TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pimpinan MPR melalui Wakil Ketua MPR Lukman Hakim Saifuddin berpendapat, KPK memang tidak semestinya melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap Wapres Boediono.

"Hanya DPR, MK, dan MPR saja lah yang bisa memeriksa dan mengadili seseorang yang sedang menjabat presiden atau wapres yang melakukan pelanggaran hukum," ujar Lukman dalam rilisnya, Rabu (21/11/2012).

Ini menjawab pernyataan Ketua KPK Abraham Samad, yang menyebut KPK tidak bisa memproses Boediono dalam kasus Century, karena statusnya sebagai warga istimewa.

Di mana pun negara di dunia ini, menurut Lukman, tak ada presiden dan wapres-nya yang diproses hukum pidana saat sedang menjabat.

"Hukum tata negara-lah yang bekerja untuk memproses pelanggaran hukum yang dilakukan kepala negara, yang dikenal dengan mekanisme impeachment/pemakzulan," ucap Lukman.

Hukum pidana, jelasnya, baru bisa bekerja setelah yang bersangkutan tak lagi menjabat presiden atau wapres.

"Setelah yang bersangkutan kembali menjadi warga negara biasa," cetus politisi PPP.

Ketentuan tersebut, menurut Lukman,  bukan lah praktik diskriminatif atau menyimpang dari asas persamaan di depan hukum.

Karena, bagaimanapun presiden dan wapres adalah kepala negara yang kedudukannya berbeda dengan warganegara biasa.

"Mekanisme impeachment yang diatur konstitusi, sudah amat gamblang menunjukkan adanya perbedaan perlakuan bagi kepala negara dan warganegara, meski keduanya melakukan pelanggaran hukum yang sama," katanya.

Lukman tak bisa membayangkan, jika wapres diproses hukum pidana oleh KPK, lalu ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan. Sebab, KPK tak mengenal SP3, lalu diputus bersalah.

"Sementara, secara bersamaan proses hukum tata negara bekerja, tapi akhirnya MK putuskan tiadanya pelanggaran hukum, atau MPR tak lakukan impeachment. Betapa kacaunya bila hal itu terjadi," terang Lukman.

Lukman mengingatkan, proses hukum tata negara melalui DPR, MK, dan MPR bagi presiden/wapres yang melanggar hukum, tidak lalu menghilangkan pertanggungjawaban pidananya.

"Setelah tak lagi menjabat presiden/wapres, maka proses hukum pidana bisa bekerja. Proses hukum tata negara dan hukum pidana bagi kepala negara tak bisa dilakukan simultan, tapi tak bisa juga diartikan bahwa bila salah satu proses ditempuh, maka proses yang
lain tak lagi bisa dilakukan," paparnya.

Proses hukum keduanya, menurut Lukman, bisa ditempuh, dan tidak melanggar prinsip 'seseorang tak bisa diadili dua kali karena pelanggaran hukum yang sama'.

"Sebab, hukum tata negara dan hukum pidana berjalan sendiri-sendiri," kata Lukman. (*)
Tribunnews.com - Rabu, 21 November 2012 19:57 WIB
Penulis: Hasanudin Aco  |  Editor: Yaspen Martinus