Kebebasan Beragama dan Konflik Komunal
Kebebasan beragama dalam negara Pancasila telah diperjelas dalam beberapa pasal-pasal dalam UUD 1945, yaitu Pasal 28E bahwa “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya…” serta Pasal 29 ayat (1) UUD bahwa “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” dan Pasal 29 ayat (2) UUD bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama¬nya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
Konsekuensi dari ketentuan di atas adalah (1) Negara hanya menjamin kebebasan warga negara untuk memeluk agama masing-masing. Ini berarti, kebebasan untuk tidak memeluk agama tidak dijamin, bahkan bisa dikatakan dilarang jika disertai dengan upaya mengajak orang lain untuk melakukan hal yang sama, karena secara tidak langsung merusak jaminan negara kepada warganya untuk memeluk agamanya masing-masing; (2) Setiap warga negara harus patuh pada ketentuan peribadatan yang berlaku pada agamanya masing-masing. Kalau memeluk agama Islam harus beribadat menurut Islam, bukan berdasarkan cara lain. Begitu pula kalau memeluk Katolik, Protestan, Hindu, Budha, Khonghucu, dan lain sebagainya; (3) Ritus-ritus keagamaan yang dijalankan institusi agama bersama pemeluknya harus dapat mempertegas pelaksanaan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa dalam segala aspeknya serta dapat memperteguh persatuan dan persaudaraan di kalangan masyarakat Indonesia, bukan sebaliknya menjadi pemicu terjadinya konflik horizontal.
Tatanan konstitusional terkait kehidupan beragama yang menjamin kebebasan beragama sebagaimana diuraikan di atas belum sepenuhnya dapat dijalankan. Masih sering kita temukan benturan dan konfik komunal terjadi di tengah-tengah masyarakat. Bahkan sejumlah laporan mengabarkan terjadinya peningkatan eskalasi dan keragaman bentuk konflik, mulai dari yang disebabkan oleh penolakan atas status dan akses yang sama terhadap kelompok lain (restriction), pandangan yang menganggap kelompok lain lebih rendah (dehumanization), pengabaian hak-hak sipil, politik, dan ekonomi (opression), penyerangan (act of agression) hingga pengorganisasian pembunuhan massal (mass violence).
Munculnya intoleransi masyarakat selain terkait dengan lemahnya kinerja pemerintah, misalnya tidak memberikan perlindungan terhadap pelanggaran hak-hak konstitusional masyarakat, atau mengabaikan pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya masyarakat dalam banyak proyek pembangunan, tetapi juga terkait dengan terkatung-katungnya pembangunan karakter bangsa. Pendidikan adab berbangsa dan bernegara tidak mencapai sasaran yang diharapkan. Umat beragama sibuk membangun masyarakatnya sendiri-sendiri, sehingga yang terbangun bukanlah masyarakat warga negara yang utuh tetapi hanya masyarakat kumpulan umat-umat, kumpulan kelompok-kelompok yang ekseklusif dan tidak toleran atas dasar agama, suku, golongan, ras, kaya-miskin dan lain sebagainya. Kalau benar yang tengah terjadi demikian adanya di masyarakat, maka integrasi sosial yang selama ini menopang kehidupan bangsa bisa terancam, dan pada gilirannya membahayakan persatuan dan keutuhan bangsa.
Tindak intoleran yang bersentuhan dengan masalah kemiskinan, kesenjangan atau ketidakadilan dapat diatasi dengan peningkatan kinerja pemerintah, terutama kinerja keamanan, penegakan hukum, pemenuhan hak ekonomi, politik, dan budaya serta kesejahteraan masyarakat. Sementara karakter intoleran dicegah dengan memberikan edukasi terhadap warga negara melalui pendidikan multikultur, serta dalam waktu bersamaan kalangan umat menggalakkan pendidikan agama yang toleran. Di kalangan muslim, ajaran Islam tentang toleransi (tasamuh) dan pluralisme (ta’addudiyah) perlu diedukasikan, demikian juga penting disampaikan kepada umat bagaimana seharusnya menghargai tempat-tempat ibadah yang diajarkan kitab suci al-Quran: ...Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah...(al-Hajj/22: 40).
Para pemuka agama perlu menyadari pentingnya pendidikan agama yang toleran dalam pembangunan karakter bangsa. Sudah tidak zamannya khawatir berlebihan, kalau mengajarkan toleransi atau pluralisme akan mengurangi kadar keimanan, atau mengendurkan militansi dan radikalitas. Sesungguhnya zaman telah berubah, masyarakat lebih suka dengan ekspresi beragama yang sejuk dan ramah, lebih tertarik dengan ajaran-ajaran yang mencerahkan; masyarakat semakin cerdas dan kritis sehingga mereka tidak lagi mudah terpapar berbagai bentuk indoktrinasi.
Dengan terbentuknya masyarakat yang utuh sebagai bangsa yang dihasilkan dari meningkatnya kinerja pemerintah dan pemantapan pendidikan karakter yang digerakkan oleh pemerintah dan pemuka agama, maka bangsa Indonesia memiliki ketahanan nasional yang mantap.
Makalah, disampaikan oleh Lukman Hakim Saifuddin, Wakil Ketua MPR RI, pada Seminar Nasional yang diselenggarakan Univ. Paramadina, kerjasama IMPARSIAL dan Serikat Mahasiswa Universitas Paramadina, di Jakarta, 20 Desember 2012