Jakarta (Pinmas) —- Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin berkisah bahwa ketika menjadi menteri agama pada tahun 1962 – 1968, ayahnya ingin menjaga Indonesia sebagai bangsa yang religius dan rukun.

“Ayah saya menteri agama tahun 1962-1968, memperjuangkan Depag saat itu, untuk menjaga bangsa Indonesia yang religius dan rukun,” kenang Menag saat menerima kunjungan dari Majalah Kartini di Kantor Kementerian Agama, Lapangan Banteng, Jakarta, Jumat (12/9).

Tampak hadir dalam pertemuan ini,  Kepala Pusat Informasi dan Humas Zubaidi dan Dewi Yamina selaku Redaktur pelaksana Majalah Kartini.

Sebagai Menag, Lukman pun sekarang mengaku ingin meneruskan perjuangan ayahnya, menjaga religiusitas dan kerukunan bangsa.  Menurutnya, sebagai anak menteri, Lukman Hakim juga ingin memelihara dan menjaga upaya yang pernah dirintis ayahnya. “Jika memungkinkan, dapat mengembangkannya sesuai dengan zaman yang ada,” paparnya sembari menegaskan bahwa  menjadi Menteri Agama merupakan kehormatan, sekaligus  amanah yang penuh tantangan.

Lantas bagaimana Menag Lukman Hakim melihat sosok ibu? Menurutnya, ibu adalah sosok yang sangat luar biasa. Menag mengaku bahwa orang yang pertama kali mengajarkan Al-Quran  adalah ibunya. Demikian juga yang mengajari membaca. “Saya bisa membaca karena ibu. Jadi, ibu adalah sosok yang luar biasa,” terangnya.

Tentang masa kecilnya, Menag mengaku dibesarkan dalam keluarga besar Nahdlatul Ulama (NU). Semasa kecil, Lukman Hakim Saifuddin dibiasakan sang ayah untuk selalu  salat  berjamaah dan mengaji bersama. Tradisi-tradisi NU yang dulu ditanamkan sejak kecil oleh ayahnya juga diajarkan pada keluarganya sekarang.

Menag juga mengaku bersyukur sempat mengeyam pendidikan pesantren. Ketertarikannya pada pesantren diawali dengan  cerita yang dikisahkan ayahnya tentang betapa hebatnya orang lulusan pesantren. “Sejak saat itu pula, saya ingin belajar di lingkungan pesantren,” katanya.

Bagi Menag, pendidikan pesantren memang luar biasa. Pendidikan pesantren  membekali santrinya dengan ilmu hidup,  mengajari mereka berinteraksi dengan berbagai budaya, dan bahkan belajar tentantang perbedaan.

Dari pesantren, Menag mengaku memahami  peran nilai-nalai agama dalam menyatukan keragaman. Hal ini penting sebagai modal hidup di Indonesia yang sangat beragam. “Sesungguhnya esensi dari semua agama itu bertemu pada satu titik temu yakni memanusiakan manusia,” ujarnya. (Arief/mkd/mkd)

Jumat, 12 September 2014