Senayan - Draf RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengatur tentang penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden. Wakil Ketua MPR Lukman Hakim Saifuddin mengeluarkan pandangannya. Seperti apa pandangannya?
"Demokrasi kita tidak tanpa batas, jadi tentu hak berserikat, hak menyatakan pendapat, hak untuk mengekspresikan itu dijamin oleh konstitusi. Tapi, caranya juga harus jangan keluar dari nilai-nilai dasar, nilai-nilai keindonesiaan kita," ujar Lukman Hakim Saifuddin di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (22/3).
Karena itu, kata Lukman, kalau kemudian kritik-kritik pada Presiden sebagai Kepala Negara itu sudah terlalu jauh dari nilai-nilai leluhur bangsa Indonesia, harus dikenakan sanksi tertentu. Bentuknya seperti apa, harus jelas diatur mana yang boleh dan tidak boleh. "Jangan sampai menjadi pasal karet yang hanya untuk pihak tertentu," kata politisi PPP ini.
Karena itu, semangat kebebasan menyampaikan pendapat, berekspresi, dan lainnya, memang semestinya dan sudah sewajarnya tetap dilakukan secara bertanggung jawab, agar tidak juga melanggar hak-hak pihak lain.
Dalam RUU KUHP yang dibuat pemerintah, Bab II mengatur tentang Tindak Pidana terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden. Di bagian kedua, dimuat Penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden
Pasal 265 berbunyi 'Setiap orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV'.
Dan, Pasal 266 berbunyi 'Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV'.
Yang dimaksud Kategori IV adalah denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) mencabut pasal 134, pasal 136 bis, dan pasal 137 KUHP. Ketiga pasal itu dinilai menimbulkan ketidakpastian hukum karena amat rentan pada tafsir apakah suatu protes, pernyataan pendapat atau pikiran merupakan kritik atau penghinaan kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden. Hal itu bertentangan dengan pasal 28D ayat (1) UUD 1945, bahkan lebih jauh bisa menghambat upaya komunikasi dan perolehan informasi yang dijamin pasal 28 F.
Penulis : Jay Waluyo - Editor : Dzikry Subhanie
Jum`at, 22 Maret 2013 18:15:23