* Sebuah Pendekatan Struktural
Kehadiran komunitas santri dalam pentas politik bersamaan waktunya dengan kehadiran Islam di wilayah Nusantara. Untuk memotret kiprah atau gerakan politik santri dalam suatu episode sejarah tertentu diperlukan tinjauan sekilas ke belakang agar diperoleh gambaran lebih konkrit untuk memahami peran, fungsi dan posisi santri dalam proses pembangunan bangsa. Dalam melihat permasalahan, tulisan singkat ini menggunakan pendekatan struktural, yakni menempatkan perubahan-perubahan struktural sebagai faktor yang menyebabkan perubahan fungsi dan posisi santri dalam masyarakat.
Kultur membentuk atau dibentuk oleh struktur. Kultur dan struktur terbentuk oleh akal atau alam pikiran manusia yang dipengaruhi oleh lingkungan, wahyu dan lain-lain. Struktur politik keagamaan merupakan refleksi dari alam pemikiran Islam terhadap dunia, yang tidak membedakan antara yang agama dan yang profan. Kaum muslimin membentuk komunitas pertama-tama untuk tujuan agama. Agama dalam pandang¬an mereka mencakup segala-galanya. Mereka meyakini al-Quran kitab suci umat Islam adalah lengkap melingkupi segalanya, tak secuilpun urusan manusia diabaikan. Apa yang oleh pemeluk agama lain dianggap duniawi bisa menjadi urusan agama. Kebijaksanaan-kebijaksanaan dalam bidang sosial politik yang ditetapkan merupakan bagian tak terpisahkan dari ajaran agama, atau bagian dari pengamalan ajaran agama. Berpolitik, berniaga atau pekerjaan apapun di alam dunia adalah ibadah.
Refleksi total alam pemikiran Islam dari generasi awal itu membentuk struktur politik keagamaan yang sangat kuat, merambah semua lini dan bidang kehidupan, menembus era dan area luas dari Barat sampai Timur hingga ke Asia Tenggara, sejak masa Nabi Muhammad dan Khulafa Rasyidun, khilafah Abbasiyah dan khilafah Umawiyah sampai kekhilafahan Turki Utsmani (1299-1924) dan kasultanan-kasultanan di kawasan Nusantara. Mereka mengamalkan ajaran agama dalam bidang politik semata-mata untuk melanjutkan misi dan fungsi kerasulan Nabi Muhammad SAW. Al-Mawardi (972-1058) menyebutkan bahwa khilafah dibentuk untuk menggantikan fungsi nubuwah, yaitu menjaga agama dan mengurus urusan dunia.
Santri adalah ulama atau kiai berusia muda yang menerima khazanah intelektual Islam klasik secara langsung atau tidak langsung dari guru/ulama Timur Tengah, khususnya wilayah Hadlramaut. Hubungan mereka adalah hubungan guru dan murid yang tunduk patuh seperti hubungan cantrik dan batara guru dalam agama Hindu. Mereka menyebarkan Islam di Nusantara, melakukan islamisasi kultural dan struktural di kalangan kerajaan-kerajaan tradisional di wilayah Nusantara, sebagian membentuk kesultanan-kesultanan Islam. Ulama muda bernama Yusuf dari Makasar, yang terkenal dengan sebutan Syeikh Yusuf, adalah penasehat utama Sultan Ageng Tirtayasa di Kasultanan Banten. Pengaruhnya sangat luas di masyarakat melibihi sang sultan, meski akhirnya kalah dari putra mahkota karena bantuan tentara Belanda dari Batavia.
Usaha mengubah suatu realitas ke arah suatu struktur atau sistem kehidupan sosial politik yang bersesuaian dengan Islam inilah yang menjadi dasar pembentukan struktur religio politik dalam kerajaan-kerajaan Islam Nusantara dimana posisi ulama sangat dominan di dalamnya. Di Aceh, Islam telah menjadi bagian tak terpisahkan dengan masyarakat sendiri. Diktum politik Adat bak poteu meureuhom, hukum bak Syiah Kuala atau keputusan politik di tangan raja dan keputusan agama di tangan ulama), atau diktum Adat basandi syara' dan syara' basandi kitabullah merupakan cermin terintegrasikannya Islam dalam proses-proses politik dan kenegaraan. Dalam beberapa kasus, ulamalah yang memegang kunci-kunci kekuasan formal, seperti Sunan Giri di Jawa Timur, atau Sunan Gunung Jati di Cirebon, atau Imam Bonjol di Sumatra Bara, Faletehan di Jayakarta (Jakarta sekarang). Mereka memegang kekuasaan politik, ekonomi dan agama sekaligus, sebagaimana praktek ketatane¬garaan pada masa awal dan abad pertengahan Islam.
***
Masa kejayaan Islam di Nusantara meredup bersamaan dengan kemunduran dunia Islam. Negeri-negeri muslim menjadi jajahan setelah mengalami kekalahan-kekalahan dalam perang dunia. Di wilayah Nusantara, peradaban Belanda menggan¬tikan peradaban lokal tradisional, dan di atas itu semua juga peradaban santri. Struktur religio politik yang dibangun para ulama tersudut di pinggir sejarah mengalami apa yang disebut the disruption of traditional system atau kekacauan sistem tradisional yang diakibatkan oleh serangan militer dan politik dari imperialis¬me Barat. Bersamaan dengan serangan itu bermunculan pula tantangan-tantangan baru di bidang teknologi, ekonomi, sosial dan intelektual yang akhirnya menceraiberaikan semua tatanan struktur religio politik Islam di Indonesia. Pudarnya struktur sosial politik keagamaan memberi kesempatan bangkitnya tatanan baru semacam "khilafah" bentuk lain yang kemudian dikenal dengan sebutan negara yang meminggirkan jauh-jauh fungsi agama. Proses peminggiran yang dikenal luas sebagai sekularisasi ini di Indonesia sudah berlangsung sejak awal abad 19.
Ketika kesempatan merdeka dari penjajahan datang (1945), konsep Islam kaffah dalam arti al-Islam huwa ad-din wad-daulah sebagaimana dipraktikkan dalam bentuk kasultanan atau kerajaan tradisional (muluk thabi'iy) diusung kembali sepanjang proses transisi itu, namun segala usaha mengalami kegagalan. Indonesia merdeka didirikan tanpa nama Islam, namun nilai-nilai dasar Islam (al-qiyâm al-asâsiyah, seperti tauhid, persamaan, kemanusiaan, persatuan/keberagaman, musyawarah, keadilan dan lain-lain) yang luhur dan universal menjadi ruh berdirinya negara dan penyelengga¬raan negara. Revolusi yang mengantarkan Indonesia merdeka tidak menganut pola umum seperti lazimnya revolusi-revolusi Marxis atau revolusi Islam yang mengikuti blueprint tertentu, tetapi digodok atau diolah sendiri melalui ijtihad kolektif seluruh elemen bangsa. Para pendiri negara yang mayoritas muslim tidak memaksakan al-Quran atau Islam sebagai dasar atau konstitusi negara. Demikian juga kelompok lain, tidak menyodorkan Das Capital atau Marxisme Leninisme dan lain-lain sebagai dasar negara. Sebaliknya mereka sepakat menggunakan salah satu norma dasar syariah Islam dalam menyelesaikan berbagai perso¬alan bangsa, yaitu melalui mekanisme musyawarah, baik di dalam kepantiaan ad hoc maupun lembaga perwakilan.
Jejak politik Islam dalam sejarah Indonesia merdeka merupakan episode lanjutan dari proses pudarnya struktur religio politik Islam yang diakibatkan ekspansi imperialisme Barat yang mengembangkan ide-ide baru terkait sistem politik dan ekonomi, seperti negara dan birokrasi, demokrasi dan kapitalisme. Kendati demikian, perjuangan Islam di jalur politik telah mencatat berbagai prestasi yang membanggakan bagi proses pembangunan bangsa. Prestasi terpenting yang patut dicatat ialah kemam¬puan menyelesaikan rumusan mengenai hubungan Islam dan negara secara bertahap hingga diterimanya Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar 1945 seba¬gai konstitusi negara, dan Negara Kesatuan RI sebagai bentuk negara bagi umat Islam/bangsa Indonesia, serta Bhinneka Tunggal Ika sebagai etika dasar bagi hidup bersama dalam keragaman bangsa.
***
Reformasi merupakan variabel waktu yang menggambarkan suatu situasi tertentu yang berbeda dari sebelumnya. Peran politik Islam yang dibawakan kalangan santri dalam "revolusi" jilid dua ini cukup menge¬sankan. Setelah penerimaan Pancasila berikut turunan utamanya UUD 1945 (pada tahun 1945, tahun 1959, dan tahun 1984), reformasi Indonesia pada 1998 merupakan kelanjutan langkah pengintegrasian perjuangan Islam ke dalam perjuangan nasional dalam konteks demokratisasi jangka panjang di segala bidang kehidupan berdasarkan nilai-nilai dasar syariah Islam.
Pengintegrasian dimungkinkan karena pedoman yang dipakai bukanlah strategi perjuangan politik atau ideologis Islam secara abstrak, melainkan keabsahan-keabsahan menurut khazanah intelektual fikih. Dengan fikih yang terkodifikasi dalam kitab kuning dan menjadi bacaan wajib di pesantren, politik santri mampu menyesuaikan diri dengan tuntutan negara modern. Ungkapan, mewujudkan cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dapat dipahami sekaligus sebagai mewujudkan cita-cita Islam rahmatan lil-'alamin. Untuk menjadi muslim yang baik tidak harus menghalanginya untuk menjadi warga negara yang baik. Islam nasionalis sekaligus bisa menjadi nasionalis Islam, dan lain sebagainya. Pandangan-pandangan logis-legal semacam demikian banyak sekali ditemukan di dalam karya-karya fiqh. Sekadar contoh kaidah "Al-ashlu barâatudz dzimmah", prinsip dasar seseorang bebas dari tanggung jawab, yang menjadi dasar "praduga tak bersalah"; Segala sesuatu yang akan menimbulkan kemudlaratan harus dihilangkan (ad-dlarâr yuzâl); Mencegah kerusakan harus didahulukan daripada melakukan kemaslahatan (dar’u al-mafâsid muqaddamun ‘ala jalbi al-mashâlih); Perkara yang mudah tidak dapat ditinggalkan karena ada yang menyulitkan (almaysûr lâ yasquthu bi al-ma’sûr); Kondisi darurat dapat membolehkan hal-hal yang dilarang (al-dlarûrah tubîhu al-mahdhûrât), dan masih banyak lagi.
Seperti diketahui Fiqih, dalam Islam, adalah syari'ah level tengah yang merupakan turunan dari syariah level di atasnya yang disebut nilai-nilai dasar (al-qiyâm al-asâsiyah). Syari'ah level menengah yang lazim disebut al-ushûl al-kulliyah atau asas-asas umum ini salah satu bentuknya berupa kaidah-kaidah fiqhiyah yang berfungsi sebagai pedoman dalam penyusunan siyasah syar'iyah atau peraturan perundang-undangan di level di bawahnya. Penjenjangan disusun berdasarkan norma paling abstrak diletakkan pada level atas, kemudian diikuti norma-norma yang lebih konkrit di bawahnya. Dari penjenjangan atau hirarki hukum Islam ini, norma hukum yang ada di level atas harus menjiwai norma di bawahnya, sebaliknya norma hukum level bawah tidak boleh bertentangan dengan norma di atasnya, dan seterusnya. Sementara syariah diturunkan untuk tujuan tertentu yang disebut al-maqashid al-syariah, yaitu bahwa syariah Islam diturunkan untuk memelihara (i) agama, (ii) jiwa, (iii) akal, (iv) harta (v) nasab/ketu¬runan, yang disebut al-maqashid al-khams. Syariah dalam bentuk fiqh dan peraturan perundang-undangan bersifat dinamis sehingga sangat mungkin untuk dikembangkan sesuai illat-nya yang berdimensi era dan area demi terwujudnya tujuan syari'ah.
Pengintegrasian perjuangan Islam ke dalam perjuangan nasional menemukan mo¬mentum yang tepat pada gerakan reformasi berupa Perubahan UUD 1945 (1999-2002) yang merupakan muara seluruh tuntutan reformasi. Gelombang reformasi menuntut perubahan-perubahan fundamental terkait struktur politik demo¬kratis, yang meliputi pemulihan kedaulatan rakyat, partisipasi rakyat yang tinggi dalam kehidupan politik, partai politik yang aspiratif, dan pemilihan umum yang berkualitas, checks and balances di antara lembaga negara, penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia, supremasi hukum, pemberantasan korupsi, serta pemantapan otonomi daerah. Tuntutan demokratisasi itu diikuti tuntutan lainnya yaitu terbentuknya kultur politik yang sehat, yaitu sportivitas, menghargai perbedaan, santun dalam perilaku, meng¬utamakan kedamaian, dan antikekerasan dalam berbagai bentuk, yang semuanya menjadi materi perubahan undang-undang dasar. Menyangkut sistem pemilu, pene¬tapan norma perubahan terutama aturan pemilu langsung dan demokratis dimaksudkan untuk membentuk kepemimpinan nasional yang kuat dan efektif baik dalam cabang kekuasaan legislatif, eksekutif maupun legislatif, sehingga mampu men¬jamin berlangsungnya demokratisasi dan terwu¬judnya cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
***
Efektivitas berlakunya sebuah nilai-nilai dasar konstitusi dan menguatnya struktur politik demokratis yang menjadi misinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sangat bergantung pada bangsa yang membuatnya. Apakah akan mampu menjadi panduan yang mengantarkan kepada cita-cita bersama, atau sebaliknya. Saat ini kita masih dalam tahap konsolidasi atas semua perubahan fundamental yang telah dilakukan terhadap konstitusi. Apakah sistem yang berkembang sudah/belum menjawab tantangan terwujudnya empat tujuan nasional sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD 1945, yaitu (i) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah, (ii) memajukan kesejahteraan umum, (iii) mencerdaskan kehidupan bangsa, (iv) melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Ada yang berpendapat, institusi-institusi penopang belum sepenuhnya terbentuk, sementara yang sudah terbentuk belum sepenuhnya optimal. Semuanya akan kita buktikan dalam sejarah di kemudian hari.
Masalah disabilitas sebuah sistem yang mengakibatkan terhambatnya implementasi tugas-tugas profetik yang dibawakan biasanya disebabkan kegagalan para pendukung dalam menghadapi tantangan-tantangan yang dihadapi. Dalam banyak aspek, krisis terjadi karena aktor-aktor pendukung dengan lembaga-lembaga penopang tidak bekerja dengan benar. Karena itu secara internal tantangan masa depan Indonesia ialah meningkatkan kemam-puan kinerja pranata-pranata demokrasi terutama dalam legislatif, eksekutif dan yudikatif demi terwujudnya tujuan masyarakat adil makmur lahir dan batin. Tantangan eksternal adalah radikalisme dan terorisme yang menghalal¬kan kekerasan atas nama agama atau atas nama lainnya. Yang tak kalah penting adalah tantangan globalisasi yang makin ganas yang bisa membuat Indonesia menjadi subyek atau sekadar obyek dari percaturan budaya multistate yang memba¬hayakan kemerdekaan bangsa. Semua tantangan itu membutuhkan SDM pemimpin-pemimpin dan profesional-profesional berbagai bidang yang berkualitas dan berintegritas tinggi serta intelektual dan guru besar yang mumpuni dari berbagai kalangan termasuk dari kalangan santri yang dapat dipenuhi melalui penyelenggaraan pendidikan yang baik dan bermutu tinggi. Dengan SDM yang bermutu, struktur politik demokratis yang terbentuk bukan saja efektif mewujudkan tujuan negara yang sekaligus tujuan agama tetapi juga akan membentuk peradaban baru dimana peran dan posisi santri (diharapkan) dominan di dalamnya.[]
Disampaikan Oleh Lukman Hakim Saifuddin, Wakil Ketua MPR RI, dalam Seminar dengan Tema “Kiprah Politik Santri Pasca Reformasi” dalama rangka Silaturahmi Nasional (Silatnas) Ikatan Keluarga Pondok Modern Gontor 2012 di Cirebon, tanggal 24 Maret 2012