LEBIH SATU dasawarsa reformasi bangsa Indonesia telah mencatat banyak keberhasilan. Di bidang politik telah menikmati kebebasan, demokrasi, serta hak-hak dasar kewarganegaraan di segala aspek kehidupan. Reformasi telah membuka semua sumbatan, menghapus sentralisasi, membuka lebar partisipasi dan terus menata demokrasi sebagai kerangka untuk mengelola perbedaan dan integrasi.
Namun pada waktu bersamaan muncul dampak sampingan yang tidak diinginkan yaitu fenomena radikalisasi massa yang disulut oleh sebab-sebab ideologis maupun sebab-sebab lain. Aksi kekerasan, di antaranya dengan membawabawa nama agama, bukan hanya mengancam ketenteraman hidup umat tetapi juga membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa.
Situasi dan kondisi yang terjadi saat ini tak hanya terkait dengan lemahnya ketahanan budaya, wawasan kebangsaan dan rasa persatuan bangsa kita sehingga mudah terprovokasi untuk melakukan aksi-aksi kekerasan, tetapi juga terkait sebab-sebab lain yang lebih esensial, yaitu radikalisme agama dan ketidakadilan (seperti kemiskinan dan kesenjangan sosial).
Penyebab lain dari fenomena kekerasan yang tak kalah bahayanya adalah adanya keterlibatan skenario global yang berusaha menguasai Indonesia secara langsung atau tidak langsung dengan menghembuskan keragu-raguan atas wawasan kebangsaan melalui penetrasi ideologis di ranah politik dan ekonomi yang tidak sesuai dengan nilai luhur dan menjauhkan bangsa dari cita-cita negara adil makmur sejahtera.
Krisis nasionalisme dan rasa kebangsaan yang tengah melanda bangsa kita baik karena sebab internal maupun eksternal harus dicegah dan diatasi. Opsi keamanan dan ketertiban diperlukan untuk memulihkan rasa aman masyarakat dan menimbulkan rasa jera dengan penindakan dan penegakan hukum. Opsi lain yang tak kalah penting adalah pencegahan tindak kekerasan. Pendekatan preventif ini diperlukan untuk menghindarkan atau mengurangi kemungkinan terjadinya radikalisme di tengah masyarakat dalam jangka panjang. Menetralisir paham radikal bagi mereka yang terlibat dan para simpatisannya serta anggota masyarakat yang telah terpapar paham-paham radikal dapat dilakukan melalui reedukasi dan resosialisasi serta mengajarkan paham-paham multikultur.
Majelis Permusyaratan Rakyat (MPR) berpendapat paham-paham radikal bertentangan dengan nilai-nilai budaya bangsa dan kemunculannya bisa jadi disebabkan oleh kurangnya informasi dan sosialisasi atau tidak berkembangnya paham-paham moderat/toleran di tengah-tengah masyarakat. Kemungkinan lainnya, radikalisme massa dipicu oleh fenomena ketidakadilan yang diakibatkan kebijakan-kebijakan dari penyelenggara negara yang mengabaikan amanah konstitusi. Oleh karena itu MPR melakukan berbagai langkah untuk mengatasi persoalan-persoalan yang dihadapi bangsa terutama terkait pembangunan karakter dan akhlak bangsa. Salah satunya dengan gerakan pemasyarakatan empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara, yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika.
Aspirasi Islam Pasca Amandemen Konstitusi
Pengalaman sejarah bangsa Indonesia menunjukkan bahwa nasionalisme tidak pernah menyudutkan atau menyingkirkan agama dari ruang publik. Nasionalisme mengadopsi nilai-nilai agama yang positif dan mengakui pentingnya religiusitas di ruang publik. Hal itu karena reputasi agama cukup gemilang dalam mengonsolidasikan kekuatan untuk mengusir penjajah. Pengalaman juga menunjukkan agama relatif terhindar dari fitnah politisasi atau kriminalisasi oleh mereka yang tidak bertanggung jawab melakukan kezaliman dan kejahatan kemanusiaan. Karena itulah ketika semangat pencarian titik temu mencapai puncak pada tahun 1945 signifikansi agama tercatat dengan tinta emas dalam Undang Undang Dasar 1945 sebagai sumber utama pembentukan nasionalisme berkarakter keindonesiaan, yaitu nasionalisme yang berketuhanan atau lazim disebut nasionalisme religius. Nasionalisme religius dimaksud adalah pengejewantahan nilai yang bersumber dari Islam, nasionalisme modern, dan kearifan tradisional bangsa. Bentuk nyata nasionalisme religius itu telah dirumuskan dalam bentuk dasar atau ideologi negara yaitu Pancasila dan konstitusi negara yaitu UUD 1945.
Dialektika Islam dan nasionalisme pasca amandemen konstitusi (1999-2002) membentuk pola hubungan sinergis yang lebih tegas dalam pengertian saling mengisi dan saling membutuhkan antara Islam dan negara (mutual simbiosis). Hal ini dapat dilihat pada, Pertama spirit dan filosofi yang terkandung dalam UUD bersumber dari nilai-nilai agama. Konsep dasar seperti keadilan sosial, kedaulatan rakyat, hak asasi manusia, permusyawaratan, dan lain-lain merupakan konsep yang tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai ketuhanan yang bersumber dari agama yang ada di Indonesia.
Kedua, tidak ada satu ayat pun dalam UUD yang di¬anggap bertentangan dengan nilai-nilai ketuhanan, baik secara implisit maupun eksplisit. Lebih dari itu, UUD secara tegas menentukan agar bangsa Indonesia menjadi bangsa yang berketuhanan serta menolak atheisme, komu¬nisme, dan paham-paham lain yang anti tuhan. Pernyataan Pasal 29 ayat (1) UUD bahwa ”(1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” mempertegas nilai-nilai ketu¬hanan dalam kehidupan kenegaraan dan kebangsaan.
Ketiga, dalam UUD setidak-tidaknya terdapat delapan ketentuan yang secara eksplisit mempertegas bahwa nilai-nilai ketuhanan atau nilai agama merupakan roh dari Konstitusi, yakni:
1. Alinea ketiga Pembukaan UUD yang menyebut ”Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa” sebagai basis pernyataan kemerdekaan Indonesia. Ini berarti kemerdekaan bangsa Indonesia dicapai karena rahmat Tuhan dan upaya untuk mengisi kemerdekaan itu dengan mewujudkan keadilan dan kesejahteraan rakyat harus selalu berpijak pada nilai-nilai agama untuk memelihara berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa.
2. Alinea keempat Pembukaan UUD bahwa segala tanggung jawab negara yang berkaitan dengan upaya melindungi tumpah darah, meningkatkan kesejahteraan rakyat, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta dalam ketertiban dunia, harus berdasarkan pada ketuhanan, kemanusiaan, persatuan Indonesia, kerakyatan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial. Jadi, setiap langkah bangsa harus berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa.
3. Pasal 9 UUD yang mewajibkan Presiden/Wakil Presiden bersumpah menurut agamanya. Ini berarti dalam menjalankan tugas dan wewenang pemerintahan, Presiden/Wakil Presiden harus memperhatikan nilai-nilai agama karena mereka telah bersumpah menurut agamanya. Pertanggungjawaban Presiden/Wakil Presiden tak ha¬nya kepada rakyat, tetapi kepada Tuhan yang ia telah bersumpah atas namanya.
4. Pasal 24 ayat (2) UUD yang menetapkan adanya peradilan agama di bawah Mahkamah Agung. Pradilan agama ini ternyata bisa digunakan untuk memfasilitasi penyelesaian berbagai macam persoalan, karena dalam UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama ditetapkan bahwa lembaga ini bisa menangani perkara terkait ekonomi syariah di samping masalah perkawinan, hibah, zakat, dan semacamnya. Maksud dari ekonomi syariah sangat luas, karena meliputi berbagai hal, mulai dari a. bank syari’ah; b. lembaga keuangan mikro syari’ah. c. asuransi syari’ah; d. reasuransi syari’ah; e. reksadana syari’ah; f. obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah; g. sekuritas syari’ah; h. pembiayaan syari’ah; i. pegadaian syari’ah; j. dana pensiun lembaga keuangan syari’ah; dan k. bisnis syari’ah. Istilah ”peradilan agama” merupakan istilah yang baru ditetapkan dalam Perubahan UUD. Dalam UUD sebelum perubahan tidak ada istilah peradilan agama.
5. Pasal 28J ayat (2) UUD yang menyatakan bahwa setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan dengan Undang-Undang (UU) untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis. Pasal 28J ayat (2) merupakan terjemahan dari Pasal 29 ayat (2) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) sehingga penyeimbangan antara hak dan kewajiban juga merupakan ketentuan HAM yang berlaku secara universal. Bunyi dari Pasal 29 ayat (2) DUHAM adalah: “Dalam menjalankan hak-hak dan kebebasan-kebebasannya, setiap orang harus tunduk hanya pada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang yang tujuannya semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan yang tepat terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan moralitas, ketertiban dan kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat yang demokratis.” Perbedaannya hanya tipis, istilah “requirements of morality” dan “public order and the general welfare” dalam DUHAM diterjemahkan menjadi “pertimbangan moral dan nilai-nilai agama” dan “keamanan dan ketertiban umum” dalam UUD. Kita melihat bahwa penekanan nilai-nilai agama dalam UUD jauh lebih kuat daripada rumusan aslinya dalam DUHAM. Ini membuktikan bahwa UUD sangat aspiratif terhadap nilai-nilai agama.
6. Pasal 29 ayat (1) dan (2) UUD menyatakan bahwa ” (1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa, (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Pernyataan bahwa tiap-tiap penduduk merdeka untuk memeluk agama dan beribadat menurut agamanya merupakan jaminan Negara yang digaransi Konstitusi bahwa masyarakat Indonesia memiliki kemerdekaan dalam memeluk agama dan menjalankan ibadahnya.
7. Pasal 31 ayat (3) UUD yang menyatakan bahwa ”Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia...”. Ini berarti pendidikan nasional harus mengupayakan peserta didik yang berkarakter, mempunyai integritas dan moralitas, sesuai dengan tuntutan keimanan, ketakwaan dan akhlak mulia. Ketentuan di atas merupakan ketentuan baru dalam Perubahan UUD. Dalam UUD sebelum perubahan, ketentuan tentang pendidikan hanya berbunyi: ”Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional yang diatur dengan undang-undang.”
8. Pasal 31 ayat (5) UUD yang menyatakan bahwa ”Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.” Ini berarti, pengembangan ilmu pengetahuan harus sesuai dan tak boleh bertentangan dengan nilai-nilai agama.
Dari uraian di atas kita dapat menyimpulkan bahwa agama menempati posisi strategis dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Aspirasi rakyat agar agama menjadi panduan moral negara diakomodasi dengan baik dalam konstitusi. Pengelolaan negara dan pemerintahan harus berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Penyelenggara negara tak hanya bertanggung jawab kepada rakyat, tetapi juga kepada Tuhan sesuai dengan sumpahnya saat awal menjabat. Pengembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan pendidikan harus memperhatikan nilai-nilai keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia.
Lebih dari Sekadar Sosialisasi
Satu hal yang perlu disyukuri dari bangsa Indonesia dalam melakukan reformasi adalah keberanian mereka melakukan Amandemen UUD 1945 pada periode 1999 sampai 2002, karena sejak itu bangsa Indonesia punya konstitusi yang siap mengantar rakyat menuju cita-cita. Amandemen telah mengembalikan kedaulatan kepada rakyat dengan pemilihan presiden langsung, pemisahan institusional polisi dan TNI, pengakuan secara tegas semua hak azasi manusia, alokasi anggaran 20 persen untuk pendidikan, dan lain sebagainya. Perubahan-perubahan fundamental yang diyakini mampu membawa perbaikan-perbaikan di segala bidang kehidupan bangsa harus diketahui dan dipahami oleh seluruh warga negara. Dengan pengetahuan dan pemahaman yang baik terhadap konstitusi, terutama dari kalangan pejabat dan penyelenggara negara, diharapkan mampu melahirkan kesadaran baru untuk kebangkitan Indonesia di segala bidang.
Oleh karena itu sosialisasi penting dilakukan untuk menyebarluaskan norma-norma baru yang terkandung dalam Perubahan UUD 1945. Sosialisasi mencakup materi-materi landasan ideologi, konstitusi, komitmen kebangsaan serta semangat kesatuan dalam keragaman masyarakat Indonesia yang terangkum dalam empat pilar kehidupan bangsa. Yakni, Pancasila sebagai landasan ideologi, etika moral serta alat pemersatu bangsa; UUD Tahun 1945 sebagai landasan konstitusional; NKRI sebagai konsensus yang harus dipertahankan; dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai kekayaan bangsa dan modal untuk bersatu. Empat pilar tersebut merupakan rukun negara, penyangga tegaknya negara yang berfungsi sebagai landasan dalam membangun bangsa yang adil dan sejahtera sesuai cita-cita para pendiri sebagaimana termaktub dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945.
Sasaran sosialisasi adalah menjadikan pesan-pesan konstitusi diterima lebih sebagai akhlak negara, bukan akhlak individual. Penekanan ini penting, agar kita tidak terjebak pada kekeliruan mistifikasi Pancasila sebagaimana terjadi pada masa lalu. Pancasila yang semenjak lahirnya dimaksudkan sebagai Dasar Negara, oleh Pemerintah Orde Baru diredusir sebagai pedoman perlilaku individual atau budi pekerti manusia sebagai pribadi. Membina akhlak manusia itu menjadi domain agama, serikat-serikat adat maupun ormas-ormas yang tidak memerlukan intervensi negara. Sebagai akhlak negara, Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika, yang belakangan kita sebut Empat Pilar itu berarti harus dilihat sebagai pedoman perilaku bernegara bagi manusia Indonesia sebagai warga negara.
Sasaran lain dari sosialisasi adalah mendorong efektivitas fungsi Negara, baik fungsi reguler seperti pertahanan dan keamanan maupun fungsi pembangunan. Oleh karena itu partisipan utama sosialisasi yang dilakukan MPR kebanyakan berasal dari kalangan penyelenggara negara di kalangan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif serta pajabat lain dan para pemangku kepentingan. Karena posisi mereka yang penting dan stragis itulah mereka dipilih dengan harapan setelah mengikuti pelatihan mampu mengimplementasikan dan melaksanakan pembangunan dengan baik. Ideologi-ideologi ekstrem dengan sendirinya tidak akan berkembang karena sebab-sebab dan pemicunya, seperti ketidakadilan dan kemiskinan, telah diatasi berkat kerja keras mereka membangun bangsa.
Yang tak kalah penting dari sosialisasi adalah menyerukan pengembangan pemahaman Pancasila yang transformatif, edukatif, dan berwawasan melalui pendidikan dan pembudayaan (culturing school) di seluruh lembaga-lembaga pendidikan. Sosialisasi dengan demikian mengembangkan misi kebudayaan dalam pengertian mendorong proses pembelajaran dilakukan sekaligus memberikan keteladanan yang positif dari mereka yang disebut pemimpin, di tingkat nasional maupun lokal, formal maupun nonformal, kepada lingkungan masyarakat masing-masing.
Sisi lain dari sosialisasi yang tak kalah esensialnya adalah mendorong upaya-upaya untuk memastikan tegaknnya paham konstitusionalisme Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah satu yang terpenting adalah memastikan bahwa UUD 1945 sebagai konstitusi negara benar-benar dilaksanakan termasuk dalam hal pemenuhan hak-hak warga negara. Warga negara yang merasa terlanggar hak-hak asasinya dapat menuntut dan mengadukan perkaranya melalui mekanisme pengaduan konstitusional (constitutional complaint) yang sampai sekarang belum ada lembaga negara yang mengemban fungsi tersebut.
Menuntaskan Konsensus
Sejauh ini kita merasakan konsensus nasional dalam perumusan Pancasila relatif berhasil menjawab ketegangan hubungan agama dan negara. Meski pada awalnya terjadi ketegangan ideologis yang keras, seiring berjalannya waktu Pancasila akhirnya dimengerti dan diterima. Kalau dalam konteks perumusan Pancasila partai-partai politik relatif berhasil dalam merumuskan sintesis antara Islam dan nasionalisme, maka tidak demikian halnya dengan “ideologi” di ranah ekonomi, setidaknya hingga saat ini. Dalam konteks ini, partai-partai politik belum menemukan konsensus tentang platform dan ideologi pembangunan ekonomi yang akan dijalankan. Rakyat tidak bisa membedakan corak ideologi ekonomi yang dikembangkan oleh partai-partai politik. Yang dirasakan kini justru praktik-praktik ekonomi berwarna liberalistik yang bertolak belakang dengan spirit konstitusi. Mungkinkah lahir konsensus baru di ranah ekonomi suatu paham ekonomi konstitusi yang akan memperkuat konsensus terdahulu – ideologi/dasar negara Pancasila?
Konsensus (ijma’) atau general agreement di ranah ekonomi menjadi penting karena akan berdampak pada kelangsungan konsensus nasional di ranah ideologi. Pancasila tidak akan mungkin bisa sakti di tengah ketidakadilan atau kesenjangan sosial yang diakibatkan kondisi kemiskinan, kebodohan, dan pengangguran. Karena itu, tantangan utama bagi kekuatan politik Indonesia adalah menuntaskan konsensus nasional, mencapai kesepakatan umum di antara mayoritas rakyat untuk penyatuan pemahaman tentang ekonomi konstitusi. Jika hal ini tidak berhasil dicapai, sementara kinerja pembangunan di lapangan tidak berjalan sesuai harapan, maka dikhawatirkan akan berdampak pada konsensus sebelumnya dengan munculnya distrust, pembangkangan atau bahkan perlawanan. Kalau kesepakatan umum itu runtuh, maka runtuh pula legitimasi kekuasaan negara, yang pada gilirannya tidak bisa kita bayangkan akibatnya.♦