Sayangi.com - Penampilannya tidak seperti kebanyakan politisi di Kompleks Parlemen yang berapi-api. Namun dari suaranya yang jernih dan pembawaannya yang tenang, terpancar kedalaman pemikiran seorang negarawan. Begitulah kesan yang didapat Sayangi.com dari Lukman Hakim Saifuddin, Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat sekaligus Wakil Ketua Umum DPP Partai Persatuan Pembangunan, saat berkesempatan mewawancarai pria kelahiran Jakarta, 25 November 1962 ini.

Wawancara dilakukan wartawan Sayangi.com, Muhammad Sulhi, jelang acara diskusi publik di DPP Perhimpunan Gerakan Keadilan (PGK), Sabtu (31/8). Tema yang diangkat seputar visi dan misi bangsa ini yang dirasa mulai kabur dari arah yang dikehendaki rakyat. Wawancara berlangsung singkat, dan Lukman Hakim - suami Trisna Willy dan ayah 3 orang anak - ini menjawab semua pertanyaan dengan lugas.   

Anda setuju dengan pendapat sejumlah kalangan bahwa negara ini bergerak tanpa arah dan dikuasai oleh segelintir individu dan kelompok?

Ya, sebenarnya ini karena penyelenggara negara tidak cukup aware dan tidak cukup memahami ke arah mana sebenarnya arah bangsa ini menuju. Kalau dulu, sebelum ada perubahan atau amandemen Undang-Undang Dasar, kita punya Garus-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Itulah yang menjadi acuan kita bersama, yang menjadi haluan kita dalam membawa bangsa ini menuju ke arah mana. Jadi, masing-masing kita mempunyai platform yang sama saat berbicara tentang rencana bangsa ini ke depan.

Jadi, sekarang visi dan misi negara seperti itu sudah tak ada lagi?

Sekarang, apa yang kita kenal sebagai GBHN dulu itu, sebenarnya ada dalam Undang-Undang Rencana Pembangunan Jangka Panjang dan Menengah. Itu berlaku untuk 2005 sampai 2025. Tapi karena berbentuk undang-undang, jangankan masyarakat awam, penyelenggara negara sendiri tidak semuanya paham, bahkan boleh jadi mereka juga belum membaca apa isinya.

Ada, tapi bermasalah dengan sosialisasi?

Betul, sosialisasinya sangat rendah sekali. Masalahnya, sekarang ini siapa yang berkewajiban mensosialisasikan undang-undang tersebut? 'Kan sekarang tidak ada lagi lembaga yang tugasnya seperti itu. Akhirnya, jadi semakin jauh persepsi penyelenggara negara dengan arah yang diinginkan oleh sebagian besar bangsa ini. Apalagi Presiden sendiri kemudian mengintrodusir sebuah yayasan swasta, yang notabene bukan institusi negara, untuk mempresentasikan Visi Indonesia 2030. Yang berbeda sama sekali dengan Undang-Undang RPJPM dan berbeda dengan Tap MPR yang masih berlaku sekarang tentang Visi Indonesia Masa Depan.

Jadi, apa yang bisa diharapkan rakyat dari MPR terkait soal ini?


MPR sendiri sudah mengusulkan, melalui revisi undang-undang, agar arah semacam GBHN itu dihidupkan kembali. Jadi, ada semacam rumusan bersama tentang haluan kita bernegara, ke arah mana perjalanan bangsa ini ke depan. Rumusan ini dituangkan oleh DPR dan Presiden dalam bentuk Undang-Undang, tapi rancangannya itu disiapkan terlebih dahulu oleh MPR, dengan melibatkan seluruh pihak stakeholder yang ada. Ini untuk keberlangsungan negara ini secara jangka panjang, ke depan. Meskipun Presiden dipilih langsung oleh rakyat, dan masing-masing Presiden membawa visi misinya sendiri. Tapi visi dan misi Presiden itu tidak boleh keluar dari apa yang kita kenal sebagai GBHN tadi itu.

Bagaimaan cara MPR mengumpulkan aspirasi rakyat?

Iya, ini sudah dipikirkan. Kami di MPR merasa, MPR perlu juga punya semacam sidang tahunan. Semua stakeholder itu kemudian diminta datang ke MPR untuk dimintai masukannya, semacam rembuk nasional. Berbagai kalangan berkumpul di situ, para tokoh masyarakat, Organisasi Kemasyarakatan, akademisi, lembaga-lembaga negara itu sendiri, untuk membuat haluan negara dalam jangka panjang, yang nanti dibreak-down secara lima tahunan.

Masih wacana atau sudah dibahas serius di DPR?


Itu sudah kita usulkan dan akan dibahas oleh DPR. Kita berharap tahun ini bisa dituntaskan, karena sudah masuk Badan Legislasi DPR. Siapapun Presiden nanti, dia harus patuh menjalankan UU ini. Jangan sampai Presiden berbuat sesuka hatinya membawa bangsa ini entah kemana.

Apakah tidak adanya arah yang jelas ini juga penyebab begitu mudahnya aset-aset kita dicaplok pihak asing?

Ya tentu, salah satunya juga karena hal itu. Apalagi sekarang, desentralisasi di daerah-daerah begitu luar biasa. Daerah-daerah itu seolah-olah berkembang sendiri-sendiri, tanpa ada kejelasan, ke mana arah perkembangan itu menuju. Semua dilakukan atas nama otonomi daerah, sehingga Pemerintah Pusat bahkan mengalami kendala dalam mengendalikan daerah-daerah itu. Nah, ini 'kan mengkhawatirkan.

Pertanyaan terakhir. Menurut Anda, apakah ketiadaan visi misi yang jelas itu merupakan setback buat bangsa ini, mengingat sebelumnya kita justru sudah punya GBHN?

Tidak sebenarnya. Ini terpulang pada masalah kepemimpinan juga. Sebenarnya UU-nya sudah ada, tapi sosialisasinya yang kurang. Juga tidak ada ketegasan dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah. Itu yang menimbulkan kesemrawutan. (MSR)

Senin, 02 September 2013 13:33
Oleh:  Muhammad Sulhi