Kementerian Agama sedang menyusun draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Umat Beragama (PUB). Pro dan kontra mewarnai perdebatan perlu tidaknya regulasi tersebut. Bagaimana dasar pertimbangan RUU ini dibuat? Bagaimana arah pendidikan dasar keagamaan mendatang. Berikut penjelasan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin saat berkunjung ke kantor Republika di Jakarta, Senin (22/12).

Bagaimana perkembangan RUU PUB?
Draf RUU PUB sedang kami persiapkan. Intinya, kami ingin agar RUU PUB bisa memberi jaminan perlindungan kepada seluruh warga negara Indonesia. Sebab, ini amanah konstitusi, terutama Pasal 29 Ayat 2, yakni negara menjamin kemerdekaan tiap penduduk untuk memeluk agama dan beribadah menurut ajaran agama masing-masing. Lantas, menurut kami, amanah konstitusi ini perlu diwadahi dalam produk hukum setingkat undang-undang. Jadi, tidak hanya setingkat peraturan menteri karena terbukti itu kurang efektif.

Apa saja poin yang akan diatur dalam RUU PUB?
Setidaknya, kami temukan lima isu penting yang menjadi latar belakang lahirnya RUU PUB. Pertama, hak penganut aliran keagamaan di luar enam agama resmi. Ini sudah lama menjadi kerisauan bersama dan cenderung memunculkan konflik. Jadi, para penganut --di luar Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu-- merasa pemerintah kurang menyapa dan memfasilitasi mereka. Padahal, konstitusi mengamanahkan perlindungan tanpa pengecualian terhadap semua warga negara Indonesia.

Kedua, isu pendirian rumah ibadah. Ini cukup kompleks karena masih belum jelas leading sector-nya. Persoalan ibadah, tentu domain kerja Kemenag. Tapi, pendirian bangunan itu domain pemerintah daerah karena menyangkut tata ruang yang merupakan bagian dari otonomi daerah masing-masing.

Ketiga, isu penyiaran agama. Dewasa ini semua umat agama kian marak menyiarkan ajaran agamanya. Karenanya, perlu ada aturan yang boleh dan yang tidak boleh disiarkan di ruang publik. Demikian pula cara-cara penyiaran agama. Tidak sedikit ceramah yang bernada agitatif atau secara eksplisit menyebut nama orang.

Keempat, isu kekerasan pada minoritas. Di banyak daerah, minoritas cenderung tertekan dan mendapatkan intimidasi dari umat agama mayoritas.

Kelima, kian meningkatnya sikap intoleransi. Hal ini diduga berpangkal dari paham keagamaan yang sempit, dengan mudahnya menuduh pihak lain sebagai musuh. Ini berbahaya karena paham ini tidak relevan dengan karakteristik Indonesia yang majemuk.

Masyarakat bisa memberi masukan RUU ini?
RUU yang sedang kita persiapkan, kita ingin mendapatkan justifikasi, peneguhan. Apakah ini (RUU) sudah pas atau ada yang tak perlu diatur. Atau ada isu lain yang tak kalah penting untuk dimasukkan, dan sebagainya. Kita juga ingin menyerap informasi dari masyarakat.

RUU PUB upaya lain pemerintah mengotak-atik persoalan lama?
Intinya, RUU PUB merupakan penjabaran lebih lanjut dari konstitusi kita Pasal 29 Ayat 2. Selama ini belum ada wadah hukum dalam bentuk UU yang menjabarkan itu. Misalnya, terkait pendirian rumah ibadah dan penyiaran agama. Regulasi keduanya masih berbentuk peraturan setingkat menteri. Bahkan, penodaan agama masih menggunakan UU Nomor 1/PNPS Tahun 1965. Karenanya, kami ingin membuat aturan yang melingkupi itu semua ke UU PUB.

Menurut UU Nomor 1/PNPS Tahun 1965, tidak boleh menyebarkan hal yang bertolak belakang dengan esensi ajaran agama penerimanya. Siapa yang punya otoritas? UU Nomor 1/PNPS Tahun 1965 menyatakan, otoritas itu ada pada kejaksaan sehingga pemerintah berhak, antara lain, membreidel penyiaran agama tertentu yang dianggap melanggar.

Namun, kini zaman berbeda dan lebih terbuka. Masyarakat menilai hanya lembaga peradilan yang punya otoritas demikian. Otoritas itu ada pada hakim. Namun, hakim juga perlu pertimbangan dari para ahli yang memahami esensi ajaran suatu agama. Kalangan ahli itu, menurut kami, haruslah dari organisasi majelis-majelis agama, seperti Majelis Ulama Indonesia (terkait Islam) atau Konferensi Wali Gereja (terkait Kristen).

Jadi, RUU PUB akan menegaskan lebih jauh pentingnya peranan otoritas majelis-majelis agama. Sebab, mereka merupakan representasi dari pandangan mainstream agama masing-masing.

Bagaimana relevansi kekinian RUU PUB?
RUU PUB penting. Ide dan paham apa pun dari manapun datangnya bisa leluasa masuk ke ruang privat kita. Maka, bila negara tidak segera membuat regulasi yang sifatnya melindungi, dikhawatirkan kalangan minoritas akan menjadi korban.

Belum lagi ide dari luar Indonesia. Ide-ide itu kerap tidak sesuai karakteristik Indonesia yang majemuk dan multiagama. Kita tidak ingin melihat Indonesia menjadi seperti Suriah. Dan apa yang terjadi di sana tidak mustahil berpeluang terjadi di Indonesia.

RUU PUB untuk mayoritas, minoritas, atau keseluruhan umat?
Perspektif yang memilah mayoritas dan minoritas tentunya perspektif kuantitatif. Menurut kami, perspektif ini relatif bagi tiap-tiap daerah di Indonesia. Misalnya, di Sumatra Utara, Papua, dan Bali, Islam merupakan minoritas. Meskipun Indonesia negara berpenduduk mayoritas Muslim di dunia, kita tidak bisa menggeneralisasi. Kalau kami sebagai pemerintah, tentu harus bersikap seadil-adilnya. Sebab, baik kaum mayoritas maupun minoritas merupakan sama-sama warga negara Indonesia.

Apakah RUU PUB ingin mengatur materi ceramah atau penceramahnya?
Hal ini tentu perlu masukan masyarakat. Terutama, terkait norma hukum apa yang akan dicantumkan terkait penyiaran agama pada RUU PUB. Namun, secara esensial, yang ingin dibatasi adalah cara-cara ceramah yang agitatif. Kalau yang seperti itu tidak ditata, akan timbul gesekan di masyarakat. Melalui regulasi ini kami ingin merumuskan mana yang boleh dan yang tidak boleh. Ini bukan berarti kami membatas-batasi dai atau pemuka agama.

Menurut kami, hal demikian dapat diamsalkan seperti aturan kampanye pada UU Pemilu. Intinya, dalam menyiarkan sesuatu, tidak boleh memicu sentimen keagamaan di tengah masyarakat.

Kapan target draf RUU PUB bisa selesai?
Target kami, paling telat April 2015 draf RUU PUB sudah final. Setelahnya, kami bisa memublikasikan draf itu untuk mendapat masukan. Lalu, kita bawa ke DPR untuk disahkan.

Komitmen Kemenag di bidang pendidikan?
Di tengah-tengah heterogen dan kemajemukan, Kemenag hadir untuk meningkatkan kualitas keagamaan di Indonesia.

Kenapa nilai agama?
Indonesia sangat khas di mana nilai-nilai agama menduduki tempat paling srategis untuk merangkai dan merajut juga mendukung kemajemukan. Kualitas dari kehidupan beragama merupakan misi kami.

Komitmen dalam bentuk apa?
Kami berkomitmen memberi prioritas kepada guru. Guru akan menjadi perhatian pemerintah. Apakah itu terkait honornya, tunjangan, atau kesejahteraannya.

Kenapa guru?
Kita semua bisa seperti ini karena guru. Kami tak ingin lagi mendengar ada guru yang memprihatinkan atau bahkan dipinggirkan.

Bagaimana mengetahui kesejahteraan setiap guru?
Kita sedang siapkan sistem pendidikan terpadu tak hanya di Kementerian Pendidikan, tapi juga oleh Kemenag agar fungsi pelayanan yang kita emban bisa efektif.

Apa yang dibidik dari sistem pendidikan terpadu?
Kami merasa selama ini ada ketersendatan banyak informasi. Contohnya, ada beberapa minggu atau beberapa bulan baru kita ketahui ada madrasah yang kondisinya memprihatinkan. Ada guru yang nasibnya begitu juga. Yang seperti itu seharusnya tak terjadi kalau kita punya sistem terpadu. Semua saling terkoneksi antara semua unit kerja, tak hanya di pusat tapi sampai ke daerah. Karena agama bagian dari yang tetap, tak bisa dilimpahkan ke daerah, agama tetap tersentralisasikan. n c14/c70 ed: nur hasan murtiaji

 

Republika, Tuesday, 23 December 2014, 12:00 WIB