Opini | KOMPAS | 28 April 2013
Pengantar: Tulisan ini dimuat di harian Kompas edisi Kamis 25 April 2013 hlm 6. Tulisan ini dibuat dengan maksud untuk mengklarifikasi berbagai pandangan terkait Empat Pilar yang berkembang di masyarakat, terakhir disampaikan oleh Harrry Tjan Silalahi yang keberatan dengan konsep Pancasila sebagai pilar bangsa (Kompas, Jumat 12 April 2013).
Sudah tiga tahun lebih Majelis Permusyawa-ratan Rakyat memasyarakatkan "Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara" (disingkat: Empat Pilar). Selama itu pula antusiasme masyarakat amat tinggi menyambut baik dan mengapresiasinya, seraya berharap substansi materi, cakupan wilayah dan komunitas, serta metodologinya dapat lebih dikembangkan.
Kini setelah lebih tiga tahun, muncul pandangan bahwa menamakan dan menyamakan Pancasila sebagai pilar merupakan sesat pikir. Pandangan itu dilandasi paham bahwa pilar tak sama maknanya dengan dasar. Pilar diartikan sebagai tiang penyangga, sementara Pancasila adalah dasar kita bernegara. Apakah pilar hanya punya satu makna, yaitu tiang penyangga? Apakah pandangan itu sekedar kesalahpahaman, ataukah pahamnya yang salah?
Makna Pilar
Pemasyarakatan Empat Pilar -- sesuai amanat UU 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, yang dijabarkan dalam Peraturan Tata Tertib MPR -- bukan semata karena adanya perubahan konstitusi sehingga perlu disosialisasikan kepada masyarakat. Pentingnya pemasyarakatan ini juga lebih didorong oleh kondisi bangsa yang ditengarai tengah alami krisis karakter.
Lunturnya nilai-nilai jatidiri bangsa terlihat nyata pada perilaku pelanggaran norma moral dan hukum, tumbuhnya ideologi-asing, meluasnya praktek ketidakadilan dan kesenjangan sosial, maraknya perilaku koruptif, aksi kekerasan dan intoleran, meningkatnya eskalasi gerakan separatisme, juga mewabahnya perilaku main hakim sendiri.
Dilandasi kesadaran itu, MPR mengembangkan konsep dengan kemasan "Empat Pilar", dimaksudkan bukan sekadar untuk menjawab perlunya sosialisasi UUD NRI Tahun 1945 hasil reformasi yang telah mengalami perubahan, tetapi utamanya juga untuk membangkitkan kembali nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Penggunaan istilah empat pilar didasarkan pada pertimbangan obyektif bahwa ada empat hal yang dianggap paling relevan dengan kebutuhan saat ini untuk diangkat kembali guna mengatasi berbagai tantangan krisis jatidiri bangsa. Kata 'pilar' digunakan karena dianggap paling tepat untuk mengantar pemahaman kita akan sesuatu yang amat mendasar terkait dengan empat hal itu.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata 'pilar' mengandung banyak makna. Ia tak hanya berarti 'tiang penguat'. Pilar juga bermakna 'dasar', 'pokok', atau 'induk'. Maka bila Pancasila dikatakan sebagai pilar bangsa, tentu pilar dalam maknanya sebagai dasar, bukan dalam artian sebagai tiang penguat atau tiang penyangga.
Penggunaan istilah Empat Pilar terkait juga dengan pertimbangan teknis komunikasi efektif yang mensyaratkan adanya pesan yang jelas, sederhana dan benar-benar dibutuhkan, sehingga pesan sosialisasi berhasil mencapai sasaran. Istilah Empat Pilar dimaksudkan untuk membantu masyarakat memahami pesan komunikasi dengan cepat. Pengucapan "Sosialisasi Empat Pilar" tentu jauh lebih ringkas dibandingkan dengan pengucapan lengkap "Sosialisasi Pancasila, Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika".
Tentu antara satu pilar dengan pilar lainnya tidak dalam posisi yang sama. Masing-masing punya kedudukan dan fungsinya sendiri. Bagaimana mungkin menyejajarkan Pancasila dengan UUD 1945? Atau menyetarakan Pancasila dengan NKRI? Tentu tak mungkin karena tak tepat.
Pancasila adalah norma fundamental negara yang menjadi konsensus nasional sejak Indonesia merdeka. Pancasila sebagai dasar negara sekaligus merupakan sumber dari segala sumber hukum. Karenanya setiap materi muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Dengan demikian kedudukan Pancasila tentu tak bisa disamakan, apalagi tergantikan, dengan konstitusi sekalipun.
Penggunaan istilah Empat Pilar juga bukan hendak menafikan pilar-pilar bangsa yang lain di luar yang empat itu. Selain yang empat, tentu masih banyak pilar bangsa yang juga punya peran dan fungsinya sendiri dalam ikut merawat keindonesiaan kita. Sebutlah seperti Bahasa Indonesia, Bendera Merah Putih, atau lagu Indonesia Raya. Kalaulah kemudian hanya Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika yang diangkat sebagai Empat Pilar, ini semata karena empat itulah yang menjadi prioritas untuk selalu menjadi ingatan kolektif bangsa dalam konteks kekinian kita menghadapi globalisasi.
Wacana itu sudah usai
Penggunaan istilah 'Empat Pilar' pada hakekatnya ingin meneguhkan Pancasila sebagai dasar berbangsa dan bernegara. Pancasila tetaplah dasar negara, meski pada saat bersamaan dilekatkan dengan istilah atau ungkapan yang beragam. Kita sering mendengar istilah semisal Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, Pancasila adalah perjanjian luhur bangsa, dan lain sebagainya. Bung Karno pun sebagai penggali Pancasila pernah memaknai Pancasila sebagai bintang penuntun arah (leidstar) perjuangan bangsa.
Ini menunjukkan terdapat betapa banyak keragaman fungsi atau peran Pancasila bagi bangsa dan negara kita. Keragaman makna seperti itu tentu sama sekali tak akan menggoyahkan kedudukan Pancasila sebagai dasar negara.
Wacana soal Pancasila sebagai dasar atau bukan itu sudah lama usai. Kita jangan lagi kembali ke belakang. Mari gunakan energi yang ada untuk merealisasikan institusionalisasi dan internalisasi nilai-nilai Empat Pilar itu di tengah perubahan yang sedang dan akan terus terjadi.
Lukman Hakim Saifuddin, Wakil Ketua MPR RI