Sejak terbebas dari belenggu penjajah, bangsa Indonesa menghirup udara bebas kehidupan bernegara. Bernegara dalam arti memiliki dan menjalankan negara sendiri. Bentuk negara yang dipilih, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), adalah negara baru yang berbeda dengan negara kaum penjajah, juga berbeda dengan negara nenek moyang prakolonial, kerajaan atau kasultanan. Kemerdekaan Indonesia tidak menganut pola umum revolusi-revolusi yang ada di dunia yang mengikuti text book tertentu, tetapi diperjuangkan sendiri melalui ijtihad kolektif seluruh elemen bangsa. Para pendiri bangsa tidak memaksakan ideologi/text book tertentu sebagai dasar atau konstitusi negara; sebaliknya dengan semangat persatuan mereka berhasil mencapai titik temu, setelah mengatasi berbagai ketegangan,  memilih Pancasila dan UUD 1945 sebagai falsafah dan konstitusi negara Indonesia. Semangat mencari titik temu ini terlihat pada perdebatan terkait posisi agama dan negara dalam NKRI saat Piagam Jakarta dikeluarkan dari Undang-Undang Dasar NKRI pada tanggal 18 Agustus 1945.

Relasi agama dan negara 

Relasi agama dan negara di Indonesia pasca kemerdekaan dalam prakteknya mengalami pasang surut. Suatu ketika hubungan di antara keduanya berlangsung harmonis, namun di saat yang lain mengalami ketegangan sebagaimana tercermin dalam pemberontakan tahun 1950-1960. Maklumlah, relasi antar keduanya tidak berdiri sendiri, melainkan juga dipengaruhi persoalan politik, ekonomi, dan budaya.

Dari sisi Islam, relasi Islam dan politik tidak dapat dipisahkan. Paling kurang kalau kita memperhatikan sejarah kehidupan Nabi Muhammad SAW sewaktu di Madinah. Piagam Madinah oleh beberapa ahli dianggap sebagai sebuah konstitusi karena di dalamnya memuat kontrak di antara kelompok-kelompok masyarakat untuk saling menghargai dan melindungi.

Hal yang sama sesungguhnya terjadi pada negara-negara Barat. Amerika Serikat yang menyatakan memiliki konsep separation of church and state saja sesungguhnya tidak sepenuhnya dapat mengabaikan keberadaan agama. Dalam konteks Amerika, pemisahan agama dan negara tersebut berarti menjauhkan campur tangan negara atas prinsip-prinsip hukum agama, tetapi tidak memberikan dinding pemisah (wall) terhadap masuknya prinsip-prinsip agama ke dalam jalannya pemerintahan bernegara.

Tentu saja relasi agama dan negara di Amerika berbeda dengan Indonesia. Indonesia memperlihatkan adanya jalinan mutualisme antara agama dan negara. Negara diisi dengan spirit kerohanian agama dan agama dilindungi oleh negara. Keberadaan UU Perkawinan dan UU Peradilan Agama, misalnya, memperlihatkan peran negara dalam hukum agama. Namun jika dilihat dalam takaran yang lebih luas, keberadaan produk perundang-undangan tersebut juga memperlihatkan bahwa agama mempengaruhi jalannya hubungan antara yang memerintah dan yang diperintah (masyarakat). Dengan kata lain agama juga berperanserta dalam pemerintahan.

Hubungan negara dan agama seperti dijelaskan di atas terkadang bisa menjadi rumit, akibat banyaknya godaan yang membelokkan ke arah yang tidak semestinya. Ada godaan politik untuk memanfaatkan agama, ada juga godaan agama untuk memanfaatkan politik. Agama kerapkali dipergunakan untuk bertentangan dengan pemerintahan, atau pemerintahan sering dijadikan kekuatan untuk menekan agama. Pengalaman kita menunjukkan, ketika negara diperalat oleh agama, maka ia tidak mungkin berfungsi sepenuhnya sebagai negara. Di sisi lain, ketika agama dijadikan alat politik, agama juga segera kehilangan jati diri dan fungsinya yang luhur sebagai agama.

Agar relasi antar agama dan negara tetap harmonis di tengah-tengah dinamika kehidupan politik, ekonomi dan budaya, kita perlu mendiskusikannya terus menerus, sehingga kita sampai pada pemahaman bahwa agama dan negara bagai dua sisi mata uang, di mana keduanya bisa dibedakan, namun tidak bisa dipisahkan satu sama lain karena keduanya saling membutuhkan.