Memaknai Negara Berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa

Sebelum membahas sejauhmana pentingnya membangun negara berlandas-kan nilai-nilai keagamaan, perlu ditelusuri terlebih dahulu keberadaan pandangan antonimnya, yaitu sekularisme.

Sekularisme sendiri berasal dari terjemahan yang tidak tepat dari kata Perancis laiguisme, kata  laigue sendiri tidak berkaitan sama sekali dengan sejarah timbulnya sekularisme. Asal kata yang tepat adalah laikos yaitu berasal dari kata Yunani. Laikos bermakna apa yang berhubungan dengan masyarakat umum untuk dibedakan dari clirous (tokoh agama). Arti kata laque adalah siapa saja yang bukan tokoh agama atau tidak termasuk golongan pendeta (Al-Jabiri, 2001). Kemudian penggunaannya disimpangkan dalam konteks kenegaraan di Prancis dikarenakan terjadinya peminggiran terhadap agama dan tokoh agama. Hal itu disebabkan ketika itu pengajaran-pengajaran agama menjadi wewenang gereja yang dilaksanakan di gereja-gereja. Sedangkan pengajaran terhadap masyarakat umum dilakukan oleh negara yang terbatas kepada ilmu-ilmu umum.

Dari pendekatan semantik itu dapat diambil kesimpulan bahwa laguisme atau sekulerisme bukanlah lawan dari agama, namun sekurang-kurangnya ia menuntut adanya pembedaan antara apa yang duniawi dan apa yang sakral. Kesalahpahaman terhadap makna sekularisme semakin mendalam ketika nilai-nilai agama semakin hari semakin ditinggalkan oleh masyarakat Barat. Hal itu dikarenakan kepentingan individu menjadi begitu terganggu dengan keberadaan nilai-nilai agama. Agama dianggap terlalu mengekang kebebasan individu sebagai subjek yang mengelola negara.

Dalam konteks Indonesia, pembahasan soal relasi agama dan negara ini sebenarnya sudah berlangsung jauh hari sebelum sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). Namun tulisan ini hanya membahas pandangan-pandangan yang muncul dalam rapat BPUPK. Hal itu karena dalam sidang-sidang BPUPK itulah ditemukan kesepakatan mengenai bagaimana relasi antara negara dan agama dalam semangat ke-bhinekatunggalika-an Indonesia.

Pembahasan antara para pendiri negara tidak berkaitan langsung dengan relasi antara agama dan negara. Akan tetapi lebih kepada bentuk negara, apakah berbentuk negara Islam atau negara nasionalisme. Soepomo berpendapat tidak mungkin menjauhkan nilai-nilai agama dari negara. Alasannya, selagi negara diisi oleh orang-orang yang beragama, maka tidaklah mungkin nilai-nilai agama dihindari dalam menjalankan negara.

Bahkan Soekarno menjelaskan bahwa konsep pemilihan kepala negara Indonesia juga harus berkesesuaian dengan paham agama (Islam), yang mengisyaratkan kepala negara dipilih, bukan turun temurun, sebagaimana tradisi awal bernegara umat  Islam pada masa Khulafa al-Rasyidin. Oleh karena relasi agama dan negara dinyatakan tidak dapat dipisahkan dengan jalannya pemerintahan oleh para pendiri bangsa, maka sangat tidak mungkin kita menghindarkan nilai-nilai agama dalam penyelenggaraan negara.