Bintang Mahaputera Adipradana

MPR Periode 1999-2004 telah membuat sejarah baru dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia. Berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan atas kerja keras panitia ad hoc yang menyiapkan naskah rancangan perubahan konstitusi, MPR berhasil mengesahkan perubahan konstitusi dalam satu naskah dengan nama resmi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Dengan mencermati isi UUD 1945 yang telah diubah, dapat dikatakan bahwa Perubahan UUD 1945 yang dilakukan bangsa Indonesia melalui MPR merupakan lompatan besar demokrasi Indonesia. Beberapa perubahan yang dipandang menjadi bagian lompatan besar demokrasi tersebut antara lain dapat dikemukakan berikut:

Pertama, pengalihan paham “Supremasi MPR” ke “Supremasi Konstitusi”. Seperti dimaklumi, sebelum Perubahan UUD 1945, Indonesia menganut paham Supremasi MPR dikarenakan konstitusi menggariskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR. Perubahan UUD 1945 mengubahnya menjadi paham Supremasi Konstitusi, yakni konstitusilah yang menempati kedudukan tertinggi di negara Indonesia dan konstitusilah yang mengatur berbagai aspek ketatanegaraan dan penyelenggaraan negara, termasuk pelaksanaan kedaulatan rakyat. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD.

Kedua, pengukuhan prinsip checks and balances (saling mengawasi dan mengimbangi) antar cabang kekuasaan negara. Pasca Perubahan UUD 1945 tidak ada lagi sebuah lembaga negara yang menempati kedudukan lebih tinggi dibanding lembaga negara lainnya dengan kekuasaan sangat besar (super body), sehingga tidak bisa dikontrol oleh lembaga, pihak, atau siapa pun juga. Tidak dikenal lagi istilah Lembaga Tertinggi Negara yang melekat pada MPR dan istilah Lembaga Tinggi Negara yang disandang Presiden, DPR, BPK, dan MA. Kini berbagai lembaga tersebut disebut sebagai lembaga negara dengan kedudukan sejajar dan sederajat sehingga dapat menjalankan fungsi saling kontrol dan saling mengimbangi (checks and balances).

Ketiga, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung. Pemilihan presiden dan wakil presiden yang selama ini dilakukan oleh MPR berganti menjadi sistem pemilihan langsung dipilih oleh rakyat.

Keempat, pembatasan masa jabatan presiden. Melalui Perubahan UUD 1945 kekuasaan presiden dibatasi lebih jelas dan lebih tegas lagi, yakni masa jabatan presiden maksimal hanya untuk dua periode.

Kelima, pengaturan HAM tercantum dalam satu bab tersendiri yaitu Bab XA dengan 10 pasal serta 24 ayat, yaitu Pasal 28A sampai Pasal 28J. Rumusan mengenai HAM ini sangat lengkap mencakup seluruh aspek HAM yang diakui secara universal. Keberlakuan seluruh HAM yang tercantum dalam Bab XA UUD 1945 dapat dibatasi dengan ketentuan dalam Pasal 28J sebagai pasal penutup dari seluruh ketentuan yang mengatur tentang HAM. Pasal 28J ayat 2 menyebutkan bahwa pelaksanaan hak dan kebebasan seseorang dapat dibatasi UU, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, serta untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Keenam, pembentukan lembaga perwakilan baru barbasis wilayah, yakni Dewan Perwakilan Daerah atau DPD, dan lembaga baru yang melaksanakan kekuasaan kehakiman, yaitu Mahkamah Konstitusi (MK) dan Komisi Yudisial (KY).

Dalam banyak kesempatan Lukman berharap UUD 1945 senantiasa dijadikan konstitusi yang hidup di tengah masyarakat, dalam arti dijadikan rujukan dalam pembuatan undang- undang, panduan etik dan moral bagi para penyelenggara negara, serta menjadi norma sosial yang ditaati oleh masyarakat.

Selama di Komisi III DPR RI yang membidangi hukum, Lukman terlibat dalam berbagai keanggotaan Pansus RUU dan berhasil melahirkan sebanyak 23 undang-undang. Terbanyak, undang-undang baru yang harus terbit atas perintah langsung dari UUD 1945 dan Ketetapan MPR. Sekadar menyebut contoh, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, UU No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, UU No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Selanjutnya, UU No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, UU No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Agung, UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, dan UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan.

Ketika menjabat Wakil Ketua MPR-RI (2009-2014) dan memimpin Tim Sosialisasi Putusan MPR RI, Lukman dinilai berhasil menjalankan tugas memimpin pelaksanaan Sosialisasi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Putusan MPR ke berbagai kalangan masyarakat, perguruan tinggi, instansi pemerintah, TNI dan Polri, baik di tingkat pusat maupun daerah.

Materi sosialisasi yang dikemas dengan sebutan “Empat Pilar Kehidupan Berbangsa”, yang terdiri atas Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika, cukup populer di kalangan masyarakat kala itu. Bahkan diadopsi dalam Pasal 34 ayat (3b) huruf a UU No. 2 tahun 2011 tentang Perubahan atas UU No. 2 tahun 2008 tentang Partai Politik.

Kata “empat pilar” untuk menunjuk Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika, sempat memicu polemik. Peneliti senior dari CSIS Harry Tjan Silalahi menulis di harian Kompas (12/4/2013) dengan judul “Sesat Pikir, Samakan Pancasila sebagai Pilar”, intinya keberatan dengan konsep Pancasila sebagai pilar yang disejajarkan dengan UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Menanggapi Harry Tjan, Lukman menulis di harian yang sama (25/4/2013) dengan judul “Pancasila sebagai Pilar Bangsa”, yang menjelaskan bahwa makna pilar tidak hanya tunggal yakni tiang penyangga, pilar bisa berarti dasar. Dijelaskan juga maksud penggunaan istilah “empat pilar”, semata untuk mengefektifkan komunikasi. Penyebutan empat pilar, tulis Lukman, jelas lebih singkat dan lebih mudah diingat dibandingkan penyebutan lengkap Pancasila, UUD 1945, NKRI, Bhinneka Tunggal Ika.

Ketika MK melalui Putusan Nomor 100/PUU-XI/2014 menghapus frasa “Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara” yang terdapat dalam undang-undang parpol tersebut, Lukman mengaku terkejut dan kecewa, namun ia tetap menghargai putusan MK. Frasa empat pilar memang dinyatakan tidak punya kekuatan hukum yang mengikat lagi, namun menurut Lukman isinya tetap tidak ada masalah. MPR akan terus berjuang membumikan Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika dengan mengubah istilah empat pilar dengan istilah lain yang lebih komunikatif. Saat itu sempat muncul istilah “Empat Pusaka”.

Merasa masih ada yang kurang dalam konstruksi konstitusi terkait doktrin negara hukum dan paham konstitusionalisme yang dianut Indonesia, Lukman pernah menggagas penerapan ide “constitutional complaint”. Gagasan ini dimaksudkan sebagai mekanisme penyelesaian pelanggaran hak-hak konstitusional uang dialami warga negara, sehingga masyarakat yang dilanggar HAM-nya memiliki saluran yang sah untuk memperjuangkan hak-haknya tersebut.

Atas jasa-jasanya yang luar biasa dalam menjaga keutuhan, kelangsungan, dan kejayaan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Lukman memperoleh anugerah penghargaan Bintang Mahaputera Adipradana dari Negara. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyerahkan langsung tanda kehormatan itu di Istana Negara, Rabu 13 Agustus 2014, saat ia baru dua bulan diangkat menjadi Menteri Agama RI.