Moderasi Beragama: Menjaga Indonesia
Lukman Hakim Saifuddin
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
1. PERMASALAHAN
A. Realitas Indonesia: Majemuk dan Agamis
Indonesia adalah bangsa dan negara yang memiliki tingkat keberagaman yang amat tinggi. Kemajemukan itu tak hanya dijumpai pada masyarakatnya yang terdiri atas beragam ras, etnis, dan suku, yang memiliki beragam budaya, bahasa, dan agama. Keberagaman itu juga tercermin pada keanekaragaman flora dan fauna yang ada di wilayah Nusantara ini.
Selain keberagaman (kemajemukan) yang merupakan jati diri sekaligus ciri keindonesiaan, keberagamaan (relijiusitas) juga menjadi faktor amat penting sebagai penanda kekhasan Indonesia. Tingkat keberagamaan bangsa Indonesia nyaris tak tertandingi di dunia ini. Masyarakat Indonesia lekat dan kental dengan kehidupan keagamaan. Tak ada bentuk, jenis, dan ragam kehidupan kemasyarakatan warganya yang tak terkait dan lepas dari nilai agama.
Meskipun mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim, bahkan merupakan negara dengan jumlah pen- duduk muslim terbesar di dunia, Indonesia bukanlah negara Islam. Namun Indonesia juga bukanlah negara sekuler yang memisahkan secara tegas hubungan antara agama dengan negara. Indonesia adalah negara berketuhanan yang masyarakatnya sangat agamis dan majemuk.
Meskipun bukan negara berdasar agama tertentu, konstitusi negara menjamin kemerdekaan setiap penduduk untuk memeluk agama dan menjalankan ibadah menurut agama dan kepercayaannya itu. Agama menduduki posisi yang amat vital, yang nilai-nilainya menjiwai setiap denyut dan detak akivitas kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan.
Dalam konteks Indonesia, agama dan negara ibarat sekeping mata uang logam yang memiliki dua sisi. Antara sisi yang satu dengan lainnya memang bisa dibedakan, tapi tak bisa dipisahkan. Berindonesia adalah beragama dan beragama adalah berindonesia. Melaksanakan kewajiban kenegaraan bagi seorang warganegara adalah wujud pengamalan ajaran agama. Pun sebaliknya. Penunaian kewajiban keagamaan bagi seorang penganut agama hakikatnya adalah manifestasi dari pelaksanaan kewajiban kenegaraan sebagai warga bangsa. Kecintaan terhadap tanah air dan seluruh tumpah darah merupakan salah satu ukuran keimanan.
Relasi antara agama dan negara dalam konteks Indonesia menjadi hubungan yang simbiosis mutualisma. Negara dan agama saling membutuhkan. Negara membutuhkan agama karena negara harus dijalankan dengan berpijak pada dasar dan berorientasi pada tujuan yang sesuai dengan ruh dan nilai-nilai keagamaan. Sebaliknya, agama juga memerlukan negara, karena penerapan nilai-nilai agama itu memerlukan jaminan perlindungan dan fasilitasi dari negara.
Hubungan antara negara dan agama itu juga saling mengimbangi dan mengawasi (check and balance). Pelaksanaan penyelenggaaraan negara selalu diimbangi dan dikontrol oleh nilai-nilai agama. Para penyelenggara negara pada semua cabang kekuasaannya senantiasa dipantau dan diawasi oleh nilai agama melalui para pemuka agama dan tokoh masyarakat. Demikian pula sebaliknya. Penerapan nilai-nilai agama juga selalu diimbangi dan dikontrol oleh para penyelenggara negara melalui regulasi dan peraturan perundang-undangan sebagai acuan bersama.
B. Tantangan Kehidupan Beragama
Dengan realitas Indonesia yang warganya amat agamis itu, cara beragama setiap warga bangsa yang hakikatnya adalah umat beragama menjadi teramat vital. Cara beragama di sini dimaksudkan sebagai cara memahami ajaran agama dan cara mengamalkan ajaran agama sebagaimana yang dipahaminya itu.
Belakangan ini dijumpai sejumlah permasalahan dalam kehidupan keberagamaan kita. Di antara ba- nyaknya permasalahan itu, tanpa bermaksud menge- cilkan dan meniadakan yang lain, setidaknya terdapat tiga tantangan besar yang harus diatasi bersama.
Pertama, kian muncul fenomena corak beragama yang justru bertolak belakang dan mengingkari inti pokok ajaran agama itu sendiri. Inti pokok ajaran agama itu antara lain memanusiakan manusia dan membangun kemaslahatan bersama. Namun kini berkembang paham dan amalan keagamaan yang justru mengingkari harkat, derajat, martabat kemanusiaan. Atas nama agama, penganut agama justru merusak dan memusnahkan benda dan bangunan yang memiliki nilai kebermanfaatan yang merupakan fasilitas umum dan sosial. Beragama dilakukan secara eksklusif, pendekatannya segregatif, menebar hal-hal konfrontatif, dan lalu menjadi destruktif. Padahal hakikat ajaran agama adalah inklusif, integratif, kooperatif, dan konstruktif. Padahal inti pokok ajaran agama adalah membangun kemaslahatan bersama.
Kedua, kian muncul fenomena di mana lahir beragam tafsir keagamaan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya karena tidak berdasarkan kaidah keilmuan. Mereka yang tidak memiliki kompetensi keilmuan yang cukup, enteng saja semaunya menerjemahkan, menafsirkan, dan menginterpretasikan teks-teks kitab suci. Muncullah terjemahan dan tafsir keagamaan yang terlalu berlebihan dan melampaui batas. Sebagian kelewat bertumpu pada teks semata dan mengabaikan konteks sama sekali. Sebaliknya, sebagian yang lain kelewat mendewakan akal pikiran dan melakukan interpretasi konteks begitu bebasnya tanpa batas, yang justru tercerabut dari teksnya itu sendiri. Semakin pelik, ketika kedua cara penyikapan yang berlebihan dan melampaui batas atas teks-teks kitab suci itu lalu melahirkan klaim memutlakkan kebenaran secara sepihak, dan menyalah-nyalahkan pihak lain yang berbeda dengannya, dengan memaksakan kehendak yang menggunakan cara-cara kekerasan.
Ketiga, kian muncul fenomena adanya paham dan amalan keagamaan yang secara diametral merusak dan mengoyak ikatan kebangsaan kita. Seseorang secara demonstratif mendakwahkan pemahaman bahwa Pancasila itu bertentangan dengan ajaran agama, memberikan hormat kepada sang saka merah putih itu perbuatan menyekutukan Tuhan, dan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya itu haram. Paham seperti itu dan beragam paham lain sejenisnya jelas merusak sendi-sendi pilar kebangsaan dan meruntuhkan bangunan keindonesiaan kita. Cara beragama yang berlebihan dan melampaui batas seperti itu juga akan berdampak memperburuk citra agamanya sendiri serta melukai keharmonisan hidup bersama umat agama lain.