukan nilai religius dengan iptek. Atau dengan kata lain, budaya dan peradaban akan berkembang menjadi unggul dan luhur bila didasarkan pada nilai-nilai moral agama dan ilmu pengetahuan/teknologi.

Nilai-niai dasar dalam Pancasila haruslah dipahami sebagai satu kesatuan, artinya makna dan fungsi fundamental dari masing-masing nilai tidak saling terpisah, sebaliknya saling mengutuhkan satu sama lain, meski masing-masing sudah punya keunggulannya tersendiri. Namun kalau tidak dilakukan hal yang demikian, kita khawatir pemahaman parsial yang mungkin muncul akan membawa alam pikiran kita pada sikap pemujaan atau penolakan yang berlebihan terhadap Pancasila.

Nilai dasar “Ketuhanan Yang Maha Esa”, bersama dengan nilai-nilai dasar yang lainnya membentuk satu kesatuan dasar Negara Republik Indonesia yang dikenal dengan Pancasila. Rumusan yang baik diberikan mengenai hal ini.   Bagi negara dan bangsa Indonesia, nilai “Ketuhanan Yang Maha Esa”  adalah sebagai landasan atau acuan spiritual dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Nilai “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab”, sebagai landasan moral dan etiknya. Sila “Persatuan Indonesia” sebagai acuan sosialnya, dan “Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikman Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan”, sebagai acuan politiknya, sementara “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”, sebagai tujuan bersama dalam bernegara  yang harus diwujudkan (Masdar Farid Mas'udi, 2010: 27).

1.  Ketuhanan Yang Maha Esa

Penggunaan istilah Ketuhanan dalam sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” mempunyai makna yang mendalam, kata itu mengedepankan substansi keberagamaan di atas egoisme agama atau egoisme kelompok-kelompok dalam agama.  Prinsip Ketuhanan ini mengharuskan masing-masing orang Indonesia bertuhan dengan Tuhannya sendiri, yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al-Masih, yang Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad SAW, dan seterusnya. Negara yang rakyatnya plural agamanya ini menjamin tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa.

Bunyi sila-sila Pancasila dalam Piagam Jakarta, 22 Juni 1945, sebagai cikal bakal dari Pembukaan UUD 1945 adalah: “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan; serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia” (RM. A.B. Kusuma,  2004:213-214). Dalam Sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) yang kedua, 10-17 Juli 1945, Piagam Jakarta itu diputuskan sebagai Rancangan Pembukaan UUD 1945.

Di sore hari 17 Agustus 1945, Mohammad Hatta yang baru saja memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, menerima keberatan atas pemuatan kalimat “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, karena Pembukaan UUD merupakan pokok dari tatanan kebangsaan, sehingga harus berlaku untuk seluruh masyarakat Indonesia dan tidak boleh ada rumusan yang hanya berlaku untuk kelompok tertentu. Pada pagi hari 18 Agustus 1945, sebelum sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), Hatta mengajak Ki Bagus Hadikusumo, KH. Wahid Hasyim, Mr. Kasman Singodimedjo, dan Mr. Teuku Mohammad Hasan untuk mengadakan rapat pendahuluan. Hanya dalam 15 menit urusan selesai. Mereka sepakat mengganti 7 kata itu dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa” sehingga sila-sila dalam Pancasila berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia,…” (Mohammad Hatta, Memoir, 1979:458-560).      Pada Jam 10.00 WIB, 18 Agustus 1945, rapat PPKI dimulai. Bung Karno membacakan Pembukaan UUD 1945 sesuai dengan rumusan yang telah disepakati Hatta dengan tokoh-tokoh Islam lainnya. Saat itulah, muncul usulan kata “menurut dasar” dalam kalimat “Ketuhanan Yang Maha Esa, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab…” dihilangkan. Yang mengusulkan tidak mengungkapkan alasan dan Bung Karno yang memimpin sidang juga menerima tanpa kaifiyah (bertanya-tanya) (RM. A.B. Kusuma, 2004:472-473).  

Patut diduga, usulan menghilangkan kata “menurut dasar” itu terjadi agar alinea keempat Pembukaan UUD 1945 lebih enak dibaca dan didengar. Walau begitu, penghilangan kata “menurut dasar” itu tidak boleh dimaknai bahwa “Ketuhanan Yang Maha Esa” merupakan satu sila yang berdiri sendiri, terpisah dengan sila lainnya. Sebaliknya, sila pertama itu harus dimaknai sesuai dengan rumusan semula yaitu: “Ketuhanan Yang Maha Esa, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawa-ratan/Perwakilan; serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.”

Pemaknaan seperti itu dipertegas dalam Penjelasan UUD 1945 (II. Pokok-pokok Pikiran dalam Pembukaan, Angka 4) bahwa “Pokok pikiran yang keempat yang terkandung dalam Pembukaan ialah negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.” Penjelasan UUD 1945 memang tidak digunakan lagi,  namun untuk memahami Konstitusi itu kita harus tetap merujuk pada Penjelasan itu yang dapat dikatakan sumber otentik.

Pemaknaan agar sila pertama harus berpijak pada sila berikutnya atau sebaliknya sangat penting karena kini kita mulai memisahkan antara nilai Ketuhanan dengan nilai kemanusiaan. Seakan-akan, Ketuhanan satu hal dan kemanusiaan hal lain. Keduanya tidak terpisahkan satu sama lain. Pemahaman di atas bersumber dari ajaran-ajaran agama yang berkembang di Indonesia, bahwa ketuhanan tidak boleh terpisah dengan kemanusiaan. Dalam al-Qur’an, misalnya, sering disebutkan “orang-orang yang beriman dan beramal shaleh” secara beriringan yang bermakna iman tanpa kemanusiaan akan percuma dan begitu pula sebaliknya.
    
Anggota MPR yang terlibat dalam perubahan UUD 1945 tampaknya memahami pesan penting dari nilai Ketuhanan yang harus berdasar kemanusaiaan tadi. Karena itu, sebelum  Bab XI Agama Pasal 29 “(1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa…” dibentuk Bab XA Hak Asasi Manusia dari Pasal 28A sampai Pasal 28J. Ini berarti, pelaksanaan Bab XI Agama harus selalu berpijak pada bab sebelumnya, yaitu Hak Asasi Manusia.
    
2.  Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Sila kedua dalam Pancasila, “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”, Kemanusiaan di sini didasarkan pada keadilan dan peradaban. Sebelum perubahan UUD 1945, sila Kemanusiaan tidak mendapatkan penjabaran memadai dalam batang tubuh UUD 1945. Perubahan UUD 1945 mempertegas nilai-nilai kemanusiaan dengan memasukkan Hak Asasi Manusia dalam bab tersendiri, yaitu Bab XA Hak Asasi Manusia yang terdiri dari 10 Pasal dan 24 ayat.
 
Pasal 28A sampai Pasal 28I memuat hak-hak asasi manusia. Pasal-pasal itu lalu ditutup dengan Pasal 28J ayat (1) dan (2) bahwa: (1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. (2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.” Ini berarti, pelaksanaan hak asasi harus diiringi dengan kewajibannya. Pasal 28J ayat (2) merupakan terjemahan dari Pasal 29 ayat (2) DUHAM, sehingga penyeimbangan antara hak dan kewajiban juga merupakan ketentuan HAM yang berlaku secara universal. Bunyi dari Pasal 29 ayat(2) DUHAM adalah: “(2) Dalam menjalankan hak-hak dan kebebasan-kebebasannya, setiap orang harus tunduk hanya pada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang yang tujuannya semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan yang tepat terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan moralitas, ketertiban dan kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat yang demokratis.”

3. Persatuan Indonesia
Kata persatuan dalam dalam sila ketiga “Persatuan Indonesia” harus diterjemahkan dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hal ini karena suasana kebatinan para pendiri bangsa saat merumuskan sila “Persatuan Indonesia” dipenuhi dengan keinginan yang kuat untuk membentuk negara kesatuan sesuai dengan  paham unitarisme. Sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan yang pertama, 29 Mei-1 Juni 1945 dan yang kedua 10-17 Juli 1945 menyepakati secara mufakat tanpa voting bahwa Indonesia yang akan merdeka harus berbentuk negara kesatuan sesuai dengan paham unitarisme. Dalam rapat PPKI 18 Agustus 1945 bentuk negara kesatuan sesuai dengan paham unitarisme disepakati secara mufakat, tanpa penolakan sama sekali.
Kata persatuan juga menggambarkan konsep menyatunya unsur-unsur yang bebeda dalam satu derap langkah bersama karena memiliki impian atau cita-cita dan ingin mencapainya secara bersama-sama pula. Keikaan yang bergerak dinamis dalam  kebhinnekaan dan sebaliknya kebhinnekaan tumbuh subur dalam keikaan secara seimbang.

Sebelum Perubahan UUD 1945, salah satu kesepakatan dasar semua pihak yang terlibat di dalamnya adalah mempertahankan NKRI. Prinsip negara kesatuan itu kemudian dipertegas dalam perubahan UUD 1945. Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 menyatakan: “Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik.” Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 juga menegaskan bahwa “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap propinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.” Ketentuan itu lalu diperkuat lagi melalui Pasal 37 ayat (5) UUD 1945 bahwa “Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan.”

4.  Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan

Dalam sila keempat Pancasila, ada dua kata kunci, yaitu kerakyatan dan permusyawaratan/perwakilan. Kerakyatan sebagai dasar Negara berarti bahwa kepentingan rakyatlah yang harus menjadi sumber inspirasi seluruh kebijakan negara. Konsep kerakyatan merupakan kebalikan dari konsep pemerintahan/kerajaan feodal yang lebih berpusat pada kepentingan raja atau elit, atau pemerintah kapitalis yang lebih melayani kepentingan kelas kaya. Konsep kerakyatan kini lebih dikenal dengan konsep pemerintahan dimana kedaulatan tertingginya di tangan rakyat atau pemerintahan demokrasi.

Kongres Pancasila, 30 Mei-1 Juni 2009, di Yogyakarta mengartikan kerakyatan dengan penguatan elemen masyarakat sipil (masyarakat madani atau civil society), lalu mensyarah permusyawaratan/perwakilan sebagai perwujudan dari checks and balances (saling kontrol dan mengimbangi) sehingga masing-masing pihak selalu mengutamakan kedaulan rakyat. “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan” menekankan urgensi penguatan masyarakat sipil sebagai syarat bagi adanya permusyawaratan/perwakilan, sehingga proses perumusan kepentingan publik yang dilakukan dalam sebuah permusyawaratan/perwakilan berjalan sesuai dengan aspirasi rakyat serta tidak dibelokkan untuk kepentingan lainnya.
 
Perubahan UUD 1945 penuh dengan ketentuan yang menyatakan bahwa kepentingan rakyat berada di atas segala-galanya. Banyak sebutan yang bermakna rakyat dalam UUD 1945, seperti setiap orang, setiap warga, manusia dan kemanusiaan, penduduk, warga negara, masyarakat, fakir miskin, anak-anak, hajat hidup orang banyak, pelayanan umum, nusa dan bangsa, serta lain sebagainya. Intinya, semua ketentuan dalam UUD 1945, mulai dari Pembukaan sampai Aturan Tambahan merupakan perintah untuk mengutamakan kepentingan rakyat di atas segalanya.


5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Sila kelima “Keadilan Sosial bagi Seluruh rakyat Indonesia”, di istu ada dua kata yang digabung, yaitu keadilan sosial. Jika dipisah, keadilan dapat bersifat individualistik. Namun jika digabung, maka keadilan yang diperjuangkan adalah keadilan yang menyeluruh untuk semua golongan dan kelompok. Ada dua unsur utama dalam keadilan. Pertama kesetaraan di muka hukum (equality before the law). Perbedaan suku, ras, budaya, agama, miskin, kaya, orang besar, kawula alit, dan semisalnya tidak boleh menjadi alasan untuk mendiskriminasikan orang lain. Unsur keadilan lainnya adalah terkait hak-hak yang melekat secara kondrati dan sosial pada setiap individu atau kelompok. Maka praksis keadilan dirumuskan dengan terpenuhinya hak-hak bagi setiap yang empunya. Yang dimaksud pemilik hak di sini tidak terbatas pada manusia, tetapi juga binatang, tumbuh-tumbuhan dan lingkungan semesta.  Untuk manusia hak-hak yang melekat padanya adalah HAM yang meliputi hak-hak sipil, hak-hak ekonomi, hak-hak politik dan sosial budaya. Alam dan lingkungan juga memiliki hak-hak yang harus dipenuhi, misalnya hak untuk dilestarikan, tidak dirusak dan lain sebagainya.
 
Pasal-pasal dalam UUD 1945 menekankan keadilan dalam segala aspek kehidupan. Spirit UUD 1945 bahwa Indonesia adalah negara hukum merupakan pernyataan yang tegas bahwa keadilan harus diwujudkan di bumi Indonesia, karena hukum tanpa keadilan tidak mempunyai makna apapun. Pasal 18 ayat (5) UUD 1945 bahwa “Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat” merupakan pesan keadilan dalam bidang pemerintahan. Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar besar kemakmuran rakyat” merupakan pesan keadilan dalam bidang ekonomi. Ringkasnya, seluruh muatan UUD 1945 memerintahkan perwujudan keadilan sosial dalam segala aspek kehidupan.

4-P bukan P-4

Reformasi telah menuntaskan agenda penjabaran nilai-nilai Pancasila dalam UUD 1945 melalui Perubahan UUD 1945 yang berlangsung selama 1999-2002. Saatnya nilai-nilai dan ide-ide yang terumuskan di dalam Pancasila dan UUD 1945 sungguh-sungguh diwujudkan dalam praktik bernegara. Yakni perumusan legislasi dalam peraturan perundang-undangan dan  kebijakan operasionalnya, serta implementasinya secara konsisten dan bertanggung jawab dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sehari-harinya.

Waktu terus bergerak maju, tiga belas tahun sudah derap langkah reformasi kita ayunkan, kondisi bangsa kita masih jauh dari harapan. Korupsi yang dahulu dikutuk bukannya menghilang, tetapi rasanya malah semakin  membesar, sementara rakyat masih didera kemiskinan, gizi buruk dan kehidupan yang tak layak. Demikian juga aksi kekerasan dan prilaku intoleran masih menjadi momok yang mengerikan di tengah masyarakat.

Era Reformasi sebagai antitesis era-era sebelumnya, mengampanyekan demokratisasi dan anti otoritarianisme tentunya tidak mau jatuh terpuruk hanya karena sebab-sebab yang sama, yaitu menelantarkan Pancasila. Pancasila dan UUD 1945 tidak boleh hanya menjadi sekadar hiasan atau retorika, ia harus sungguh-sungguh diamalkan dalam kehidupan nyata. Inilah momentum yang membuat konsep “Empat Pilar” (4-P) yang berupa Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Binneka Tunggal Ika, perlu dikampanyekan.

Berbeda dengan masa lalu yang menjadikan Pancasila sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan yang mengakibatkan Pancasila cenderung menjadi ideologi tertutup dengan indoktrinasi P4-nya, Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, di era Reformasi kampanye 4-P mengedepankan  aspek pembudayaan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945, yang dilakukan melalui kegiatan sosialisasi, disseminasi, pendidikan dan semacamnya. Dengan kegiatan ini diharapkan pada gilirannya dapat mempengaruhi bangunan pola pikir, pola prilaku, pola sikap, dan adat kebiasaan sehari-hari masyarakat.  

Berdasarkan tantangan-tantangan itu, Pimpinan MPR periode 2009-2014 memandang pentingnya pembudayaan Pancasila dengan mengemasnya dalam konsep 4-P, yaitu pembudayaan Pancasila beserta norma-norma derivatifnya yang utama, yang kemudian dikenal luas dengan 4 Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara.

Pembudayaan Empat Pilar itu meliputi (1) Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi nasional, (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai sumber hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, (3) NKRI sebagai konsensus bentuk negara yang harus dijunjung tinggi, (4) Bhinneka Tunggal Ika sebagai kaidah hidup bersama dalam kemajemukan yang harus diamalkan.

Selama hampir tiga tahun masa pengamatan, sebagaimana terlihat dalam survei-survei, terakhir dilakukan oleh BPS setahun yang lalu, kenyataan menunjukkan kecenderungan adanya Pancasila dan UUD 1945 dilupakan, NKRI diperhadapkan kembali dengan bentuk-bentuk Negara yang lain baik dari kanan maupun kiri tertentu, Bhinneka Tunggal Ika juga terancam dengan munculnya egoisme dan intoleransi pada sebagian kalangan di dalam masyarakat. Meski demikian, dari hasil survey itu terlihat pula antusiasme masyarakat terhadap Pancasila, mereka  berpendapat Pancasila penting untuk dipertahankan, dan menginginkan intensitas nilai Pancasila di dalam kurikulum pelajaran. Fakta-fakta itulah tantangan yang memberi motivasi pada pimpinan MPR dengan kemampuan dan kewenangannya yang terbatas tetap semangat pantang menyerah menggelorakan pembudayaan 4 Pilar kehidupan berbangsa dan bernegara di tengah-tengah masyarakat.

Menyadari betapa penting upaya internalisasi nilai-nilai 4 Pilar Bangsa pada diri setiap warganegara di tengah era globalisasi, dan dikaitkan dengan kenyataan beratnya medan di lapangan akibat luasnya wilayah geografis dan besarnya ragam segmentasi masyarakat, MPR melihat pentingnya ada lembaga khusus dengan kewenangan besar yang khusus bertugas melakukan kajian, pemasyarakatan, pendidikan, dan pembudayaan 4 Pilar secara lebih sistematis, terstruktur, dan massif ke segenap lapisan masyarakat.

Gagasan Pimpinan MPR ini mendapat tanggapan positif dari Presiden saat dijumpai Pimpinan MPR di Istana, juga dari para pimpinan lembaga negara dalam pertemuan konsultasi antar mereka. MPR tengah melakukan serangkain kegiatan seminar dan focus group discussion yang melibatkan berbagai lembaga negara, akademisi, dan tokoh masyarakat, guna menyerap aspirasi sekaligus mengkaji urgensi dan kelayakan lembaga khusus tersebut. Ide pembentukan lembaga khusus yang mendapat tanggapan positif dari masyarakat luas ini harus terus dimatangkan. Tapi kita dihadapkan dengan pilihan-pilihan yang tidak sederhana, apakah akan membentuk lembaga baru di tengah-tengah kritikan yang menentang gemarnya kita membentuk lembaga-lembaga baru, atau memanfaatkan lembaga/badan yang sudah ada dengan menambah tugas dan kewenangannya.

Jakarta, 28 Mei 2012
www.lukmansaifuddin.com

Disampaikan pada Kongres Pancasila bertema: “Revitalisasi  Nilai-Nilai Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara Dalam Memelihara Ke-Indonesia-an Kita”, diselenggarakan oleh MPR RI di Jakarta, 30-31 Mei 2012