Prinsip Ketuhanan dalam Kehidupan Bernegara

Prinsip Ketuhanan berangkat dari keyakinan bahwa manusia merupakan ciptaan Tuhan yang dilahirkan untuk mengemban tugas sebagai khalifah (wakil Tuhan, pengelola alam semesta) di bumi dengan tugas utama mengelola alam sedemikian rupa untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemaslahatan bersama seluruh umat manusia dan segenap makhluk hidup, serta untuk menjaga kesinambungan alam itu sendiri.

Prinsip Ketuhanan juga berarti bahwa tindakan setiap manusia, termasuk dalam mengelola bangsa dan negara, akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak. Ini berarti setiap tindakan manusia, baik yang bersifat personal maupun bersifat kenegaraan, berdimensi ke-Tuhan-an atau berdimensi ibadah.

Jika konsekuen dengan “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” maka sudah barang tentu negara tidak akan memberikan toleransi dan  kesempatan kepada setiap aparatusnya melakukan penyalahgunaan kekuasaan, pelanggaran hak asasi manusia, korupsi, dan hal-hal destruktif lainnya yang menimbulkan ketidakadilan dan kerusakan, yang justru bertentangan dengan hakekat ajaran agama dan tujuan negara didirikan.

Penataan Hubungan antara Agama dan Negara
Sesuai dengan prinsip “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” maka nilai ajaran agama di Indonesia merupakan jiwa, roh, atau spirit dari keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ketuhanan Yang Maha Esa serta agama-agama di dalamnya merupakan “kerohanian yang dalam” yang menjadi penopang utama keutuhan NKRI, seperti Protestan Ethic bagi Amerika Serikat dan negara Barat lainnya.

Karena agama-agama di Indonesia telah memberikan sumbangsih besar kepada negara, yaitu dalam bentuk etik kerohanian yang disadari atau tidak telah menjadi tiang utama keutuhan NKRI, maka sudah selayaknya negara juga memberikan sumbangsih yang setara kepada agama-agama, sehingga agama-agama di Indonesia dapat menerapkan nilai-nilai adiluhungnya seperti prinsip mengayomi, mengasihi sesamanya dan sebagainya. Dengan begitu, maka penataan hubungan antara agama dan negara harus dibangun atas dasar prinsip kemitraan, simbiosis-mutualisme di mana yang satu dan yang lain saling memberi, dan prinsip checks and balances dimana keduanya saling mengontrol dan mengimbangi.  Tanpa itu semua ketegangan hubungan antara agama dan negara pasti terjadi.

Dalam hubungan seperti itu dimisalkan ketika negara tidak memberikan kemerdekaan kepada warganya untuk beribadat sesuai dengan agamanya masing-masing, atau sebaliknya agama menganggap negara menutup diri terhadap nilai-nilai keagamaan sehingga tatanan kenegaraan berjalan secara bertentangan dengan nilai-nilai keagamaan. Dalam situasi seperti itu, terbuka peluang agama berupaya mempengaruhi instrumen kenegaraan tanpa memperhatikan asas-asas demokrasi atau negara melakukan represi terhadap warga negaranya tanpa memperhatikan ajaran agama berkaitan dengan keadilan dan persamaan hak asasi manusia. Agar ketegangan di atas tidak terjadi di Indonesia, maka aparatus negara harus menyadari bahwa dalam mengelola negara harus memperhatikan nilai-nilai keagamaan, sementara itu tokoh agama harus menyadari bahwa dalam melakukan internalisasi nilai-nilai keagamaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara harus memperhatikan nilai-nilai demokrasi, persatuan, dan persaudaraan dalam NKRI.